8 Oktobre 2010 – 09.51pm
Selamat Hari Kelahiran, semoga raga dan jiwamu selalu merdeka.
KAU ADALAH JIWAKU. KARENA KAU ADALAH KAU. HIDUP MATIKU.
Ketika kita menjadi tua, waktu akan membuat kita dikelilingi oleh orang-orang yang mencintai kita, sebagai ganti dari orang-orang yang kita cintai. (J. Petit Senn)
25 Oktober ini ada yang berkurang lagi umurnya. Berkurang ? Ya. Jatah berleha-lehanya berkurang sesuai yang telah di tetapkan oleh Tuhannya. Lalu, berapa jatah yang Tuhan berikan padanya ? Aku tak tahu. Bahkan Perempuan yang melahirkan dan yang lahir pada tanggal 25 Oktober ini pun sama sekali tidak mengetahuinya.
Aih, mengapa begitu banyak hal terlintas di otakku? Terlalu banyak soalan yang butuh jawab tanpa kita tahu rumus untuk menjawabnya. Betapa pun sulitnya bertemu—hal biasa yang mungkin tak seberapa penting, tapi aku yakin, tak ada artinya lagi semua itu, karena rasa saja cukup mewakili, semoga.
Lelakiku Tersayang,
Aku tak begitu paham untuk memulai dengan kata apa sepantasnya kali ini. Banyak kata yang berkelibat hendak aku tuliskan. Terlalu segan aku menuang mereka dengan bersahaja. Karena memang sekarang cukup tak bersahaja kita. Dan kali ini aku sangat ingin semua ini menjadi bersahaja. Tanpa hambatan. Tanpa debatan panjang. Sekali pun kita begitu keras menjalani, biarkanlah itu di saat itu saja. Dan biarkan aku berbaik-baik dengamu kala ini. Ha-ha-ha, ini bodoh. Mungkin aku terlalu akrab dengan lingkar kebodohan yang kerap menjadi sahabatku.
Dan Lelakiku Tersayang,
Untuk dua kali ini ku katakan, aku tak begitu paham apa yang hendak aku ungkap. Terlalu sedikit peluangku untuk berkata-kata padamu. Kini, kebingungan yang membawa kegundahan kian manja memuncak menggertakku. Tak ingin hiraukan, tapi ia datang menggempur bak serangan senjata Israel pada bumi Palestina. Terus menerus. Kalap aku ia buat. Dan semakin bodohlah aku yang tak memanfaatkan waktu yang sedikit ini.
Kali ini mungkin kau sudah berdecak heran, bodohnya Perempuan yang menulis catatan ini. Tentu aku tidak mau kau berpikir begitu, meski mungkin sudah. Ketika memulai ini catatan, aku berpikir ingin berkisah tentang yang lalu. Tapi tak begitu yang ku rasa. Tak ada keinginan sedikit pun untuk menempatkan yang kemarin itu menjadi lalu. Menjaga ia tetap ada. Selalu. Paling tidak itu rasaku. Harap kau maklum akan itu.
Jalangkah aku saat ini pun aku begitu ingin memakimu—meski tahu aku tak sedikit pun ada alasan atas cacianku, nanti justru melelahkan. Ya, lelah aku melukai banyak orang yang kusayang dengan itu. Dan kau Lelaki Tersayangku. Entah omong kosong atau sekedar racauanku, tak ingin aku begitu padamu—meski banyak aku lakukan itu. Tak bisa aku palingkan benak dari utuh bayangmu, like insomnia.
Apa jadinya ini tulisan dan apa pun persepsimu atasnya, tak ingin aku tahu. Tak ingin aku peduli. Bahkan mungkin tak terbaca sekalipun. Cukup aku berterima kasih dengannya, yang mampu buatku sedikit bernapas lega. Media yang baik sekali ini tulisan.
