November 30, 2010

Feminisme

oleh: Bagus Pramono, Herlianto
Sampai hari ini sebagian kaum perempuan masih aktif dalam perjuangan persamaan hak dengan kaum laki-laki atau yang lazim disebut kesetaraan gender. Sebenarnya sebagian besar perempuan yang sedang berjuang itu adalah para perempuan yang sudah "merdeka". Biasanya mereka itu dari kalangan Wanita Karir yang sukses, punya prestasi, punya background pendidikan yang tinggi. Dan mereka tetap giat berjuang atas nama semua perempuan yang masih "terpasung/ tidak memiliki hak setara dengan laki-laki/ perempuan yang tertindas".

Masalah yang terus-menerus tentang emansipasi sebenarnya bukan karena laki-laki menjadikan wanita sebagai objek, melainkan karena perempuan sendiri yang berlaku demikian. Selalu berteriak akan persamaan hak. Dalam parlemen di Indonesia ada sekelompok pejuang perempuan yang meminta "quota" 30% dalam keanggotaan legislatif, minta daftar nama perempuan di taruh di barisan atas dalam pemilihan. Bahkan iklan tentang ini banyak diekspos di televisi. Ini justru sangat bertentangan dengan perjuangan feminisme. Sebab kalau meminta "quota" artinya kaum perempuan ini yakin tidak mampu bersaing secara normal/ fair dengan laki-laki dalam dunia politik, sehingga perlu "quota". Apabila para aktivis perempuan ini yakin betul bahwa kaum kemampuan perempuan sejajar dengan laki-laki mengapa tidak bersaing secara fair saja. Iklan tersebut menggambarkan unsur pemaksaan dan mengarah kepada sifat KKN. Sehingga kemudian kita mendapati bahwa iklan tersebut merupakan sebuah ironisme dari perjuangan perempuan yang selama ini digembar-gemborkan.

Sebenarnya di Indonesia, kesetaraan gender sudah sangat baik, lihat saja Megawati, beliau seorang perempuan yang menjadi Presiden, sebuah sukses dalam peraihan karir yang paling tinggi di negeri ini. Ada Rini Suwandi seorang professional handal yang menjabat sebagai menteri Perdagangan. Sangat mengherankan bahwa kaum feminis Indonesia tidak merasa terwakili oleh prestasi yang diraih mereka ini. Dilain sisi ada banyak sekali wanita karir di Indonesia yang merangkap menjadi ibu tetapi sukses dalam pekerjaannya. Profil-profil tersebut sudah menggambarkan bahwa perempuan mempunyai andil hebat dalam politik dan perekonomian Negara Indonesia.

Di negara Islam pun kita menjumpai banyak perempuan yang memegang kendali politik tertinggi contohnya Benazir Butto pernah menjabat sebagai Perdana Meteri di Pakistan, Shirin Ebadi perempuan Iran dengan kepribadian luar biasa memenangkan hadiah Nobel 2003. Chandrika Bandaranaike Kumaratunga presiden Srilanka. Dua perempuan pintar di Philipina Cory Aquino & Gloria Arroyo. Di belahan dunia lain juga kita kenal Margareth Tacher, Madeleine Albright, dan Madonna perempuan genius dengan kepribadian yang kontraversial dan sangat sukses. Di masa lalu kita mengenal Evita Peron dan masih banyak lagi. Selamat, kaum perempuan! Bahwa kaum perempuan mampu membuktikan bahwa potensi karir dan intelektual antara perempuan dan laki-laki adalah setara.

Lalu apa lagi yang harus diperjuangkan? Sampai kapan kaum perempuan berjuang untuk kesetaraan gender? Saya rasa jawabannya gampang saja "sampai pada saat mereka tidak teriak-teriak lagi soal kesetaraan gender".

Kaum Perempuan di-lain sisi sudah menggeser peran-peran laki-laki, begitupun tidak ada golongan yang mengatasnamakan diri mereka "Man´s Lib" protes tentang hal-hal contohnya sebagai berikut : Ada Ladies Bank (Bank Niaga sudah mempeloporinya) dimana semua staff dalam beberapa cabang adalah perempuan. Ada Gereja yang semua/ sebagian besar pekerjanya adalah perempuan, dari gembala sidang, majelis, pemusik dsb. Banyak pabrik-pabrik yang hanya menerima pekerja perempuan daripada laki-laki, di pabrik rokok, sepatu, mainan anak-anak lebih suka menerima pekerja perempuan. Kita lihat disini kaum lagi-laki sudah tergeser di ladang pekerjaan dan karir. Batapa banyak manager/ direktur/ pebisnis/ guru perempuan. Kadang juga saya sering mendapat keluhan dari laki-laki bahwa mereka lebih sulit mendapat ladang pekerjaan dibanding perempuan.

Masalah kesetaraan gender yang gencar didengungkan kaum perempuan itu akan selalu ada jika kaum perempuan tidak pernah merasa bahwa laki-laki adalah "mitra" melainkan sebagai pesaing dan musuh.

MACAM-MACAM ALIRAN FEMINISME

4.1. FEMINIS LIBERAL

Apa yang disebut sebagai Feminis Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.

Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.

Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.

4.2. FEMINISME RADIKAL

Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 70-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".

4.3. FEMINISME POST MODERN

Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.

4.4. FEMINISME ANARKIS

Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan laki-laki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.

4.5. FEMINISME SOSIALIS

Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.

Dan lain sebagainya.

V. MENGAPA ADA FEMINISME?
* Herlianto

Gerakan Feminisme lahir dari sebuah ide yang diantaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati. Feminisme adalah basis teori dari gerakan pembebasan perempuan.

Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriachal sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropah dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.

Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus ´tunduk kepada suami!´ dalam Efesus 5:22 dengan menafsirkannya secara harfiah dan tekstual seakan-akan mempertebal perendahan terhadap kaum perempuan itu.

Efesus 5:22 Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan

Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ";menaikkan derajat kaum perempuan"; tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul ´Vindication of the Right of Woman´ yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-40 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.

Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era reformasi dengan terbitnya buku "The Feminine Mystique"; yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama ´National Organization for Woman´ (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya ´Equal Pay Right´ (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan ´Equal Right Act´ (1964) dimana kaum perempuan mempuntyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.

Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, soalnya sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah ´Student for a Democratic Society´ (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok ´feminisme radikal´ dengan membentuk ´Women´s Liberation Workshop´ yang lebih dikenal dengan singkatan ´Women´s Lib.´ Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya ´Miss America Pegeant´ di Atlantic City yang mereka anggap sebagai ´pelecehan terhadap kaum wanita´ dan ´komersialisasi tubuh perempuan.´ Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia.

Gerakan ini adalah itikad baik kaum perempuan, dan semestianya mendapat dukungan bukan saja dari kaum perempuan tetapi juga seharusnya dari kaum laki-laki, tetapi mengapa kemudian banyak kritik diajukan kepada mereka?

5.A. SASARAN KRITIK TERHADAP FEMINISME

Sebenarnya awal bangkitnya gerakan kaum perempuan itu banyak mendapat simpati bukan saja dari kaum perempuan sendiri tetapi juga dari banyak kaum laki-laki, tetapi perilaku kelompok feminisme radikal yang bersembunyi di balik "women´s liberation" telah melakukan usaha-usaha yang lebih radikal yang berbalik mendapat kritikan dan tantangan dari kaum perempuan sendiri dan lebih-lebih dari kaum laki-laki. Organisasi-organisasi agama kemudian juga menyatakan sikapnya yang kurang menerima tuntutan "Women´s Lib" itu karena mereka kemudian banyak mengusulkan pembebasan termasuk pembebasan kaum perempuan dari agama dan moralitasnya yang mereka anggap sebagai kaku dan buah dari ´agama patriachy´ atau ´agama kaum laki-laki.´

Memang memperjuangkan kesamaan hak dalam memperoleh pekerjaan, gaji yang layak, perumahan maupun pendidikan harus diperjuangkan, dan bahkan pemberian hak-suara kepada kaum perempuan juga harus diperjuangkan, tetapi kaum perempuan juga harus sadar bahwa secara kodrati mereka lebih unggul dalam kehidupan sebagai pemelihara keluarga, itulah sebabnya adalah salah kaprah kalau kemudian hanya karena kaum perempuan mau bekerja lalu kaum laki-laki harus tinggal di rumah memelihara anak-anak dan memasak.

Bagaimanapun kehidupan modern, kaum perempuan harus tetap menjadi ibu rumah tangga. Ini tidak berarti bahwa kaum perempuan harus selalu berada di rumah, ia dapat mengangkat pembantu atau suster bila penghasilan keluarga cukup dan kepada mereka dapat didelegasikan beberapa pekerjaan rumah tangga, tetapi sekalipun begitu seorang isteri harus tetap menjadi ibu rumah tangga yang bertanggung jawab dan rumah tangga tidak dilepaskan begitu saja.

Bila semula gerakan kaum perempuan "feminisme" itu lebih mengarah pada perbaikan nasib hidup dam kesamaan hak, kelompok radikal "Women´s Lib" telah mendorongnya untuk mengarah lebih jauh dalam bentuk kebebasan yang tanpa batas dan telah menjadikan feminisme menjadi suatu "agama baru."

Sebenarnya halangan yang dihadapi ´feminisme´ bukan saja dari luar tetapi dari dalam juga. Banyak kaum perempuan memang karena tradisi yang terlalu melekat masih lebih senang ´diperlakukan demikian,´ atau bahkan ikut mengembangkan perilaku ´maskulinisme´ dimana laki-laki dominan Sebagai contoh dalam soal pembebasan kaum perempuan dari ´pelecehan seksual´ banyak kaum perempuan yang karena dorongan ekonomi atau karena kesenangannya pamer justru mendorong meluasnya prostitusi dan pornografi. Banyak kaum perempuan memang ingin cantik dan dipuji kecantikannya melalui gebyar-gebyar pemilihan ´Miss´ ini dan ´Miss" itu, akibatnya usaha menghentikan yang dianggap ´pelecehan´itu terhalang oleh sikap sebagian kaum perempuan sendiri yang justru ´senang berbuat begitu.´

Halangan juga datang dari kaum laki-laki. Kita tahu bahwa secara tradisional masyarakat pada umumnya menempatkan kaum laki-laki sebagai ´penguasa masyarakat,´ (male dominated society) bahkan masyarakat agama dengan ajaran-ajarannya yang orthodox cenderung mempertebal perilaku demikian.

