FREEDOM
I could not love you more
If I were in prison
Do not fear my freedom
When I walk away
It is only because
there is a way to walk
If you stopped me
I would have to fly
And then,
Sometimes I don’t come back
Pangeranku sayang,
Aku tidak tahu apakah aku akan meninggalkanmu atau tidak. Aku tahu kamu bingung dan cemas, mungkin juga takut melihat keadaan ini. Kamu sering menatapku dengan tatapan ketidakmengertianmu – dari balik koran pagi yang kamu baca sambil minum kopi - ketika aku membuang pandanganku keluar jendela rumah mungil kita. Tatapan yang seolah bertanya ‘apa yang terjadi dengan perempuan yang kucintai?’.
Kerutan didahimu yang menyiratkan kebingungan itu sangat bisa dimengerti. Walaupun aku tidak tahu bagaimana menguraikan apa yang terjadi antara kita. Bahkan, aku tidak yakin apakah aku mampu memaparkan apa yang ada dalam benak dan perasaanku padamu.
Selama ini aku telah melakukan perusakan-diri dengan menyembunyikan diriku yang sesungguhnya darimu atas nama cinta yang aku miliki buatmu. Atas nama harmoni bagi dunia yang kita tempati. Dan kamu – sayangnya- tercipta untuk mengimbangi citra diriku yang salah itu. Kamu dibentuk untuk memerankan ‘pahlawan’ bagi jiwaku yang terperangkap dalam peti mati nenek sihir. Kamu tidak melihatku yang sebenarnya. Karena sebagai putri, itulah satu-satunya keahlian yang boleh aku miliki. Bersembunyi di balik keperkasaanmu.
Lalu pangeranku tercinta,
Seperti Sleeping Beauty, aku telah tidur dengan mata terbuka begitu lama dalam peti kaca yang cantik. Aku dapat menatap pemandangan dari dalamnya, tapi tidak pernah benar-benar mengerti keadaan dunia luar itu. Aku telah belajar untuk melihat dunia ini (hanya) lewat matamu. Untuk berjuang dengan pedangmu. Untuk mengikuti jalanmu. Aku telah lupa, apakah aku pernah membuat jejak bagi diriku sendiri. Bahkan aku tidak ingat apakah memang aku benar-benar menginginkan perjalanan ini, seandainya saja dua orang tuaku – raja dan ratu yang berkuasa atas diriku itu – tidak menyuruhku untuk menempuh perjalanan ini. Seandainya ibu peri tidak menyulapkan sepatu kaca untuk menarik perhatianmu.
Hidup dalam peti ini sangat nyaman. Begitu nyaman sehingga aku tidak menyadari bahwa aku tidak lagi pernah tumbuh dewasa. Peti itu menghalangiku dari bahaya yang ada di luar sana. Dari naga, dari nenek sihir, dari hutan yang misterius. Satu-satunya tugasku adalah menyenangkanmu. Dan itu sangat mudah. Aku hanya tinggal memberi makan egomu, sehingga kamu percaya dan selamanya percaya bahwa kamu adalah penyelamatku, pangeran paling hebat di jagat bumi raya. Tapi itu juga berarti aku tidak pernah mengasah kekuatanku sendiri, yang sebenarnya diperlukan agar aku hidup secara otentik. Agar aku tumbuh menjadi seorang ratu bagi hidupku .
Semakin lama, peti kaca yang dulu indah itu semakin menyesakkan. Aku tidak dapat bernafas. Terlalu sempit untuk ditinggali. Dan tugasku menyenangkanmu menjadi terlalu ringan, yang lama-kelamaan menjadi membosankan. Dan tampaknya kamupun mulai tidak mempercayainya.
Aku teringat saat-saat ketika aku berada di luar, dahulu sebelum jarum pintal menusuk jemariku. Ingatan itu menyedihkan, kadang begitu memilukan. Itulah saat-saat ketika aku marah tanpa sebab padamu. Itulah saat-saat aku menangis di pojokan malam yang mencekam. Ketika kamu tertidur kelelahan dari pekerjaan yang panjang di kantor. Kamu mungkin tidak mengerti. Aku juga tidak mengerti bahwa kemarahan itu berasal dari kesadaran bahwa aku telah menghianati diriku sendiri karena membiarkannya menjadi kerdil. Kemarahan karena membohongimu, walau tampaknya kamu menyukai kebohongan itu.