Karena tahukah kau, Lelakiku Tersayang? Sulit aku temukan cara yang tepat untuk berindah-indah padamu. Bukan Perempuan romantis aku rupanya. Baru kusadari itu. Ha-ha-ha. Kebodohanku memang baik sekali denganku, mampu ia buat aku tertawa. Kadang aku juga mengumpat diriku, mengapa tak bisa aku bersikap layaknya betina-betina lain di bumi Srikandi ini. Yah, seperti ucapmu—Preman, hm.. sepertinya memang tak pantas aku menjadi Perempuan. Terlalu jalang juga bengis. Beruntunglah masih kumiliki Ibu yang kerap menasehati agar « berperempuan-perempuanlah sedikit » dengan nada tinggi, dan Abang yang lahir sekali untuk menjadi lelaki kuat juga sangat lemah—hingga kerap aku menjadi si abang yang berkelamin Perempuan. Hanya lelaki tua yang kusapa Bapak yang perlakukan aku tak berlebih, mengerti ia aku punya dunia yang tak perlu campur tangan untuk mengorganisirnya. Dan jadilah aku bengis sepertinya. Tak sesuci Ibu Tersayang atau sebaik dan selugu Abang Tersayangku yang kerap aku benci.
Bagaimana denganmu, Lelakiku Tersayang ?
Ha-ha-ha, soalan yang cukup membingungkan. Selalu begitu. Abstrak. Bisa dikatakan soalan itu mewakili pikirku padamu malam ini. Seperti lirik dalam lagu Fall For You yang ditembangkan Secondhand Serenade, hal terinadah dari malam ini adalah begitu damainya kita. Berbicara tanpa berkelit dan saling menunjukkan kekerasan diri. Meski aku tahu ini bukanlah cara yang indah dan tepat. Paling tidak ini cara baik untuk kau, pun aku. Ingin sekali aku tahu, bagaimana kau lalui hari ketika aku tak mampu mengaksesmu seperti biasa—baik dengan predikat teman-bahkan orang yang mengasihimu. Bagaimana gerakmu yang selalu ingin aku perhatikan dengan teliti. Bagaimana lakonmu—ucapmu yang lekat dan selalu ingin aku rekatkan di hari-hariku. Mungkin aku banyak bersalah pada banyak hati di saat ini. Ego yang menjulang tanpa mau dipatahkan. Hilangnya sosok sahabat yang aku sangat sayangi—yang sempat aku inginkan dulu—dan datang saat aku terpuruk kemudian mewujudkan hasrat yang pernah kupendam dalam—yang pergi juga saat aku sudah terlanjur sayang, pun terlalu menyayanginya. Yang tak ada keinginan sedikit pun untuk membencinya bukan karena ia tak mau dibenci tapi karena dia kamu.
Begitu manisnya keras hatimu buat aku sangat senang sempat memilikimu. Malah, yang aku benci sekarang, kesenangan yang sementara dan singkat itu ingin ku kecap lagi dan tak mau mengakhirinya. Mungkin itu tak mungkin, tentu. Betapa sulitnya mengeraskan itu semua. Dan sampailah di saat aku kalah dengan rasa. Lagi. Tepat kata seorang kawan, rasa sayang yang terkasih akan mengalahkan segalanya. Omgong kosong yang sangat berisi itu. Tentu kau pun alami yang sama. Meski bukan untukku, tak apa. Naif. Ya. Munafik. Tidak. Bukan tipeku itu.
Tak perlulah aku mengoceh untuk menegaskan itu semua. Begitu jelas terasa. Beruntunglah tak pernah terlihat. Meski nyata dalam pandangan. Cukup senang aku kau mengerti menempatkan kasihmu, entah itu terlambat atau tepat pada waktunya. Dan maaf lelakiku, aku sempat bahkan selalu membuyarkan rasamu itu.
Terlalu. Itu kata yang mampu aku deskripsikan atas raga dan jiwaku. Akhirnya. Tak banyak waktu yang dilalui. Betapa tipisnya masa itu. Betapa rindunya aku masa itu. Detik di mana aku menghela napas, untuk Sang Perempuan yang memperanakku dan untuk kau—Lelaki Tersayangku, juga untuk Tuhanku tentu. Alasan hidup yang cukup buatku masih mau terima segala perlakuan Tuhan pada diri yang cukup jengah dengan segala ketidakadilan. Hanya coba bertahan untuk menikmati segala pertunjukkan dunia. Dan ternyata aku masih setia bersandiwara dalam skenario yang Ia rancang.
Entah berkat atau kutukan aku yang sedikit mampu melihat hal di depan nanti. Naïf aku selalu. Ketika buruk dalam pandangan aku ingin mengutuk keahlian yang sedari kanak kudapat. Dan kau dengannya pun hadir untuk aku umpat dalam hati. Maaf.