Dalam agama-agama sering terjadi ´pelacuran kuil´ dimana banyak gadis-gadis harus mau menjadi ´pengantin´ para pemimpin agama seperti yang dipraktekkan dalam era modern oleh ´Children of God´ dan ´Kelompok David Koresy´, dan di kalangan Islam fundamentalis banyak dipraktekkan disamping poligami juga bahwa kaum perempuan dihilangkan identitas rupanya dengan memakai kerudung sekujur badannya atau bahwa kaum perempuan tidak boleh menjadi pemimpin yang membawahi laki-laki, dan bukan hanya itu ada kelompok agama di Afrika yang yang mengharuskan kaum perempuan di sunat hal mana tentu mendatangkan penderitaan yang tak habis-habisnya bagi kaum perempuan. Di segala bidang jelas kesamaan hak kaum perempuan sering diartikan oleh kaum laki-laki sebagai pengurangan hak kaum laki-laki, dan kaum perempuan kemudian menjadi saingan bahkan kemudian ingin menghilangkan dominasi kaum laki-laki di masyarakat!

Kritikan prinsip yang dilontarkan pada feminisme khususnya yang radikal (Women´s Lib) adalah bahwa mereka dalam obsesinya kemudian ´mau menghilangkan semua perbedaan yang ada antara perempuan dan laki-laki.´ Jelas sikap radikal yang mengabaikan perbedaan kodrat antara kaum perempuan dan laki-laki itu tidak realistis karena faktanya toh berbeda dan menghasilkan dilema, sebab kalau kaum perempuan dilarang meminta cuti haid karena kaum laki-laki tidak haid pasti timbul protes, sebaliknya tentu pengusaha akan protes kalau kaum laki-laki diperbolehkan ikut menikmati ´cuti haid dan hamil´ padahal mereka tidak pernah haid dan tidak mungkin hamil.

Dalam etika kehidupan-pun, sebagian besar masyarakat kita masih menganggap kaum perempuan adalah kaum yang lebih lemah. Kita jumpai dalam setiap kejadian emergency, kebakaran, kecelakaan dan bencana lainnya. Para "team penolong" selalu akan menolong "women and children" lebih dahulu. Ini sebenarnya didasari atas rasa kemanusiaan saja bukan atas diskriminasi gender.

Kesalahan fatal feminisme radikal ini kemudian menjadikan laki-laki bukan lagi sebagai mitra atau partner tetapi sebagai ´saingan´ (rival) bahkan ´musuh ´ (enemy)!´ Sikap feminisme yang dirusak citranya oleh kelompok radikal sehingga menjadikannya ´sangat eksklusif´ itulah yang kemudian mendapat kritikan luas.

Kritikan lain juga diajukan adalah karena dalam membela kaum perempuan dari sikap ´pelecehan seksual;´ mereka kemudian ingin melakukan kebebasan seksual tanpa batas, seperti ´Women´s Lib´ mendorong kebebasan seksual sebebas-bebasnya termasuk melakukan masturbasi, poliandri, hubungan seksual antara orang dewasa dan anak-anak, lesbianisme, bahkan liberalisasi aborsi dalam setiap tahap kehamilan. Kebebasan ini tidak berhenti disini karena ada kelompok radikal yang ´menolak peran kaum perempuan sebagai ibu rumah tangga´ dan menganggap ´perkawinan´ sebagai belenggu. Andrea Dworkin bahkan menganggap &380361hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan tidak beda dengan perkosaan!´. Dalam hal yang demikian sikap ´Women´s Lib´ sudah melenceng jauh terhadap hubungan normal cinta-kasih antara laki-laki dan perempuan.

Di kalangan agama Kristen, feminisme itu lebih lanjut mempengaruhi beberapa teolog-perempuan yang menghasilkan usulan agar sejarah Yesus yang sering disebut sebagai ´History´ diganti dengan ´Herstory´ dan lebih radikal lagi agar semua kata ´Bapa´ untuk menyebut Allah dalam Alkitab harus diganti dengan kata ´Ibu.´ Ibadah dan pengakuan iman (Credo) tidak lagi menyebut ´Allah Bapa tetapi Allah Ibu´ atau the ´Mother Goddess,´ bahkan lambang salib perlu diganti dengan meletakkan tanda O (bulatan) tepat diatas lambang salib Kristus sehingga menjadi lambang kaum perempuan.

Kita sekarang menghadapi era informasi dimana kedudukan kaum perempuan dibanyak segi bisa lebih unggul dari kedudukan kaum laki-laki. Dalam hal dimana kedudukan isteri lebih baik daripada suami memang keadaanya bisa sukar dipecahkan, tetapi keluarga Kristen tentunya harus memikirkan dengan serius pentingnya peran ibu rumah tangga demi menjaga kelangsungan keturunan yang ´takut akan Tuhan´ (Maz.78:1-8), dan disinilah pengorbanan seorang ibu perlu dipuji. Dalam hal seorang ibu berkorban untuk mendahulukan keluarga sehingga bagi mereka karier dinomor duakan atau dijabat dengan ´paruh waktu´ lebih-lebih selama anak-anak masih kecil, seharusnya para suami bisa lebih toleran menjadi ´penolong´ bagi isteri dalam tugas ini.

Sungguh sangat disayangkan bahwa banyak tokoh-tokoh perempuan sendiri tidak mengakui "pekerjaan ibu rumah tangga sebagai profesi" dan menganggapnya lebih inferior daripada misalnya pekerjaan sebagai dokter, pengacara atau pengusaha, dalam sikap ini kita dapat melihat sampai dimana kuku feminisme radikal sudah pelan-pelan menusuk daging.

Pernah ketika ada kunjungan Gorbachev, presiden Rusia waktu itu, yang berkunjung ke Amerika Serikat, isterinya "Raisa" bersama "Barbara", isteri presiden Amerika Serikat George Bush Sr. , diundang untuk berbicara disuatu "Universitas perempuan yang terkenal." Ketika keduanya berbicara, sekelompok perempuan yang bergabung dengan "women"s lib" meneriakkan yel-yel bahkan membawa poster yang mencemooh mereka karena mereka hanya menjadi ibu rumah tangga yang tidak bisa mempunyai karier sendiri. Bahkan, beberapa profesor perempuan menolak hadir karena merasa direndahkan bila mendengar pembicara perempuan yang hanya seorang ibu rumah tangga. Pembawa Acara, menanggapi kritikan-kritikan itu kemudian berkomentar bahwa "memang keduanya adalah ibu rumah tangga, tetapi karena dampingan keduanya, dua orang paling berkuasa di dunia dapat menciptakan kedamaian di dunia, suatu profesi luhur yang tiada taranya!"

5.B.SEBUAH INTROSPEKSI

Dibalik kritikan yang ditujukan terhadap "Women"s Lib" khususnya dan "Feminisme" umumnya, kita perlu melakukan introspeksi karena sebenarnya "feminisme" itu timbul sebagai reaksi atas sikap kaum laki-laki yang cenderung dominan dan merendahkan kaum perempuan. Ini terjadi bukan saja di kalangan umum tetapi lebih-lebih di kalangan yang meng "atas namakan" agama memang sering berperilaku menekan kepada kaum perempuan.

Dalam menyikapi "feminisme" sebagai suatu gerakan, kita harus berhati-hati untuk tidak menolaknya secara total, sebab sebagai "gerakan persamaan hak" harus disadari bahwa usaha gerakan itu baik dan harus didukung bahkan diusahakan oleh kaum-laki-laki yang dianggap bertanggung jawab atas kepincangan sosial-ekonomi-hukum-politis di masyarakat itu khususnya yang menyangkut gender. Yang perlu diwaspadai adalah bila feminisme itu mengambil bentuk radikal melewati batas kodrati sebagai "gerakan pembebasan kaum perempuan" seperti yang secara fanatik diperjuangkan oleh "Women"s Lib."

Bagi umat Kristen, baik umat yang tergolong kaum perempuan maupun kaum-laki-laki, keberadaan "sejarah Alkitab" harus diterima sebagai "History" dan data-data para patriach (bapa-bapa Gereja) tidak perlu diubah karena masa primitif dan agraris memang mendorong terjadinya dominasi kaum laki-laki, tetapi sejak masa industri lebih-lebih masa informasi, kehadiran peran kaum perempuan memang diperlukan dalam masyarakat selain peran mereka yang terpuji dalam rumah tangga dan Alkitab tidak menghalanginya. Tetapi sekalipun begitu, Alkitab dengan jelas menyebutkan adanya perbedaan kodrati dalam penciptaan kaum laki-laki dan kaum perempuan. Kaum laki-laki memang diberi perlengkapan otot yang lebih kuat dan daya juang yang lebih besar, tetapi kaum perempuan diberi tugas sebagai "penolong" yang sejodoh yang sekaligus menjadi ibu anak-anak yang dilahirkan dari rahimnya.

Kita harus sadar bahwa arti "penolong" bukanlah berarti "budak" tetapi sebagai "mitra" atau "tulang rusuk yang melengkapi tubuh." Kesamaan hak harus dilihat dalam rangka tidak melanggar kodrat manusia. Kita harus sadar bahwa kotbah-kotbah yang sering menyalahgunakan ayat-ayat Efesus fasal 5 tentang "hubungan suami dan isteri" (yang juga dilakukan oleh banyak penginjil perempuan) harus diletakkan dalam konteks bahwa "suami harus mengasihi isterinya" (Efs.5:25). Tunduk dalam ayat-22 bukan sembarang tunduk (seperti kepada penjajah atau majikan) tetapi seperti kepada Tuhan (Kristus), dan "kasih" bukanlah sekedar cinta tetapi dalam pengertian "kasih Kristus" yang "rela berkorban demi jemaat" (Efs.5:25) dan seperti "laki-laki mengasihi" dirinya sendiri" (Efs.5:33). Tentu kita sadar bahwa "berkorban" itu jauh lebih besar dan sulit dilakukan daripada "tuntuk" bukan?

Gerakan feminisme sudah berada di tengah-tengah kita, peran kaum perempuan yang cenderung dimarginalkan dalam masyarakat "patriachy" sekarang sudah mulai menunjukkan ototnya. Semua perlu terbuka akan kritik kaum perempuan yang dikenal sebagai penganut "feminisme" tetapi feminisme harus pula mendengarkan kritikan dari kaum perempuan sendiri maupun kaum laki-laki agar "persamaan" (equality) tidak kemudian menjurus pada "kebebasan" (liberation) yang tidak bertanggung jawab.

* Diambil dari tulisan Bp. Herlianto/ Yabina

Kesetaraan: Pendidikan Berbasis Jender

Biaya pendidikan yang setiap tahunnya semakin bertambah mahal semakin membebani orangtua siswa. Akibatnya, bagi siswa dari keluarga miskin, sekolah semakin menjadi impian.

Untuk menikmati fasilitasi pendidikan "berkualitas" semakin tidak memungkinkan. Banyak anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin melanjutkan studinya di sekolah yang kualitasnya di bawah standar. Yang penting, biaya terjangkau oleh kocek pendapatan orangtua mereka.

Mahalnya biaya pendidikan di Indonesia disebabkan oleh arus komersialisasi pendidikan. Pendidikan menjadi komoditas yang ditawarkan kepada siswa (orangtua siswa) dengan berbagai variasi biaya.