Keterlindungan itu memang menyenangkan, tetapi sekaligus membahayakan. Aku tidak dapat hidup tanpa kamu. Aku takut kehilangan perlindunganmu,dan Kehilangan harmoni dari harapan-harapan kita. Takut kehilangan rasa nyaman dalam sangkar ini. Sehingga aku menjadi posesif, menguasai dalam bentuk yang pasif. Sebab sebagai putri, aku tidak diperbolehkan bersikap agresif. Aku hanya boleh terlihat menderita dan berharap kamu menyelamatkan aku. Mengasihani diriku.
Aku tidak ingin kamu mencintai hal lain – siapapun, apapun – selain diriku. Aku begitu cemburu, pada apa saja yang selain aku. Pada teman-temanmu, pekerjaanmu, hobimu, dan putri-putri lain yang kamu temui. Akupun – sebenarnya – iri pada pertempuran-pertempuran yang membawa kemenangan dan kebanggaan buatmu. Dan kalaupun aku tidak cemburu, aku sebenarnya sedang membangun ketidakpedulian agar tidak terlalu terluka dengan keadaan itu. Aku begitu menginginkan kamu, lebih dari menginginkan diriku sendiri. Kemudian aku mendapati diriku sebagai korban. Aku kesepian dan terasing dalam ketergantungan itu. Namun merasa mulia dengan penderitaan itu.
Sepanjang hidup bersamamu, kubiarkan diriku tenggelam dalam hidup yang tidak benar-benar punya arti bagiku sebagai individu. Arti hidupku adalah kehadiran kamu. Keyakinanku adalah apa yang kamu yakini. Kebanggaanku adalah apa yang kamu raih. Aku adalah putrimu, ibu dari anak-anak yang kulahirkan buatmu. Anak yang akan menggantikanmu. Tanpamu aku tidak punya makna apa-apa. Tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan tak punya nama.
Kamupun melakukan segalanya untukku. Memutuskan segala persoalan dan aku tinggal setuju. Ketika kamu memintaku untuk berhenti bekerja. Dan kalau aku akan bekerja kembali – setelah anak-anak kita besar, tentu. Sebab dengan segala kesibukan, kamu tidak punya waktu untuk mengasuh anak-anak kita - maka itu pun keputusanmu. Sebab tanpa izinmu aku tidak akan dapat melakukannya. Aku akan didakwa sebagai istri yang tidak berbakti. Kamu tidak akan pernah mendapat cap itu, bahkan bila kamu mencari perempuan lain yang akan menyetujui segala perbuatanmu. Perlindunganmu membuatku merasa nyaman untuk menjadi bukan siapa-siapa.
Lalu, pangeranku terkasih,
Kamu sudah sangat terbiasa menatap wajah cantikku yang tertidur. Pakaianku yang gemerlap dan badanku yang indah. Kata-kata yang kamu dengar dari mulutku adalah persetujuan, dukungan dan kegembiraan. Kamu selalu melihatku mengangguk. Kadang menggeleng juga tapi sangat jarang. Kamu adalah pangeranku. Kadang aku menjerit, kadang aku berteriak padamu. Namun kamu menganggap itu karena aku penat setelah seharian dalam peti kaca ini.
Ya pangeranku, aku lelah memutihkan wajahku, menghaluskan kulitku, mengencangkan perutku, menghitamkan rambutku, merampingkan betisku, dan menurunkan berat badanku ( terutama setelah melahirkan putra-putri kita) hanya agar kamu tetap menatapku dengan kagum setelah waktu-waktu yang berlalu. Hanya agar kamu tidak memalingkan tatapanmu pada Rapunzel . Tidak bisakah aku jelek dan tetap dicintai? Tidak dapatkah aku gemuk dan tetap diinginkan?. Keriput-keriput mulai bermunculan, tidak bisakah itu dipahami sebagai tanda kebijaksanaan?. Aku ingin kamu mencintai, tidak peduli bagaimanapun bentuk wajah dan badanku. Seperti aku tetap mencintaimu walau perutmu mulai membuncit dan kulit punggungmu mengeras seperti buaya. Walau pun kamu adalah si Bongkok dari Notredame.