Hei, Lelaki Tersayangku,
Tahukah kau siapa yang mencipta peribahasa tentang mengulang kesalahan yang sama? Ingin sekali aku bertemu sua dengannya. Ingin aku menyoalnya dengan adakah sesuatu yang lebih bodoh dari seekor keledai? Jika tak ia temukan, aku dengan segala kebodohanku hendak menjawabnya. Lebih buruk pula aku dari binatang dungu.
Lelakiku, kerap kali ingin aku hilang ingatan. Ketika terpuruk tentu. Sebelum bertemu hatimu tentu. Tapi, apa bisa aku dikata aneh saat ini aku bermohon tak mau aku alami itu. Dulu, pernah aku alami itu, dan beruntung kau belum ku temui. Terlalu manis kau untuk dihilangkan dalam relung dan benakku. Sekali pun kesendirian dan suara kesepian begitu hingar dalam diri. Biarkanlah aku menahan utuh bayangmu dalam hari-hariku. Hingga nanti ia terlumat dalam usia yang kian berkurang.
Sial kau pernah bersamaku. Tak satu hal pun aku mampu bawa kebaikan. Berdosa aku atas ragamu. Berdosa pula aku atas lakonmu. Tapi tak berdosa aku atas hatimu. Itu tegasku. Setidaknya biarkan sekali saja aku menikmati hati yang kasih untukmu. Masalah kau peduli atau tidak, tiada apa.
Lalu Lelaki Tersayangku,
Entah di usia berapa. Tak terbayang suatu hari nanti aku bertemu kau dan keluargamu. Anak-anakmu. Benihmu tumbuh. Benihmu dan benihnya tumbuh dalam rumah milik kalian. Kalian bersenang-senang dan bahagia dalam rumah yang kau impikan. Kau berlakon bijak dengan status kepala keluarga. Istrimu setia menanti kepulanganmu bersama anak-anak kalian. Saat kau pulang kau berceritera tentang hari kerjamu. Saat kau pulang kau melepas rindu dengan mengecup kening istrimu. Istri dan anak-anakmu menyambutmu dengan mencium tangan kananmu. Saat kau pulang kau bercinta dengan istrimu dari mentari tenggelam hingga fajar terbangun dari tidurnya? Oh.... betapa menyiksa aku semua itu.
Sungguh.
Tak terbayangkan suatu hari nanti kita bertemu. Kau memperkenalkan semua keluarga tersayang dan terkasihmu padaku, yang tentu saat itu aku sendiri. Tanpa keluarga tersayang dan terkasihku.. Yang hidupnya masih selalu menantimu untuk kembali meski tak mungkin sama sekali. Yang hatinya lengang tak terbalaskan lagi. Yang bernafas pun hanya untuk menunggu pertemuan-pertemuan tak terbayangkannya dengan lelaki terkasih dan tersayangnya. Kau selalu di hati. Tapi, aku sudah benar-benar di ujung jalan. Tempat di mana aku tak bisa lagi menitipkan jantung hatiku dalam relungmu dengan kedudukan yang indah dan istimewa. Tempat di mana aku hanya bisa menatap dengan kian detik kian samar karena kau semakin jauh. Di detik terakhirku, semua kupersembahkan untukmu. Kau bukan belahan jiwaku. TAPI KAU ADALAH JIWAKU. KARENA KAU ADALAH KAU. HIDUP MATIKU. Aku menyayangimu di hidup dan matiku, Lelaki Tersayang.
Jangan pula kau berpikir aku sedang menggila. Utopis atau pencenayang gadungan. Perempuan yang logikanya sudah rusak akut. Pastikan saja aku dengan pikiran aku Perempuan gila yang kerap ganggu hidupmu dengan segala kekhawatiran yang berlebihan. Ketakutan yang dibuat-buat. Karena tentu aku gila. Jiwa yang menggila. Untunglah ragaku tidak. Mungkin lebih tepat belum. Hanya saja, berharap berhenti berharap. Mementahkan segala yang manis.
Tiada kata selain RINDU untukmu Lelakiku Tersayang.
Tiada kata selain SAYANG untukmu Lelakiku Tersayang.
Tiada kata selain MAAF dan TERIMA KASIH untukmu Lelakiku Tersayang.
Atas nama hati, AKU SAYANG KAMU.
No comments:
Post a Comment