Pendidikan berkategori "unggulan" biayanya tentu saja setinggi langit. Banyak sekolah unggulan mematok biaya pendidikan mahal. Mulai dari sumbangan pengembangan institusi yang besarnya jutaan rupiah, biaya seragam, biaya kegiatan ekstrakurikuler, hingga buku teks wajib yang seharusnya tidak menjadi beban orangtua siswa.

Dampak komersialisasi pendidikan lambat laun akan membuat diskriminasi hak memperoleh fasilitasi pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin. Padahal, menikmati pendidikan yang berbiaya murah dan berkualitas adalah merupakan bentuk perwujudan hak asasi manusia, hak sosial-ekonomi-budaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.

Pemerintah (negara) ini yang telah mengikrarkan diri untuk berkomitmen pada Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs) memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasi upaya pencapaian pendidikan dasar bagi anak-anak usia sekolah.

Hak memperoleh fasilitasi pendidikan harus dijamin melalui subsidi negara secara berkelanjutan melalui alokasi anggaran negara yang layak.

Sayangnya, filosofi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) menjadikan pendidikan bukan lagi sepenuhnya tanggung jawab negara. Negara seolah lepas tangan dalam membiayai pendidikan bagi masyarakat. Pendidikan justru dilepas sebagai "kewajiban" masyarakat untuk ikut andil dalam pembiayaan pendidikan.

Tidak mengherankan alokasi anggaran pendidikan di Indonesia yang dipatok dalam APBN masih belum memenuhi batas minimal 20 persen.

Minimnya alokasi anggaran negara untuk program pendidikan memang akan menyebabkan dampak buruk bagi komitmen memfasilitasi hak anak-anak miskin memperoleh pendidikan layak. Akan semakin banyak anak-anak usia sekolah yang tidak meneruskan sekolah.

Data riset Education Watch tahun 2006 menyebutkan bahwa kecenderungan realitas tidak meneruskan sekolah bagi anak- anak dari keluarga miskin makin meningkat persentasenya. Data anak-anak dari keluarga miskin yang jebol sekolah ketika duduk di bangku sekolah dasar meningkat menjadi 24 persen, sedangkan yang tidak melanjutkan ke bangku sekolah menengah pertama menjadi 21,7 persen. Sementara anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin yang jebol sekolah ketika memasuki bangku usia sekolah menengah mencapai 18,3 persen, dan yang tidak meneruskan ke jenjang pendidikan sekolah menengah atas dari sekolah menengah pertama mencapai 29,5 persen.

Diskriminasi

Ironisnya, kebanyakan anak- anak usia sekolah dari keluarga miskin yang gagal melanjutkan sekolah dari jenjang SD ke SMP atau dari SMP ke SMA mayoritas (72,3 persen) adalah siswa perempuan.

Anak-anak perempuan usia sekolah yang tidak meneruskan sekolah selain karena minimnya biaya pendidikan dari keluarga, juga karena masih terjerat cara pandang patriarkis orangtua.

Orangtua anak-anak perempuan usia sekolah dari keluarga miskin menganggap anak-anak perempuan mereka tidak usah melanjutkan sekolah. Lebih baik anak perempuannya langsung dinikahkan atau didorong bekerja di sektor publik sebagai pembantu rumah tangga atau buruh informal.

Kondisi demikian menjadikan anak-anak perempuan usia sekolah dari keluarga miskin menjadi kelompok sosial yang dilanggar hak sosial-ekonomi-budayanya. Mereka tidak bisa mendapatkan hak memperoleh (menikmati) pendidikan yang berkualitas dan berbiaya murah.

Andai kata pun anak-anak perempuan usia sekolah dari keluarga miskin bisa meneruskan studi sampai jenjang sekolah menengah, mereka terpuruk menjadi pekerja sektor informal berupah murah.

Membaca realitas di atas, maka sebenarnya dunia pendidikan di negeri ini telah mendiskriminasi hak-hak anak perempuan.

Pendidikan alternatif

Untuk itulah saat ini perlu bagi kalangan penggiat pendidikan alternatif untuk mengembangkan program pendidikan berbasis kesetaraan jender.

Langkah-langkahnya adalah, pertama, perlu dirumuskan reorientasi kurikulum pendidikan sekolah alternatif yang sensitif jender sehingga ada penghormatan terhadap hak-hak anak-anak perempuan.

Kedua, perlu kalangan penggiat pendidikan alternatif untuk mendesak adanya plafon subsidi anggaran pendidikan yang khusus untuk anak-anak usia sekolah dari komunitas perempuan (keluarga miskin) sehingga mereka bisa melanjutkan studi setidaknya sampai lulus jenjang sekolah menengah atas.

Ketiga, perlu diimplementasikan program perwujudan kesetaraan hak pendidikan bagi anak perempuan dalam berbagai jenjang dan jenis pendidikan.

Keempat, kesetaraan dalam mengaktualisasikan diri dalam proses dan kegiatan belajar-mengajar.

Ari Kristianawati Guru SMAN 1 Sragen, Jawa Tengah
Sumber: Kementrian PP dan PA

Terhambatnya Perempuan, Kerugian Demokrasi

Senin, 16 Februari 2009 07:00

Oleh: Maria hartiningsih

Terhambatnya perempuan menembus kursi legislatif merupakan kerugian signifikan bagi proses demokrasi di negeri ini. Sementara itu, perilaku politik sebagian anggota legislatif yang 89 persennya laki-laki membuat tingginya krisis kepercayaan terhadap proses demokratisasi.

Demikian benang merah pernyataan Wakil Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Dr Dewi Fortuna Anwar; Direktur The Habibie Center Ahmad Watik Pratiknya; peneliti masalah demokrasi Didiek Supriyanto; anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nursanita Nasution; mantan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita Ny Sulasikin Murpratomo; serta calon presiden dari jalur independen, Marwah Daud Ibrahim.

”Kasus-kasus yang menimpa banyak anggota DPR membuat kredibilitas dan akuntabilitas mereka dipertanyakan,” ujar Dewi Fortuna dalam diskusi meja bundar di Gedung The Habibie Center di Jakarta, Selasa (3/2), ”Selain itu, kita juga melihat sangat kurangnya produk-produk kebijakan yang berpihak kepada rakyat.”

Itu sebabnya, kata Dewi, masalah-masalah yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, khususnya yang terkait langsung dengan kehidupan keluarga (politik domestik), sangat kurang mendapat perhatian, seperti pendidikan, tenaga kerja, lingkungan, ekologi, dan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi perempuan. Padahal, isu-isu itu sangat krusial konteks pembangunan berkelanjutan di suatu negara.

”Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia masih tertinggi di Asia. Ini indikator paling jelas dari rendahnya Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia,” kata Dewi.

Nursanita Nasution menambahkan, produk kebijakan yang mengacu pada kesejahteraan rakyat jumlahnya tak lebih dari empat persen dari seluruh UU yang dihasilkan selama ini. ”Sebagian besar produk UU menyangkut pemekaran,” katanya.

Kehadiran perempuan secara signifikan di lembaga legislatif, menurut Dewi, juga akan menyangkut alokasi sumber daya bagi isu-isu yang terkait dengan perspektif jender dalam hubungan internasional, termasuk penolakan terhadap perang dan keberpihakan pada perdamaian dan kesejahteraan.

Tidak mudah

Meski hak politik perempuan di Indonesia didapat jauh lebih dulu dibandingkan perempuan di AS, dan meskipun didukung berbagai instrumen perundang-undangan, termasuk konstitusi, tetap tak mudah bagi perempuan berpolitik.

Didiek dan Ani memaparkan, perjuangan politik perempuan selama 10 tahun untuk affirmative action dengan 30 persen keterwakilan perempuan dan sistem proporsional terbuka terbatas dipatahkan ketika keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 214 Undang-Undang No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu tak punya kekuatan mengikat secara hukum.

Keputusan MK itu ditafsirkan kemenangan suara terbanyak sehingga penempatan perempuan pada nomor urut dengan zipper system, seperti yang tercantum pada Pasal 55 yang diperjuangkan selama bertahun-tahun, menjadi tak berguna.

”Kita yang katanya kampiun demokrasi keempat di dunia ternyata masyarakat kita sangat patriarkhis dan feodal karena tetap melihat kepemimpinan itu harus elitis. Tanpa tindakan afirmasi, kapan ada masyarakat biasa yang bisa memasuki wilayah kepemimpinan,” ujar Ani.

Soal sistem pemilu memang masih diperdebatkan. Seperti dipertanyakan Dewi, apakah lebih baik sistem proporsional terbuka yang diyakini lebih demokratis karena diasumsikan transparan dan akuntabel atau dengan affirmasi yang proporsional terbuka terbatas untuk menyelamatkan demokrasi dari dominasi para penjahat yang menggunakan demokrasi hanya untuk kepentingan kekuasaan sesaat.

Didiek mempertanyakan mengapa tak ada gugatan terhadap asumsi bahwa sistem proporsional terbuka menjamin didapatkannya wakil rakyat yang lebih berkualitas.

Ia memaparkan, kegagalan sistem itu pada pemilihan Dewan Perwakilan Daerah.

”Kita lihat, sebagian besar yang terpilih adalah mantan pejabat, istri mantan pejabat, pengusaha, dan mereka yang punya modal.”

Ny Sulasikin Murpratamo menambahkan, ”Saya dengar sekarang ini, kalau tidak punya uang sedikitnya Rp 1 M, tidak bisa ikut kampanye caleg.”

Semakin berat

Perjuangan perempuan di bidang politik formal semakin berat terkait dengan generalisasi terhadap perempuan.

”Kalau laki-laki anggota legislatif tidak berprestasi atau gagal memperjuangkan aspirasi rakyat, itu dianggap biasa. Kalau itu terjadi pada perempuan, mereka langsung ditempelkan stereotip bahwa perempuan memang tak mampu berprestasi,” kata Dewi.

Tekanan terhadap perempuan untuk membuktikan bahwa dirinya mampu berkiprah di dunia politik, menurut Dewi, jauh lebih berat.

”Perempuan harus membuktikan empat sampai lima kali lipat agar diakui,” kata Ani.

Sementara itu, kalangan pemilih yang tak setuju perempuan menjadi pemimpin pasti tak akan memilih perempuan caleg dengan alasan yang subyektif-irasional.

”Sebaliknya, para pemilih yang mendukung ide perempuan pemimpin juga tak serta-merta memilih perempuan karena mereka akan melihat kualitasnya. Alasan ini obyektif dan rasional,” kata Dewi.

Soal kualitas

Dengan demikian, perempuan tidak dipilih karena alasan subyektif irasional maupun obyektif rasional. Sementara jumlah perempuan caleg sedikit dan kualitasnya belum tinggi.