Ya, pangeranku. Aku capek mengurus perapian. Aku bosan berpura-pura bodoh hanya agar kamu terlihat pandai. Aku muak menyembunyikan kecerdasan karena takut kamu merasa minder lalu meninggalkan aku. Kamu kagum pada perempuan pandai, tapi kamu menyukai perempuan pandai yang patuh. Sulit sekali menjadi pandai sekaligus patuh ketika kamupun – sebagai pangeran biasa - memiliki kebodohan-kebodohan yang menggelikan. Sulit sekali menjadi cerdas sekaligus setuju dengan kesalahanmu.
Aku sedih membuat diriku tidak berdaya agar kamu terlihat kuat. Padahal aku dapat mengayuh kapal, menebas belukar, dan mengangkat pedang untuk mengusir naga. Dan masih tetap mecintai dan membutuhkanmu. Untuk semua itu bisakah kamu menerimanya dengan santai?
Namun pangeranku yang kukagumi,
Pada banyak situasi, mungkin kamu lebih menderita dariku. Mungkin kamupun mengalami kebingungan, kemarahan, juga ketakutan. Mungkin kamupun berada di simpang jalan dan tidak tahu harus kemana. Tapi karena kamu tidak boleh mengakuinya, maka kamu pun tidak menyadari bahwa kamu dikuasai olehnya. Sebagai pangeran, kamu seringkali harus mengamputasi kemanusiaanmu sendiri. Perasaan adalah hal yang paling menakutkan bagi identitas maskulinmu. Kamu diharapkan menjadi orang kuat, terkendali, rasional dan dapat menekan segala emosimu yang dianggap mengganggu pengambilan keputusan. Kau dingin dan berjarak. Tidak boleh menampakkan kesedihan, kebingungan, kelemahan dan ketidaktahuan, khususnya dihadapanku. Kamu tidak mengekspresikan perasaanmu kecuali kemarahan. Kamu tidak boleh menangis, sehingga air matamu keluar dalam bentuk lain yaitu stroke dan lever yang kamu derita. Sekarang, aku mulai bertanya, bagaimana kamu melalui semua itu. Kamu hanya percaya apa yang ingin kamu percayai. Kamu menolak ide meminta pertolongan dari orang lain, karena menganggap itulah bentuk kemandirian. Dan karenanya – diam-diam - kamu seringkali merasa kesepian dan terisolasi. Idemu bahwa pangeran lebih tahu dunia dari pada putri menyebabkanmu mengambil keputusan berdasarkan data yang tidak sesuai dengan kenyataan. Kadang aku memberikan pertimbangan padamu, tapi kemudian kamu mengatakan bahwa aku terlalu menggunakan perasaan. Bahwa aku terlalu emosional. Bukankah – menurutmu – keputusan yang akurat hanya diambil oleh pertimbangan yang rasional?. Tapi pangeranku, tidakkah perasaan adalah juga kenyataan? Kamu tidak bercakap-cakap tanpa mendominasi. Kamu begitu ingin mengajarkan banyak hal padaku. Tapi tahukah kamu, bahwa apa yang kamu ajarkan itu sudah aku ketahui? Tahukah kamu bahwa banyak hal yang tidak dapat kamu ajarkan padaku? Tidakkah kamu lelah dengan tugas yang – seringkali – sia-sia itu? Bisakah kita duduk dan saling mendengarkan saja? Dapatkah kita tersenyum dan saling menatap saja? Tidak perlu diburu-buru oleh waktu. Maukah kamu menikmati waktu yang berhenti dan menjadikan kebahagiaan dalam keabadian?
Pekerjaan adalah dunia utamamu. Kamu begitu terlibat dengan segala macam aktivitasnya. Kadang kamu bekerja sampai malam dan masih merasa perlu membawanya ke rumah. Kamu adalah pencari nafkah keluarga dan itulah – mungkin hanya itulah – yang kamu pahami akan keberadaanmu bagiku. Ia adalah pusat identitasmu. Juga tujuan hidupmu. Kamu mungkin tahu bahwa kamu adalah seorang suami, seorang ayah, seorang sahabat. Tapi kamu tidak benar-benar mengerti artinya. Tidak seperti kamu memahami pekerjaanmu. Karena itu kamu akan mengalami post power syndrom ketika kamu pensiun. Tanpa pekerjaanmu, kamu bukan siapa-siapa. Tanpa pekerjaanmu, kamu tidak memiliki kekuatan apa-apa.