”Kalau desain KPU tak masuk ke perpu, bisa-bisa jumlah perempuan di legislatif turun sampai 20-30 persen,” kata Ani.

”Dalam Pemilu 2004 dengan sistem proporsional terbuka terbatas, kinerja caleg perempuan untuk meraup suara terbanyak hanya dalam kisaran lima persen dari bilangan pembagi pemilih,” ujarnya.

Dengan sistem terbuka, dalam 10 tahun ke depan pun belum tentu didapatkan perempuan politisi sekaliber Marwah Daud. ”Saya ini produk affirmative action pada masa lalu. Bu Sulasikin yang mendorong, mendukung, dan menjadi mentor saya,” ujar Marwah yang tak melihat ada proses mentoring di kalangan perempuan legislatif saat ini.

Perlu intervensi

Untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen, ia menganjurkan, intervensi di tingkat struktural secara ketat, sekaligus yang kultural secara paralel dan ketat, membuat peta keterwakilan perempuan sampai ke tingkat terendah agar tahu bagaimana merangkai kekuatan, turun sampai ke desa, agar konstituen sungguh-sungguh mengenal caleg dan caleg pun memahami isu strategis di tingkat paling lokal.

”Waktu terpilih pertama kali, kita harus dibantu, dimentorin. Untuk yang kedua, kita harus bekerja keras meyakinkan konstituen di bawah. Pada pemilihan berikutnya, kita yang dicari konstituen,” kata Marwah.

Sumber: Kementrian PP dan PA

November 29, 2010

Selamat Merdeka.

8 Oktobre 2010 – 09.51pm
Selamat Hari Kelahiran, semoga raga dan jiwamu selalu merdeka.
KAU ADALAH JIWAKU. KARENA KAU ADALAH KAU. HIDUP MATIKU.
Ketika kita menjadi tua, waktu akan membuat kita dikelilingi oleh orang-orang yang mencintai kita, sebagai ganti dari orang-orang yang kita cintai. (J. Petit Senn)
25 Oktober ini ada yang berkurang lagi umurnya. Berkurang ? Ya. Jatah berleha-lehanya berkurang sesuai yang telah di tetapkan oleh Tuhannya. Lalu, berapa jatah yang Tuhan berikan padanya ? Aku tak tahu. Bahkan Perempuan yang melahirkan dan yang lahir pada tanggal 25 Oktober ini pun sama sekali tidak mengetahuinya.
Aih, mengapa begitu banyak hal terlintas di otakku? Terlalu banyak soalan yang butuh jawab tanpa kita tahu rumus untuk menjawabnya. Betapa pun sulitnya bertemu—hal biasa yang mungkin tak seberapa penting, tapi aku yakin, tak ada artinya lagi semua itu, karena rasa saja cukup mewakili, semoga.
Lelakiku Tersayang,
Aku tak begitu paham untuk memulai dengan kata apa sepantasnya kali ini. Banyak kata yang berkelibat hendak aku tuliskan. Terlalu segan aku menuang mereka dengan bersahaja. Karena memang sekarang cukup tak bersahaja kita. Dan kali ini aku sangat ingin semua ini menjadi bersahaja. Tanpa hambatan. Tanpa debatan panjang. Sekali pun kita begitu keras menjalani, biarkanlah itu di saat itu saja. Dan biarkan aku berbaik-baik dengamu kala ini. Ha-ha-ha, ini bodoh. Mungkin aku terlalu akrab dengan lingkar kebodohan yang kerap menjadi sahabatku.

Dan Lelakiku Tersayang,
Untuk dua kali ini ku katakan, aku tak begitu paham apa yang hendak aku ungkap. Terlalu sedikit peluangku untuk berkata-kata padamu. Kini, kebingungan yang membawa kegundahan kian manja memuncak menggertakku. Tak ingin hiraukan, tapi ia datang menggempur bak serangan senjata Israel pada bumi Palestina. Terus menerus. Kalap aku ia buat. Dan semakin bodohlah aku yang tak memanfaatkan waktu yang sedikit ini.

Kali ini mungkin kau sudah berdecak heran, bodohnya Perempuan yang menulis catatan ini. Tentu aku tidak mau kau berpikir begitu, meski mungkin sudah. Ketika memulai ini catatan, aku berpikir ingin berkisah tentang yang lalu. Tapi tak begitu yang ku rasa. Tak ada keinginan sedikit pun untuk menempatkan yang kemarin itu menjadi lalu. Menjaga ia tetap ada. Selalu. Paling tidak itu rasaku. Harap kau maklum akan itu.
Jalangkah aku saat ini pun aku begitu ingin memakimu—meski tahu aku tak sedikit pun ada alasan atas cacianku, nanti justru melelahkan. Ya, lelah aku melukai banyak orang yang kusayang dengan itu. Dan kau Lelaki Tersayangku. Entah omong kosong atau sekedar racauanku, tak ingin aku begitu padamu—meski banyak aku lakukan itu. Tak bisa aku palingkan benak dari utuh bayangmu, like insomnia.

Apa jadinya ini tulisan dan apa pun persepsimu atasnya, tak ingin aku tahu. Tak ingin aku peduli. Bahkan mungkin tak terbaca sekalipun. Cukup aku berterima kasih dengannya, yang mampu buatku sedikit bernapas lega. Media yang baik sekali ini tulisan.

Karena tahukah kau, Lelakiku Tersayang? Sulit aku temukan cara yang tepat untuk berindah-indah padamu. Bukan Perempuan romantis aku rupanya. Baru kusadari itu. Ha-ha-ha. Kebodohanku memang baik sekali denganku, mampu ia buat aku tertawa. Kadang aku juga mengumpat diriku, mengapa tak bisa aku bersikap layaknya betina-betina lain di bumi Srikandi ini. Yah, seperti ucapmu—Preman, hm.. sepertinya memang tak pantas aku menjadi Perempuan. Terlalu jalang juga bengis. Beruntunglah masih kumiliki Ibu yang kerap menasehati agar « berperempuan-perempuanlah sedikit » dengan nada tinggi, dan Abang yang lahir sekali untuk menjadi lelaki kuat juga sangat lemah—hingga kerap aku menjadi si abang yang berkelamin Perempuan. Hanya lelaki tua yang kusapa Bapak yang perlakukan aku tak berlebih, mengerti ia aku punya dunia yang tak perlu campur tangan untuk mengorganisirnya. Dan jadilah aku bengis sepertinya. Tak sesuci Ibu Tersayang atau sebaik dan selugu Abang Tersayangku yang kerap aku benci.

Bagaimana denganmu, Lelakiku Tersayang ?
Ha-ha-ha, soalan yang cukup membingungkan. Selalu begitu. Abstrak. Bisa dikatakan soalan itu mewakili pikirku padamu malam ini. Seperti lirik dalam lagu Fall For You yang ditembangkan Secondhand Serenade, hal terinadah dari malam ini adalah begitu damainya kita. Berbicara tanpa berkelit dan saling menunjukkan kekerasan diri. Meski aku tahu ini bukanlah cara yang indah dan tepat. Paling tidak ini cara baik untuk kau, pun aku. Ingin sekali aku tahu, bagaimana kau lalui hari ketika aku tak mampu mengaksesmu seperti biasa—baik dengan predikat teman-bahkan orang yang mengasihimu. Bagaimana gerakmu yang selalu ingin aku perhatikan dengan teliti. Bagaimana lakonmu—ucapmu yang lekat dan selalu ingin aku rekatkan di hari-hariku. Mungkin aku banyak bersalah pada banyak hati di saat ini. Ego yang menjulang tanpa mau dipatahkan. Hilangnya sosok sahabat yang aku sangat sayangi—yang sempat aku inginkan dulu—dan datang saat aku terpuruk kemudian mewujudkan hasrat yang pernah kupendam dalam—yang pergi juga saat aku sudah terlanjur sayang, pun terlalu menyayanginya. Yang tak ada keinginan sedikit pun untuk membencinya bukan karena ia tak mau dibenci tapi karena dia kamu.
Begitu manisnya keras hatimu buat aku sangat senang sempat memilikimu. Malah, yang aku benci sekarang, kesenangan yang sementara dan singkat itu ingin ku kecap lagi dan tak mau mengakhirinya. Mungkin itu tak mungkin, tentu. Betapa sulitnya mengeraskan itu semua. Dan sampailah di saat aku kalah dengan rasa. Lagi. Tepat kata seorang kawan, rasa sayang yang terkasih akan mengalahkan segalanya. Omgong kosong yang sangat berisi itu. Tentu kau pun alami yang sama. Meski bukan untukku, tak apa. Naif. Ya. Munafik. Tidak. Bukan tipeku itu.

Tak perlulah aku mengoceh untuk menegaskan itu semua. Begitu jelas terasa. Beruntunglah tak pernah terlihat. Meski nyata dalam pandangan. Cukup senang aku kau mengerti menempatkan kasihmu, entah itu terlambat atau tepat pada waktunya. Dan maaf lelakiku, aku sempat bahkan selalu membuyarkan rasamu itu.

Terlalu. Itu kata yang mampu aku deskripsikan atas raga dan jiwaku. Akhirnya. Tak banyak waktu yang dilalui. Betapa tipisnya masa itu. Betapa rindunya aku masa itu. Detik di mana aku menghela napas, untuk Sang Perempuan yang memperanakku dan untuk kau—Lelaki Tersayangku, juga untuk Tuhanku tentu. Alasan hidup yang cukup buatku masih mau terima segala perlakuan Tuhan pada diri yang cukup jengah dengan segala ketidakadilan. Hanya coba bertahan untuk menikmati segala pertunjukkan dunia. Dan ternyata aku masih setia bersandiwara dalam skenario yang Ia rancang.

Entah berkat atau kutukan aku yang sedikit mampu melihat hal di depan nanti. Naïf aku selalu. Ketika buruk dalam pandangan aku ingin mengutuk keahlian yang sedari kanak kudapat. Dan kau dengannya pun hadir untuk aku umpat dalam hati. Maaf.

Hei, Lelaki Tersayangku,
Tahukah kau siapa yang mencipta peribahasa tentang mengulang kesalahan yang sama? Ingin sekali aku bertemu sua dengannya. Ingin aku menyoalnya dengan adakah sesuatu yang lebih bodoh dari seekor keledai? Jika tak ia temukan, aku dengan segala kebodohanku hendak menjawabnya. Lebih buruk pula aku dari binatang dungu.

Lelakiku, kerap kali ingin aku hilang ingatan. Ketika terpuruk tentu. Sebelum bertemu hatimu tentu. Tapi, apa bisa aku dikata aneh saat ini aku bermohon tak mau aku alami itu. Dulu, pernah aku alami itu, dan beruntung kau belum ku temui. Terlalu manis kau untuk dihilangkan dalam relung dan benakku. Sekali pun kesendirian dan suara kesepian begitu hingar dalam diri. Biarkanlah aku menahan utuh bayangmu dalam hari-hariku. Hingga nanti ia terlumat dalam usia yang kian berkurang.