Akhirnya aku tahu bahwa kamu tidaklah sekuat yang ibuku katakan tentang pangeran. Kalau aku tinggalkan kamu sekarang, mungkin kamu akan kehilangan arah. Kamu tidak tahu menyiapkan sarapan pagi hari, membersihkan kamarmu, dan memilih baju mana yang akan kamu pakai ke kantor setiap hari. Tanpa anggukanku siapa yang akan membangun kepercayaan dirimu? Tanpa keberadaanku siapa yang akan percaya kamu adalah pangeran sejati? Ah, dalam kekuatanmu, tahukah kamu bahwa kamu sangat tergantung padaku? Dominasimu atasku, asumsimu tentang superioritasmu sebenarnya menjadi pembuktian paling jelas bahwa kamu tergantung pada keberadaanku untuk menguatkan identitasmu sebagai pangeran .
Seterusnya pangeranku tersayang, yang akan terus aku sayang,
Dalam perjalanan menuju kebebasanku, aku mengalami begitu banyak kemarahan, kebingungan, kesepian dan terutama ketakutan. Sebab artinya aku harus berani melihat diriku tanpa kamu. Melihat diriku sendiri. Ah pangeranku, betapa aku sadari sekarang aku tidak pernah melihat diriku secara sendiri. Aku tidak bisa mendefinisikan diriku sendiri tanpa namamu di belakang namaku. Betapa aneh rasanya! Aku tidak tahu siapa diriku tanpa kamu!. Betapa tahun-tahun lewat begitu saja tanpa aku pernah menyadari hal itu!. Kamu adalah belahan jiwaku, begitu kata orang-orang. Begitu yang aku banggakan dan merasa mulia karenanya. Tapi sesungguhnya, kamu bukanlah sebelah jiwaku. Kamu adalah jiwaku.
Tatapanmu mengatakan bahwa aku pun bersalah dalam keadaan ini. Yah, aku tanpa sadar membiarkan kamu menjadi seperti itu. Aku bersalah karena membiarkanmu tumbuh menjadi setengah manusia setengah mesin. Mungkin kamu telah berubah menjadi pangeran cyborg. Aku bersalah karena menutup mata dan ingin melupakan bahwa kamu pun bisa merasa lelah dengan pertempuranmu. Aku benci ketidakpercayaandiriku bahwa aku bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah tanpa kehilangan perhatianmu. Aku bersalah karena menganggap satu-satunya cara menghormatimu adalah dengan kepatuhanku dan satu-satunya jalan memenangkan cintamu adalah dengan menjadi hambamu . Bila kamu bersalah, aku tidak akan memarahimu secara terbuka, tapi aku akan membangun guilt-producing mechanism sehingga kamu tidak berdaya. Mungkin kamu pun menyenangi permainan ini karena hal itu meningkatkan harga dirimu sebagai pangeran. Hal itu membuatmu merasa dibutuhkan. Mungkin kamu pun tidak pernah mempertanyakan hal itu, dan menerimanya sebagai takdir karena kamu seorang pangeran lalu merasa bangga karenanya.
Tapi cinta seperti itu bukan cinta yang sesungguhnya. Itu adalah perangkap dari ketidakjujuran kita. Kita membangun kebersamaan dalam ketidaknyataan, ketidakberdayaan, intrik-intrik dan jerat-jerat. Aku tidak lemah, tidak ‘tak berdaya’ dan bukan orang yang tidak mengerti apa-apa di dunia yang rumit ini. Kamupun tidak memerlukan aku bagi harga dirimu. Kamu berharga karena kamu manusia. Aku tidak perlu takut melukai ego kepangerananmu. Luka adalah bagian dari pendewasaan . Karenanya kamupun – sebenarnya - tidak wajib melindungiku. Bahkan sebagai manusia biasa, kamu – pada kenyataannya - tidak dapat selalu melindungiku. Aku bersalah karena tidak membiarkanmu melihat diriku yang sebenarnya. Diriku yang juga memiliki kekuatan yang otentik. Kecerdasan yang menggairahkan. Dan semangat yang menyala-nyala. Aku bersalah karena tidak memberi kesempatan padamu untuk berani melihat semua itu.
Kamu tidak perlu bertanggungjawab sepenuhnya terhadap hidupku. Kamu tidak perlu menanggung dosa dari pilihan-pilihanku. Demikian juga sebaliknya. kamu tidak perlu selalu kuat, terkendali dan tahu segalanya. Kamu boleh menangis, merasa lemah dan mengakui bahwa kamupun perlu istirahat dari perjalanan yang melelahkan itu. Aku pun tidak perlu lemah, tak berdaya, patuh dan pandai bersembunyi untuk menjadi seorang putri. Dan semua itu – mestinya - tidak apa-apa.
Akhirnya, pangeranku sayang,
Dalam banyak hal, kita saling membutuhkan untuk berubah. Namun aku tidak ingin berubah menjadi dirimu, seperti halnya kamu pun tidak ingin berubah menjadi diriku. Dapatkah kita menjadi seseorang yang lain secara bersama-sama? Aku ingin kamu tahu bahwa aku dapat mendukungmu. Aku berharap kamu ingin membantuku. Kita dapat menjadi teman seperjalanan menuju kelahiran kembali. Untuk menemukan kemanusiaan kita. Pencarian kebebasanku tidak akan sempurna kecuali hal itu juga akan menuju pada kebebasanmu.
Aku tahu perjalanan ini akan memakan biaya yang tidak kecil. Walau pun tidak berarti tidak menggairahkan. Aku akan menerima konsekuensi dari kebebasan ini. Aku harus berhadapan dengan ketidakamanan diriku. Menceburkan diriku ke dalam konsekuensi pilihanku. Hidup secara bertanggung jawab, yang artinya aku tidak dapat lagi menyerahkan kesalahan dan keputusan pada dirimu. Kamu pun mesti bertanggung jawab terhadap perbuatanmu. Kamu tidak dapat menuntutku menjadi putri dalam peti kaca. Kamu perlu belajar menjaga rumah kita, mengasihi dan mengasuh anak-anak kita lebih dari sekedar seorang pencari nafkah. Mampu menyediakan keperluan yang dapat kamu sediakan untuk dirimu sediri. Mampu menghargaiku sebagai putri biasa yang memiliki keinginan, pikiran, dan toleransi. Kita akan bergerak menjadi human being bukan menjadi human doing. Kita harus memiliki komitmen untuk perubahan ini. Perubahan ini akan datang secara perlahan-lahan dan kadang juga menyakitkan. Kita akan menghadapi keraguan dan ketidakmengertian. Kita juga harus menghadapi perbedaan dari orang-orang dekat kita, dari masyarakat kita. Yang terutama dari kita sendiri. Kita harus menghargai ini ketimbang tekanan sosial. Kita perlu belajar untuk menerima tatapan aneh dari orang-orang. Biarlah. Perbedaan bisa menjadi beban atau menjadi kekuatan, itu terserah kepada kita .
Komitmen terhadap kebebasan, pertumbuhan dan perkembangan masing-masing kita seharusnya menjadi alasan utama kebersamaan kita. Jika hal ini tidak dapat terus menjadi bagian dari misi hidup kita, maka walau pun aku sangat-sangat mencintaimu, maka aku harus meninggalkanmu. Begitu pula, walau pun kamu sangat-sangat mencintaiku, kamu harus mampu meninggalkanku bila aku tidak dapat memenuhi komitmen itu.
Kamu pernah datang dalam hidupku, membangunkanku dengan ciumanmu, menyelamatkanku dari sihir, membawaku keluar dari menara, dan menembus hutan hingga aku selamat. Aku tidak dapat melakukan hal lain selain hal itu juga bagimu. Lalu, dapatkah kita keluar dari dongeng ini, menuju masa depan bersama-sama?
Penuh cinta,
Putri
Tulisan ini diinspirasikan dari tulisan : Exit the Frog Prince. Yang terdapat dalam buku Kiss Sleeping beauty good bye oleh Madonna Kolbensclah
Catatan Seorang Perempuan *Susi Fitri
No comments:
Post a Comment