Sial kau pernah bersamaku. Tak satu hal pun aku mampu bawa kebaikan. Berdosa aku atas ragamu. Berdosa pula aku atas lakonmu. Tapi tak berdosa aku atas hatimu. Itu tegasku. Setidaknya biarkan sekali saja aku menikmati hati yang kasih untukmu. Masalah kau peduli atau tidak, tiada apa.

Lalu Lelaki Tersayangku,
Entah di usia berapa. Tak terbayang suatu hari nanti aku bertemu kau dan keluargamu. Anak-anakmu. Benihmu tumbuh. Benihmu dan benihnya tumbuh dalam rumah milik kalian. Kalian bersenang-senang dan bahagia dalam rumah yang kau impikan. Kau berlakon bijak dengan status kepala keluarga. Istrimu setia menanti kepulanganmu bersama anak-anak kalian. Saat kau pulang kau berceritera tentang hari kerjamu. Saat kau pulang kau melepas rindu dengan mengecup kening istrimu. Istri dan anak-anakmu menyambutmu dengan mencium tangan kananmu. Saat kau pulang kau bercinta dengan istrimu dari mentari tenggelam hingga fajar terbangun dari tidurnya? Oh.... betapa menyiksa aku semua itu.

Sungguh.
Tak terbayangkan suatu hari nanti kita bertemu. Kau memperkenalkan semua keluarga tersayang dan terkasihmu padaku, yang tentu saat itu aku sendiri. Tanpa keluarga tersayang dan terkasihku.. Yang hidupnya masih selalu menantimu untuk kembali meski tak mungkin sama sekali. Yang hatinya lengang tak terbalaskan lagi. Yang bernafas pun hanya untuk menunggu pertemuan-pertemuan tak terbayangkannya dengan lelaki terkasih dan tersayangnya. Kau selalu di hati. Tapi, aku sudah benar-benar di ujung jalan. Tempat di mana aku tak bisa lagi menitipkan jantung hatiku dalam relungmu dengan kedudukan yang indah dan istimewa. Tempat di mana aku hanya bisa menatap dengan kian detik kian samar karena kau semakin jauh. Di detik terakhirku, semua kupersembahkan untukmu. Kau bukan belahan jiwaku. TAPI KAU ADALAH JIWAKU. KARENA KAU ADALAH KAU. HIDUP MATIKU. Aku menyayangimu di hidup dan matiku, Lelaki Tersayang.

Jangan pula kau berpikir aku sedang menggila. Utopis atau pencenayang gadungan. Perempuan yang logikanya sudah rusak akut. Pastikan saja aku dengan pikiran aku Perempuan gila yang kerap ganggu hidupmu dengan segala kekhawatiran yang berlebihan. Ketakutan yang dibuat-buat. Karena tentu aku gila. Jiwa yang menggila. Untunglah ragaku tidak. Mungkin lebih tepat belum. Hanya saja, berharap berhenti berharap. Mementahkan segala yang manis.

Tiada kata selain RINDU untukmu Lelakiku Tersayang.
Tiada kata selain SAYANG untukmu Lelakiku Tersayang.
Tiada kata selain MAAF dan TERIMA KASIH untukmu Lelakiku Tersayang.
Atas nama hati, AKU SAYANG KAMU.

Perempuan dan Para Malaikat 02.56 21 Agustus 2010

Ini pagi.
02.56 waktu telah menggelantungi kelam malam-Nya.
Dan, di ruang 3 x 4 sesosok hawa terdiam.
Tanpa kata.
Karena tiada ada yang hendak ia ucap.
Ataukah terlalu banyak yang ingin diucap?
Ya, sepertinya begitu.
Entah afirmasi apa pun itu ia masih bertanya-tanya.

Digelapnya malam raya siapa pula yang hendak bicara, pikirnya.
Tak ada pula seorang yang ia bisa ajak bercuap-cuap.

Tentang gundah hati.
Tentang resah diri.
Tentang kehidupan.

Hidup.
Ya, alasan banyak orang untuk ada di dunia yang dipilih.
Atau dipilih-Nya?

Kata suatu ajaran agama,
kelahiran – pernikahan atau perjodohan dan kematian adalah takdir.
Kodrat kata umat agama itu.
Mungkin juga agama yang saat ini aku imani, itu sadar si HAWA.

Bulan suci ini.
Bulan kemerdekaan ini.
Di tahun yang entah mengapa begitu sepi rasanya hidup.
Mengapa begitu berat ia rasa mencari berkah.
Tapi, ada sebagian saudara seumatnya berkata: berkah akan datang sesuai kehendak-Nya.
Tapi, ada sebagian saudara seumatnya berkata pula: berkah akan datang jika kau mencari dan mengejarnya, maka kejarlah ia dan lakukan kebaikan selama kau hidup, maka berkahmu akan datang.

Kadang ia berpikir, mengapa selalu ada banyak versi dalam memandang suatu apa pun itu.
Bahkan dalam ritual agamis.
Dalam pikirnya, yang baik adalah yang benar.
Tak mungkin jua suatu keyakinan menuangkan ajar yang buruk untuk diimani penganutnya, bukan?

Bicara berkah, teringat ia akan tiga hal yang ditakdirkan oleh Tuhan dalam agamanya.
Kelahiran – pernikahan atau perjodohan dan kematian adalah takdir.


Tiba-tiba dikoreksinya hidupnya terkait tiga hal sakral itu.
Di tahap pertama..
Seketika ia mengingat-ingat tentang hari kelahirannya yang bernaung di enam bulan lalu.
Matanya kian memaksa buka kisah semasa kanak-kanak.
Maksudku, bayi.

O, ternyata ia kembali terlalu dalam..
Dilihatnya segala hal mati.
Kecuali dia.
Hela napas terhembus bak saluran tabung oksigen dari Sang Ibu yang lalu dari tali pusar.
Seakan menghempas angin, helaan kian menekan-nekan mahkluk kecil di dalamnya.
Seakan menghujamkan beton, segala yang mati menghimpit diri.
Tertekan dan ditekan.
Terhimpit dan dihimpit.
Tertekan.
Ditekan.
Terhimpit.
Dihimpit.
Dengan sengaja bahkan tidak.

Yang tentu, pengharapan atas gerak menuju PINTU alam pertama.
Jerit perih Perempuan yang peliharanya belum mampu ia dengar.
Tapi itu hanya cukup beberapa menit saja.
Karena tidak dalam hitungan jam ia datang di KEHIDUPAN nyata.
Terlahir ia di bulan pertama pada dua puluh dua tahun silam.
Tepatnya di sabtu hampir sore.
Pukul 14.45 kala itu.

Saat itu, Tuhan tepat meletakkan kelaminnya sebagai turunan Hawa.
Tidak rupawan tapi menggemaskan.

Di tahap kedua..
Ia lupa yang harus ia koreksi atas diri dan kodratnya.
Hm, jodoh. Pernikahan rupanya.
Terselip senyum tipis dari bibirnya.
Sedetik kemudian ia hela napas panjang.
Mungkin letih.
Letih akan hal yang berada di tahap kedua dalam kodrat insan dunia.

Benci aku memikirkan dua hal itu, umpatnya dalam hati.
Hm, jodoh dan pernikahan.
Apa itu semua?
Kata saudara seumatnya, jodoh itu di tangan Tuhan.
Dan pernikahan itu ibadah.
Hahaha...
Tawanya renyah memecah senyap gulita malam.
Dalam gelap hatinya menangis.
Ruang dalam relungnya berteriak dan merengek-rengek paksa titik di sudut mata si PEREMPUAN jatuh bebas bak air gunung yang jernih menuju muara.
Teringat ia akan lelaki yang dipujanya sekali dalam hidup.
Lelaki yang sangat biasa dan sederhana.
Tapi bernas dan banyak hal terekam dalam batok kepalanya.
Cukup baik. Sangat baik. Baik sekali.
Tidak sedikit ia habiskan waktu untuk bercengkrama mencumbui kekasihnya.
Tidak pula dalam hitungan sehari atau dua hari.
Lebih panjang. Lebih lama.
Namun, singkat.
Seribu seratus lima belas lamanya jika dikalkulasi dalam hitungan hari.
Banyak hari, bukan?
Namun, singkat.

Teringat ia akan lelaki yang dipujanya sekali dalam hidup.
Lelaki yang sangat biasa dan sederhana.
Tapi mampu membuatnya nyaris mati akibat kebodohannya yang kerap ingin mengerat urat kehidupannya.
Karena hal yang sangat tidak kecil dan tak biasa kesepakatan untuk saling berbelok pun pantas dipaksa.

Sumbu kasih yang terpenggal begitu biasa.
Tampaknya, biang minyak dan botol pelita telah bocor.
Sebab itu pula semua berai.
Terbakar.
Berserak.
Bersisa DEBU.

Benang merah tak lagi tersambung erat.
Tak juga kusut menyimpul.
Tapi hilang entah kemana perginya.
Tak berjejak.
Tunggu! Bicara jejak, semua berjejak.
Kelahiran saja berjejak!
Bagaimana jejak tali kasih itu bisa tiada?
Pasti ada.
Dan memang ada.
Jejaknya berduri.
Duri yang tajam.
Bagai belati yang sengaja diasah untuk menusuk dan menikam sel-sel biru dalam relungnya.


Lagi-lagi, Tuhan di agamanya sungguh-sungguh baik sekali.
Atau....
Itukah takdir?
Itukah kodrat?
Jika memang tak dikehendaki detik ini, tak kunjung matilah ia meski disembelih bahkan dipancung.
Masih berhembus napasnya yang sempit hingga kini.

Di titik akhir kisah hatinya dengan lelaki yang sederhana, pembalasanlah menjadi pemicu.
Dendam bersarang tanpa permisi.
Tapi memang diundang.
Bengis ia menatap KAUM Adam.
Binal lakon mereka buat isi perut dan kepala serasa termuntahkan selalu.
Mual menerjang segala prasangka setan.

Di titik berikutnya, dendam tetap bersarang.
Tak satupun tingkah lelaki baik ia pandang.
Tak kecuali lelaki tua yang di rumah -- di kampungnya yang katanya harmoni.
Tak kecuali lelaki muda yang acap ia sebut abang dalam berbicara.

Semua sama dalam lakon.
Semua tiada sama dalam bentuk.

Berpikir apa tadi aku di awal pengoreksianku?
Oh, pernikahan dan jodoh...
Hah, sudi pun tidak..

“Mungkin belum..”
“Ha? Siapa itu?”
“Aku. Ini aku.”
“Siapa kau? Legam sekali ragamu? Apa kau setan?”
“Hahaha. Raga? Ada-ada saja kau, manis. Bukan, aku malaikat. Malaikatmu. Malaikat dari hatimu. ”
“Halah, malaikat itu putih bukan hitam arang begini.. Apa urusanmu? Mengganggu saja.”
“Jangan merasa terganggu karena aku datang kau yang memanggil.”
“Maksudmu? Kapan aku panggil kau? Tidak. Sudah, pergi sana!”
“Tunggulah, jangan rewel begitu. Kau setidaknya harus menyambut kehadiran rivalku.”
“Apa katamu, rival? Siapa? Hm, katamu kau malaikat, berarti dia setan.. Mana, aku tidak takut!”
“Tunggulah, sabarlah sedikit saja. Apa kau begitu tak sabar bertemu dengan belahan jiwa terkasihmu itu?
“Kau ini bicara apa? Siapa yang kau sebut belahan jiwa, dan apa itu, terkasih?”
“Ya, kau bukankah sangat memuja dia. Aku memuja siapa, setan maksudmu?
“Aku punya Tuhan, dan dia satu-satunya yang aku puja. Bahkan dari aku nol tahun. Lalu, mana rivalmu itu, lamban sekali!”
“Mengapa kau begitu rewel, manis, begitu rindukah kau akan kehadiranku?”
“Kau yang ia sebut setan, belahan jiwa terkasihku?”
“Ya! Ada apa, apa aku menakutkanmu?”
“Hahaha!!! Betapa sedihnya parasmu itu mana mungkin aku takut akan sosokmu. Tunggu, dia malaikat tapi berwarna hitam dan kau setan mengapa warnamu merah menyala begini. Ya, aku tahu, kata agamaku, kalian dicipta dari api, tapi bukannya setan itu hitam?”
“Sudahlah, jangan bahas warna kami. Ada apa kau panggil aku?”
“Panggil? Ah, kalian ini datang tanpa undangan dan memang tak ada keperluan. Hah, jika ada yang melihat aku begini, dikata aku tak waras pasti!”
“Manis, kau mengundang dan pasti ada keperluanmu atas kehadiran kami. Dan tak ada yang akan mengataimu gila. Mereka toh melalui hal serupa ketika mereka memanggil belahan-belahan jiwa mereka. Jadi, apa yang harus kami perbuat?”
“Semua ini apa, sih? Tapi, baiklah, aku ingin menyoal kalian satu persatu. Bagaimana, kalian sudi?”
“Hm, tak ada alasan untuk menolak permintaanmu, manis..”
“Aku tanya, mengapa kalian ada, bagaimana kalian ada, untuk apa kalian ada?”
“Kami ada karena kau yang menciptakan. Kami ada dengan diciptakan dan tumbuh dalam dirimu. Kami ada untuk menemanimu. Ada lagi?”
“Bagaimana bisa kalian bilang aku yang ciptakan kalian? Aku tak pernah lakukan hal-hal aneh itu. Dan aku tak butuh teman seperti kalian.”
“Kau, benar manusia rupanya..”
“Ya, memang aku manusia. Sungguhan. Dan kalian—mahkluk gaib, ah apalah itu, pusing aku!”
“Kau yang mencipta kami mengapa pula kau lupa dan balik bertanya hal-hal yang sudah seharusnya kau tahu tanpa harus berpikir dan menyoal kami.”
“Sudah, aku lama-lama gila. Apa aku sudah gila? Ya, mungkin.”
“Kau tak gila. Sangat waras bahkan. Hanya saja, jiwamu sedang tak bersahabat. Baik pada kami, dan Dia.”
“Apa maksud perkataanmu?”
“Kau di ambang pintu, manis. Cobalah berpikir, bagaimana kau bisa sangat biasa berbicara lancar dengan kami, tapi tidak dengan-Nya?”
“Aku tak paham arah bicaramu. Bicaralah yang konkret!”
“Hei, jangan labil begitu, manisku.”
“Kelabilannyalah yang menghadirkan kita di hadapnya, kawan.”
“Aku lupa. Lalu, apa yang ingin kau tanya lagi? Adakah lagi soalmu untuk kami jawab? Apa kau hendak bertanya, mengapa kau bisa begitu baik berbicara dengan kami? Mengapa kau tidak mampu lakukan itu dengan Tuhanmu. Tuhan yang memberikan takdir untuk umat-umatnya, saudara-saudaramu di dunia. Tuhan yang menaburkan kehidupan melalui kesalahan Adam dan Hawa. Tuhan yang mengatur segala titik lahir dan mati juga ikatan kasih umat-Nya. Apa yang ingin kau tahu, manis? Bicaralah?”
“Bagaimana kalian tahu aku selalu bertanya-tanya akan itu semua?”
“Karena kami adalah kau. Jangan bilang kau lupa hal yang baru saja aku katakan..”
“Hah, aku nyaris gila kalian buat.”
“Hei, jangan pikirkan itu!!!”
“Ha? Pikirkan apa?”
“Aku ‘kan sudah bilang, kami ini adalah kau. Segala pikir, rasa semua yang kau alami kami pun tahu! Dan, mengapa kau berpikir mati? Bukankah kau senang hati saat ini?
“Aku semakin tak percaya tapi entah mengapa terpaksa percaya kalian adalah aku. Senang? Apa hal yang bisa buat aku senang, kawan?”
“Kau jangan coba menjebak, manisku. Bukankah hatimu senang hingga nyaris melompat ke udara berkat kedatangannya?”
“Kedatanganya? Kedatangan siapa maksudmu?”
“Lelaki yang baru saja kau pikirkan saat bersamaan kau bertanya tadi?”
“Hahaha, kau ini seperti ahli nujum jaman dahulu. Ya, aku senang atas hadirnya. Dia...”
“Baik, bernas, menarik, kelakar, lugu...”
“Ya, itu dia. Cukuplah menilainya, aku tak ingin banyak kategori yang menaungi karakternya. Lalu, apa kaitannya?”
“Dia baik, kau pun sayang akan dia, lalu mengapa kau hendaki yang buruk?”
“Aku hanya coba mentahkan semua ingin dan butuhku atas dirinya, atas hatiku yang kerap lemah dan menghamba. Apa itu berlebihan?”
“Sama sekali tidak. Tapi, apa kau tak ingin menjadi manusia biasa yang sesungguhnya?”
“Aku tak maksud dengan bicaramu, kawan”
“Kau yang seperti ini mungkin banyak di luar sana. Dan aku tahu betul alasan tepat yang mereka jadikan alibi. Aku pun paham akan alasanmu. Termasuk semua penolakanmu atas nama takdir, kodrat, nasib dan segala yang serupanya.”
“Lalu..”
“Apa untung yang hendak kau raup?”
“Apa rugi yang hendak kau tadah?”
“Entahlah, aku tak tahu. Tak ingin pula aku tahu. Cukup mentauladani jejak hari dengan aku yang seperti ini, bagiku cukup. Tuhanku pun pasti senang.”
“Yakin kau Ia senang?”
“Tidak. Aku hanya berharap. Yah, jika Ia tak senang atas aku, semoga saja ia maklum. Bukankah Ia baik hati dan memaafkan? Ya, aku tahu banyak khilaf aku lakoni bahkan ketika ia berbaik hati memberi napas saat aku menelanjangi keperempuananku. Pendosa aku.”
“Ya, memang kau si Manis Pendosa DUNIA.”
“Hahaha, terima kasih. Aku hanya lelah berkhayal dan dijatuhkan segala imajiku. Tak sudi pula aku menjadi seorang yang utopis. Sempat memikirkan itu saja sudah berlebihan. Aku hidup, hanya untuk memegang tangan-Nya. Tapi, ternyata banyak jalan dengan guratan tajam bekas perang para malaikat dan iblis juga para sekutu. Letih pula aku jatuh tergelincir air oleh lesatnya penjuru angin. Aku cukup senang dengan melihat besar kuasa atas nama DIA. Tak perlu jua aku mengira-ngira Ia baik-baik sajakah sebelum dan sesudah laknat para umatnya, tak kecuali aku. Asa umat-Nya agar kemakluman dan pengampunan kerap dan terus mengalir pastilah Ia paham. Karena memang badung ciptaan-Nya yang sempurna itu. Bukankah begitu?”
“Apakah kau sedang bertobat dan memohon ampunan karena kematian adalah asamu kini?”
“Hei, aku dan mungkin semua orang di luar sana kerap memohonkan maaf pada siapa pun tempat ia berdosa. Begitu juga pada Dia. Tapi kami ini insan yang sangat biasa. Jauhkan pula pikirmu tentang kesempurnaan yang identik dengan spesies kami. Itu hanya terkait raga. Bukan jiwa. Bahkan karena kebodohan kami, tak secuil saudaraku cacat akan raga.”
“Lalu?”
“Tidak berlebihan bukan jika kukatakan aku lemah. Aku sangat lemah. Dan aku pinta Dia kuatkanku.”
“Untuk apa?”
“Hah, kau ini bodoh atau memang tak bisa berpikir. Bukankah kau adalah aku. Tak perlulah aku menjabarkannya.”
“Aku senang.”
“Mengapa?”
“Tak perlulah aku menjabarkannya.”

Di tahap ketiga..
Ia paham betul yang harus ia koreksi atas diri dan kodratnya.
Kematian itu akan menghampirinya.
Dengan segala cara, kisah, dan waktu.
Ia pun mendambanya.
Sangat ingin ia memeluk ajalnya.
Sangat cinta mungkin.

Seketika ia bertanya pelan sekali pada relungnya.
Takut akan dua mahkluk yang baru saja menyambanginya.
Seketika ia bertanya pelan sekali pada relungnya.
Apakah berlebihan ketika insan yang terlalu buruk di hadap sesama saudaranya memberikan yang terbaik untuk Tuhannya atas nama HAMBA?
Apakah berlebihan ketika insan yang terlalu jahanam di hadap para malaikat melakukan yang terbaik untuk Tuhannya atas nama HAMBA?
Apakah berlebihan ketika insan yang terlalu laknat di hadap para Nabi dan Rasul mengharap ampun dan maaf yang mulia dari PENCIPTANYA?

Aku pikir, tidak.

Surat Terbuka untuk Pangeran Katak

FREEDOM
I could not love you more
If I were in prison
Do not fear my freedom
When I walk away
It is only because
there is a way to walk
If you stopped me
I would have to fly
And then,
Sometimes I don’t come back

Pangeranku sayang,
Aku tidak tahu apakah aku akan meninggalkanmu atau tidak. Aku tahu kamu bingung dan cemas, mungkin juga takut melihat keadaan ini. Kamu sering menatapku dengan tatapan ketidakmengertianmu – dari balik koran pagi yang kamu baca sambil minum kopi - ketika aku membuang pandanganku keluar jendela rumah mungil kita. Tatapan yang seolah bertanya ‘apa yang terjadi dengan perempuan yang kucintai?’.
Kerutan didahimu yang menyiratkan kebingungan itu sangat bisa dimengerti. Walaupun aku tidak tahu bagaimana menguraikan apa yang terjadi antara kita. Bahkan, aku tidak yakin apakah aku mampu memaparkan apa yang ada dalam benak dan perasaanku padamu.
Selama ini aku telah melakukan perusakan-diri dengan menyembunyikan diriku yang sesungguhnya darimu atas nama cinta yang aku miliki buatmu. Atas nama harmoni bagi dunia yang kita tempati. Dan kamu – sayangnya- tercipta untuk mengimbangi citra diriku yang salah itu. Kamu dibentuk untuk memerankan ‘pahlawan’ bagi jiwaku yang terperangkap dalam peti mati nenek sihir. Kamu tidak melihatku yang sebenarnya. Karena sebagai putri, itulah satu-satunya keahlian yang boleh aku miliki. Bersembunyi di balik keperkasaanmu.

Lalu pangeranku tercinta,
Seperti Sleeping Beauty, aku telah tidur dengan mata terbuka begitu lama dalam peti kaca yang cantik. Aku dapat menatap pemandangan dari dalamnya, tapi tidak pernah benar-benar mengerti keadaan dunia luar itu. Aku telah belajar untuk melihat dunia ini (hanya) lewat matamu. Untuk berjuang dengan pedangmu. Untuk mengikuti jalanmu. Aku telah lupa, apakah aku pernah membuat jejak bagi diriku sendiri. Bahkan aku tidak ingat apakah memang aku benar-benar menginginkan perjalanan ini, seandainya saja dua orang tuaku – raja dan ratu yang berkuasa atas diriku itu – tidak menyuruhku untuk menempuh perjalanan ini. Seandainya ibu peri tidak menyulapkan sepatu kaca untuk menarik perhatianmu.
Hidup dalam peti ini sangat nyaman. Begitu nyaman sehingga aku tidak menyadari bahwa aku tidak lagi pernah tumbuh dewasa. Peti itu menghalangiku dari bahaya yang ada di luar sana. Dari naga, dari nenek sihir, dari hutan yang misterius. Satu-satunya tugasku adalah menyenangkanmu. Dan itu sangat mudah. Aku hanya tinggal memberi makan egomu, sehingga kamu percaya dan selamanya percaya bahwa kamu adalah penyelamatku, pangeran paling hebat di jagat bumi raya. Tapi itu juga berarti aku tidak pernah mengasah kekuatanku sendiri, yang sebenarnya diperlukan agar aku hidup secara otentik. Agar aku tumbuh menjadi seorang ratu bagi hidupku .
Semakin lama, peti kaca yang dulu indah itu semakin menyesakkan. Aku tidak dapat bernafas. Terlalu sempit untuk ditinggali. Dan tugasku menyenangkanmu menjadi terlalu ringan, yang lama-kelamaan menjadi membosankan. Dan tampaknya kamupun mulai tidak mempercayainya.

Aku teringat saat-saat ketika aku berada di luar, dahulu sebelum jarum pintal menusuk jemariku. Ingatan itu menyedihkan, kadang begitu memilukan. Itulah saat-saat ketika aku marah tanpa sebab padamu. Itulah saat-saat aku menangis di pojokan malam yang mencekam. Ketika kamu tertidur kelelahan dari pekerjaan yang panjang di kantor. Kamu mungkin tidak mengerti. Aku juga tidak mengerti bahwa kemarahan itu berasal dari kesadaran bahwa aku telah menghianati diriku sendiri karena membiarkannya menjadi kerdil. Kemarahan karena membohongimu, walau tampaknya kamu menyukai kebohongan itu.

Keterlindungan itu memang menyenangkan, tetapi sekaligus membahayakan. Aku tidak dapat hidup tanpa kamu. Aku takut kehilangan perlindunganmu,dan Kehilangan harmoni dari harapan-harapan kita. Takut kehilangan rasa nyaman dalam sangkar ini. Sehingga aku menjadi posesif, menguasai dalam bentuk yang pasif. Sebab sebagai putri, aku tidak diperbolehkan bersikap agresif. Aku hanya boleh terlihat menderita dan berharap kamu menyelamatkan aku. Mengasihani diriku.
Aku tidak ingin kamu mencintai hal lain – siapapun, apapun – selain diriku. Aku begitu cemburu, pada apa saja yang selain aku. Pada teman-temanmu, pekerjaanmu, hobimu, dan putri-putri lain yang kamu temui. Akupun – sebenarnya – iri pada pertempuran-pertempuran yang membawa kemenangan dan kebanggaan buatmu. Dan kalaupun aku tidak cemburu, aku sebenarnya sedang membangun ketidakpedulian agar tidak terlalu terluka dengan keadaan itu. Aku begitu menginginkan kamu, lebih dari menginginkan diriku sendiri. Kemudian aku mendapati diriku sebagai korban. Aku kesepian dan terasing dalam ketergantungan itu. Namun merasa mulia dengan penderitaan itu.

Sepanjang hidup bersamamu, kubiarkan diriku tenggelam dalam hidup yang tidak benar-benar punya arti bagiku sebagai individu. Arti hidupku adalah kehadiran kamu. Keyakinanku adalah apa yang kamu yakini. Kebanggaanku adalah apa yang kamu raih. Aku adalah putrimu, ibu dari anak-anak yang kulahirkan buatmu. Anak yang akan menggantikanmu. Tanpamu aku tidak punya makna apa-apa. Tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan tak punya nama.

Kamupun melakukan segalanya untukku. Memutuskan segala persoalan dan aku tinggal setuju. Ketika kamu memintaku untuk berhenti bekerja. Dan kalau aku akan bekerja kembali – setelah anak-anak kita besar, tentu. Sebab dengan segala kesibukan, kamu tidak punya waktu untuk mengasuh anak-anak kita - maka itu pun keputusanmu. Sebab tanpa izinmu aku tidak akan dapat melakukannya. Aku akan didakwa sebagai istri yang tidak berbakti. Kamu tidak akan pernah mendapat cap itu, bahkan bila kamu mencari perempuan lain yang akan menyetujui segala perbuatanmu. Perlindunganmu membuatku merasa nyaman untuk menjadi bukan siapa-siapa.

Lalu, pangeranku terkasih,
Kamu sudah sangat terbiasa menatap wajah cantikku yang tertidur. Pakaianku yang gemerlap dan badanku yang indah. Kata-kata yang kamu dengar dari mulutku adalah persetujuan, dukungan dan kegembiraan. Kamu selalu melihatku mengangguk. Kadang menggeleng juga tapi sangat jarang. Kamu adalah pangeranku. Kadang aku menjerit, kadang aku berteriak padamu. Namun kamu menganggap itu karena aku penat setelah seharian dalam peti kaca ini.

Ya pangeranku, aku lelah memutihkan wajahku, menghaluskan kulitku, mengencangkan perutku, menghitamkan rambutku, merampingkan betisku, dan menurunkan berat badanku ( terutama setelah melahirkan putra-putri kita) hanya agar kamu tetap menatapku dengan kagum setelah waktu-waktu yang berlalu. Hanya agar kamu tidak memalingkan tatapanmu pada Rapunzel . Tidak bisakah aku jelek dan tetap dicintai? Tidak dapatkah aku gemuk dan tetap diinginkan?. Keriput-keriput mulai bermunculan, tidak bisakah itu dipahami sebagai tanda kebijaksanaan?. Aku ingin kamu mencintai, tidak peduli bagaimanapun bentuk wajah dan badanku. Seperti aku tetap mencintaimu walau perutmu mulai membuncit dan kulit punggungmu mengeras seperti buaya. Walau pun kamu adalah si Bongkok dari Notredame.

Ya, pangeranku. Aku capek mengurus perapian. Aku bosan berpura-pura bodoh hanya agar kamu terlihat pandai. Aku muak menyembunyikan kecerdasan karena takut kamu merasa minder lalu meninggalkan aku. Kamu kagum pada perempuan pandai, tapi kamu menyukai perempuan pandai yang patuh. Sulit sekali menjadi pandai sekaligus patuh ketika kamupun – sebagai pangeran biasa - memiliki kebodohan-kebodohan yang menggelikan. Sulit sekali menjadi cerdas sekaligus setuju dengan kesalahanmu.
Aku sedih membuat diriku tidak berdaya agar kamu terlihat kuat. Padahal aku dapat mengayuh kapal, menebas belukar, dan mengangkat pedang untuk mengusir naga. Dan masih tetap mecintai dan membutuhkanmu. Untuk semua itu bisakah kamu menerimanya dengan santai?

Namun pangeranku yang kukagumi,
Pada banyak situasi, mungkin kamu lebih menderita dariku. Mungkin kamupun mengalami kebingungan, kemarahan, juga ketakutan. Mungkin kamupun berada di simpang jalan dan tidak tahu harus kemana. Tapi karena kamu tidak boleh mengakuinya, maka kamu pun tidak menyadari bahwa kamu dikuasai olehnya. Sebagai pangeran, kamu seringkali harus mengamputasi kemanusiaanmu sendiri. Perasaan adalah hal yang paling menakutkan bagi identitas maskulinmu. Kamu diharapkan menjadi orang kuat, terkendali, rasional dan dapat menekan segala emosimu yang dianggap mengganggu pengambilan keputusan. Kau dingin dan berjarak. Tidak boleh menampakkan kesedihan, kebingungan, kelemahan dan ketidaktahuan, khususnya dihadapanku. Kamu tidak mengekspresikan perasaanmu kecuali kemarahan. Kamu tidak boleh menangis, sehingga air matamu keluar dalam bentuk lain yaitu stroke dan lever yang kamu derita. Sekarang, aku mulai bertanya, bagaimana kamu melalui semua itu. Kamu hanya percaya apa yang ingin kamu percayai. Kamu menolak ide meminta pertolongan dari orang lain, karena menganggap itulah bentuk kemandirian. Dan karenanya – diam-diam - kamu seringkali merasa kesepian dan terisolasi. Idemu bahwa pangeran lebih tahu dunia dari pada putri menyebabkanmu mengambil keputusan berdasarkan data yang tidak sesuai dengan kenyataan. Kadang aku memberikan pertimbangan padamu, tapi kemudian kamu mengatakan bahwa aku terlalu menggunakan perasaan. Bahwa aku terlalu emosional. Bukankah – menurutmu – keputusan yang akurat hanya diambil oleh pertimbangan yang rasional?. Tapi pangeranku, tidakkah perasaan adalah juga kenyataan? Kamu tidak bercakap-cakap tanpa mendominasi. Kamu begitu ingin mengajarkan banyak hal padaku. Tapi tahukah kamu, bahwa apa yang kamu ajarkan itu sudah aku ketahui? Tahukah kamu bahwa banyak hal yang tidak dapat kamu ajarkan padaku? Tidakkah kamu lelah dengan tugas yang – seringkali – sia-sia itu? Bisakah kita duduk dan saling mendengarkan saja? Dapatkah kita tersenyum dan saling menatap saja? Tidak perlu diburu-buru oleh waktu. Maukah kamu menikmati waktu yang berhenti dan menjadikan kebahagiaan dalam keabadian?

Pekerjaan adalah dunia utamamu. Kamu begitu terlibat dengan segala macam aktivitasnya. Kadang kamu bekerja sampai malam dan masih merasa perlu membawanya ke rumah. Kamu adalah pencari nafkah keluarga dan itulah – mungkin hanya itulah – yang kamu pahami akan keberadaanmu bagiku. Ia adalah pusat identitasmu. Juga tujuan hidupmu. Kamu mungkin tahu bahwa kamu adalah seorang suami, seorang ayah, seorang sahabat. Tapi kamu tidak benar-benar mengerti artinya. Tidak seperti kamu memahami pekerjaanmu. Karena itu kamu akan mengalami post power syndrom ketika kamu pensiun. Tanpa pekerjaanmu, kamu bukan siapa-siapa. Tanpa pekerjaanmu, kamu tidak memiliki kekuatan apa-apa.
Akhirnya aku tahu bahwa kamu tidaklah sekuat yang ibuku katakan tentang pangeran. Kalau aku tinggalkan kamu sekarang, mungkin kamu akan kehilangan arah. Kamu tidak tahu menyiapkan sarapan pagi hari, membersihkan kamarmu, dan memilih baju mana yang akan kamu pakai ke kantor setiap hari. Tanpa anggukanku siapa yang akan membangun kepercayaan dirimu? Tanpa keberadaanku siapa yang akan percaya kamu adalah pangeran sejati? Ah, dalam kekuatanmu, tahukah kamu bahwa kamu sangat tergantung padaku? Dominasimu atasku, asumsimu tentang superioritasmu sebenarnya menjadi pembuktian paling jelas bahwa kamu tergantung pada keberadaanku untuk menguatkan identitasmu sebagai pangeran .

Seterusnya pangeranku tersayang, yang akan terus aku sayang,
Dalam perjalanan menuju kebebasanku, aku mengalami begitu banyak kemarahan, kebingungan, kesepian dan terutama ketakutan. Sebab artinya aku harus berani melihat diriku tanpa kamu. Melihat diriku sendiri. Ah pangeranku, betapa aku sadari sekarang aku tidak pernah melihat diriku secara sendiri. Aku tidak bisa mendefinisikan diriku sendiri tanpa namamu di belakang namaku. Betapa aneh rasanya! Aku tidak tahu siapa diriku tanpa kamu!. Betapa tahun-tahun lewat begitu saja tanpa aku pernah menyadari hal itu!. Kamu adalah belahan jiwaku, begitu kata orang-orang. Begitu yang aku banggakan dan merasa mulia karenanya. Tapi sesungguhnya, kamu bukanlah sebelah jiwaku. Kamu adalah jiwaku.
Tatapanmu mengatakan bahwa aku pun bersalah dalam keadaan ini. Yah, aku tanpa sadar membiarkan kamu menjadi seperti itu. Aku bersalah karena membiarkanmu tumbuh menjadi setengah manusia setengah mesin. Mungkin kamu telah berubah menjadi pangeran cyborg. Aku bersalah karena menutup mata dan ingin melupakan bahwa kamu pun bisa merasa lelah dengan pertempuranmu. Aku benci ketidakpercayaandiriku bahwa aku bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah tanpa kehilangan perhatianmu. Aku bersalah karena menganggap satu-satunya cara menghormatimu adalah dengan kepatuhanku dan satu-satunya jalan memenangkan cintamu adalah dengan menjadi hambamu . Bila kamu bersalah, aku tidak akan memarahimu secara terbuka, tapi aku akan membangun guilt-producing mechanism sehingga kamu tidak berdaya. Mungkin kamu pun menyenangi permainan ini karena hal itu meningkatkan harga dirimu sebagai pangeran. Hal itu membuatmu merasa dibutuhkan. Mungkin kamu pun tidak pernah mempertanyakan hal itu, dan menerimanya sebagai takdir karena kamu seorang pangeran lalu merasa bangga karenanya.
Tapi cinta seperti itu bukan cinta yang sesungguhnya. Itu adalah perangkap dari ketidakjujuran kita. Kita membangun kebersamaan dalam ketidaknyataan, ketidakberdayaan, intrik-intrik dan jerat-jerat. Aku tidak lemah, tidak ‘tak berdaya’ dan bukan orang yang tidak mengerti apa-apa di dunia yang rumit ini. Kamupun tidak memerlukan aku bagi harga dirimu. Kamu berharga karena kamu manusia. Aku tidak perlu takut melukai ego kepangerananmu. Luka adalah bagian dari pendewasaan . Karenanya kamupun – sebenarnya - tidak wajib melindungiku. Bahkan sebagai manusia biasa, kamu – pada kenyataannya - tidak dapat selalu melindungiku. Aku bersalah karena tidak membiarkanmu melihat diriku yang sebenarnya. Diriku yang juga memiliki kekuatan yang otentik. Kecerdasan yang menggairahkan. Dan semangat yang menyala-nyala. Aku bersalah karena tidak memberi kesempatan padamu untuk berani melihat semua itu.
Kamu tidak perlu bertanggungjawab sepenuhnya terhadap hidupku. Kamu tidak perlu menanggung dosa dari pilihan-pilihanku. Demikian juga sebaliknya. kamu tidak perlu selalu kuat, terkendali dan tahu segalanya. Kamu boleh menangis, merasa lemah dan mengakui bahwa kamupun perlu istirahat dari perjalanan yang melelahkan itu. Aku pun tidak perlu lemah, tak berdaya, patuh dan pandai bersembunyi untuk menjadi seorang putri. Dan semua itu – mestinya - tidak apa-apa.

Akhirnya, pangeranku sayang,
Dalam banyak hal, kita saling membutuhkan untuk berubah. Namun aku tidak ingin berubah menjadi dirimu, seperti halnya kamu pun tidak ingin berubah menjadi diriku. Dapatkah kita menjadi seseorang yang lain secara bersama-sama? Aku ingin kamu tahu bahwa aku dapat mendukungmu. Aku berharap kamu ingin membantuku. Kita dapat menjadi teman seperjalanan menuju kelahiran kembali. Untuk menemukan kemanusiaan kita. Pencarian kebebasanku tidak akan sempurna kecuali hal itu juga akan menuju pada kebebasanmu.
Aku tahu perjalanan ini akan memakan biaya yang tidak kecil. Walau pun tidak berarti tidak menggairahkan. Aku akan menerima konsekuensi dari kebebasan ini. Aku harus berhadapan dengan ketidakamanan diriku. Menceburkan diriku ke dalam konsekuensi pilihanku. Hidup secara bertanggung jawab, yang artinya aku tidak dapat lagi menyerahkan kesalahan dan keputusan pada dirimu. Kamu pun mesti bertanggung jawab terhadap perbuatanmu. Kamu tidak dapat menuntutku menjadi putri dalam peti kaca. Kamu perlu belajar menjaga rumah kita, mengasihi dan mengasuh anak-anak kita lebih dari sekedar seorang pencari nafkah. Mampu menyediakan keperluan yang dapat kamu sediakan untuk dirimu sediri. Mampu menghargaiku sebagai putri biasa yang memiliki keinginan, pikiran, dan toleransi. Kita akan bergerak menjadi human being bukan menjadi human doing. Kita harus memiliki komitmen untuk perubahan ini. Perubahan ini akan datang secara perlahan-lahan dan kadang juga menyakitkan. Kita akan menghadapi keraguan dan ketidakmengertian. Kita juga harus menghadapi perbedaan dari orang-orang dekat kita, dari masyarakat kita. Yang terutama dari kita sendiri. Kita harus menghargai ini ketimbang tekanan sosial. Kita perlu belajar untuk menerima tatapan aneh dari orang-orang. Biarlah. Perbedaan bisa menjadi beban atau menjadi kekuatan, itu terserah kepada kita .

Komitmen terhadap kebebasan, pertumbuhan dan perkembangan masing-masing kita seharusnya menjadi alasan utama kebersamaan kita. Jika hal ini tidak dapat terus menjadi bagian dari misi hidup kita, maka walau pun aku sangat-sangat mencintaimu, maka aku harus meninggalkanmu. Begitu pula, walau pun kamu sangat-sangat mencintaiku, kamu harus mampu meninggalkanku bila aku tidak dapat memenuhi komitmen itu.
Kamu pernah datang dalam hidupku, membangunkanku dengan ciumanmu, menyelamatkanku dari sihir, membawaku keluar dari menara, dan menembus hutan hingga aku selamat. Aku tidak dapat melakukan hal lain selain hal itu juga bagimu. Lalu, dapatkah kita keluar dari dongeng ini, menuju masa depan bersama-sama?

Penuh cinta,
Putri

Tulisan ini diinspirasikan dari tulisan : Exit the Frog Prince. Yang terdapat dalam buku Kiss Sleeping beauty good bye oleh Madonna Kolbensclah

Catatan Seorang Perempuan *Susi Fitri

Pekik Aroma, 15.21 18 sep 01

dihembusan terakhir ia masih terselip
tak mengikuti hela yang terbuang
tak beranjak bersama kepulan
tak mengejar kelabu asap
padahal tenggorokan telah perih menarik
mungkin memang begitu sekarang
semestinya
mungkin

dihembusan terakhir ia masih tergenggam
tertinggal dan tak meninggalkan
pergi dan kembali
ke rumah hati
di mana ia meninggalkan hati
masih ingin tetap
mendera bagai deru mesin
berputar tiada ada menghenti
berhenti

dihembusan terakhir ia masih tertahan
di sela bibir yang tak berucap kata
mungkin bisu
tak mungkin mati

dihembusan terakhir ia masih terbata
dengan tata diri yang kian menarik
dengan tat diri yang kian membeku
mungkin mati
tak mungkin bisu

atau ia bisu
mungkin mati

atau ia mati
mungkin bisu

hah, kurang strategi kemelut ini
atau sangat rumit peraturan

hamba mungkin sendiri
Tuan pun

Tuan mungkin sendiri
hamba pun

asapnya sudah hilang terbawa angin
belum sempat berkenal
bagaimana hendak sayang
pula bersalam manis

hanya tercium aroma
busuk menyengat dari mulut hati
tak berpintu
juga jendela
tak suka cahaya
tak suka angin
tak suka napas yang bergemul
kecuali Tuan

karena hamba pun sudah tahu
kata itu tak lengkap
kurang dirasa
kurang tercerna
kecuali Tuan