November 29, 2010

Perempuan dan Para Malaikat 02.56 21 Agustus 2010

Ini pagi.
02.56 waktu telah menggelantungi kelam malam-Nya.
Dan, di ruang 3 x 4 sesosok hawa terdiam.
Tanpa kata.
Karena tiada ada yang hendak ia ucap.
Ataukah terlalu banyak yang ingin diucap?
Ya, sepertinya begitu.
Entah afirmasi apa pun itu ia masih bertanya-tanya.

Digelapnya malam raya siapa pula yang hendak bicara, pikirnya.
Tak ada pula seorang yang ia bisa ajak bercuap-cuap.

Tentang gundah hati.
Tentang resah diri.
Tentang kehidupan.

Hidup.
Ya, alasan banyak orang untuk ada di dunia yang dipilih.
Atau dipilih-Nya?

Kata suatu ajaran agama,
kelahiran – pernikahan atau perjodohan dan kematian adalah takdir.
Kodrat kata umat agama itu.
Mungkin juga agama yang saat ini aku imani, itu sadar si HAWA.

Bulan suci ini.
Bulan kemerdekaan ini.
Di tahun yang entah mengapa begitu sepi rasanya hidup.
Mengapa begitu berat ia rasa mencari berkah.
Tapi, ada sebagian saudara seumatnya berkata: berkah akan datang sesuai kehendak-Nya.
Tapi, ada sebagian saudara seumatnya berkata pula: berkah akan datang jika kau mencari dan mengejarnya, maka kejarlah ia dan lakukan kebaikan selama kau hidup, maka berkahmu akan datang.

Kadang ia berpikir, mengapa selalu ada banyak versi dalam memandang suatu apa pun itu.
Bahkan dalam ritual agamis.
Dalam pikirnya, yang baik adalah yang benar.
Tak mungkin jua suatu keyakinan menuangkan ajar yang buruk untuk diimani penganutnya, bukan?

Bicara berkah, teringat ia akan tiga hal yang ditakdirkan oleh Tuhan dalam agamanya.
Kelahiran – pernikahan atau perjodohan dan kematian adalah takdir.


Tiba-tiba dikoreksinya hidupnya terkait tiga hal sakral itu.
Di tahap pertama..
Seketika ia mengingat-ingat tentang hari kelahirannya yang bernaung di enam bulan lalu.
Matanya kian memaksa buka kisah semasa kanak-kanak.
Maksudku, bayi.

O, ternyata ia kembali terlalu dalam..
Dilihatnya segala hal mati.
Kecuali dia.
Hela napas terhembus bak saluran tabung oksigen dari Sang Ibu yang lalu dari tali pusar.
Seakan menghempas angin, helaan kian menekan-nekan mahkluk kecil di dalamnya.
Seakan menghujamkan beton, segala yang mati menghimpit diri.
Tertekan dan ditekan.
Terhimpit dan dihimpit.
Tertekan.
Ditekan.
Terhimpit.
Dihimpit.
Dengan sengaja bahkan tidak.

Yang tentu, pengharapan atas gerak menuju PINTU alam pertama.
Jerit perih Perempuan yang peliharanya belum mampu ia dengar.
Tapi itu hanya cukup beberapa menit saja.
Karena tidak dalam hitungan jam ia datang di KEHIDUPAN nyata.
Terlahir ia di bulan pertama pada dua puluh dua tahun silam.
Tepatnya di sabtu hampir sore.
Pukul 14.45 kala itu.

Saat itu, Tuhan tepat meletakkan kelaminnya sebagai turunan Hawa.
Tidak rupawan tapi menggemaskan.

Di tahap kedua..
Ia lupa yang harus ia koreksi atas diri dan kodratnya.
Hm, jodoh. Pernikahan rupanya.
Terselip senyum tipis dari bibirnya.
Sedetik kemudian ia hela napas panjang.
Mungkin letih.
Letih akan hal yang berada di tahap kedua dalam kodrat insan dunia.

Benci aku memikirkan dua hal itu, umpatnya dalam hati.
Hm, jodoh dan pernikahan.
Apa itu semua?
Kata saudara seumatnya, jodoh itu di tangan Tuhan.
Dan pernikahan itu ibadah.
Hahaha...
Tawanya renyah memecah senyap gulita malam.
Dalam gelap hatinya menangis.
Ruang dalam relungnya berteriak dan merengek-rengek paksa titik di sudut mata si PEREMPUAN jatuh bebas bak air gunung yang jernih menuju muara.
Teringat ia akan lelaki yang dipujanya sekali dalam hidup.
Lelaki yang sangat biasa dan sederhana.
Tapi bernas dan banyak hal terekam dalam batok kepalanya.
Cukup baik. Sangat baik. Baik sekali.
Tidak sedikit ia habiskan waktu untuk bercengkrama mencumbui kekasihnya.
Tidak pula dalam hitungan sehari atau dua hari.
Lebih panjang. Lebih lama.
Namun, singkat.
Seribu seratus lima belas lamanya jika dikalkulasi dalam hitungan hari.
Banyak hari, bukan?
Namun, singkat.

Teringat ia akan lelaki yang dipujanya sekali dalam hidup.
Lelaki yang sangat biasa dan sederhana.
Tapi mampu membuatnya nyaris mati akibat kebodohannya yang kerap ingin mengerat urat kehidupannya.
Karena hal yang sangat tidak kecil dan tak biasa kesepakatan untuk saling berbelok pun pantas dipaksa.

Sumbu kasih yang terpenggal begitu biasa.
Tampaknya, biang minyak dan botol pelita telah bocor.
Sebab itu pula semua berai.
Terbakar.
Berserak.
Bersisa DEBU.

Benang merah tak lagi tersambung erat.
Tak juga kusut menyimpul.
Tapi hilang entah kemana perginya.
Tak berjejak.
Tunggu! Bicara jejak, semua berjejak.
Kelahiran saja berjejak!
Bagaimana jejak tali kasih itu bisa tiada?
Pasti ada.
Dan memang ada.
Jejaknya berduri.
Duri yang tajam.
Bagai belati yang sengaja diasah untuk menusuk dan menikam sel-sel biru dalam relungnya.


Lagi-lagi, Tuhan di agamanya sungguh-sungguh baik sekali.
Atau....
Itukah takdir?
Itukah kodrat?
Jika memang tak dikehendaki detik ini, tak kunjung matilah ia meski disembelih bahkan dipancung.
Masih berhembus napasnya yang sempit hingga kini.

Di titik akhir kisah hatinya dengan lelaki yang sederhana, pembalasanlah menjadi pemicu.
Dendam bersarang tanpa permisi.
Tapi memang diundang.
Bengis ia menatap KAUM Adam.
Binal lakon mereka buat isi perut dan kepala serasa termuntahkan selalu.
Mual menerjang segala prasangka setan.

Di titik berikutnya, dendam tetap bersarang.
Tak satupun tingkah lelaki baik ia pandang.
Tak kecuali lelaki tua yang di rumah -- di kampungnya yang katanya harmoni.
Tak kecuali lelaki muda yang acap ia sebut abang dalam berbicara.

Semua sama dalam lakon.
Semua tiada sama dalam bentuk.

Berpikir apa tadi aku di awal pengoreksianku?
Oh, pernikahan dan jodoh...
Hah, sudi pun tidak..

“Mungkin belum..”
“Ha? Siapa itu?”
“Aku. Ini aku.”
“Siapa kau? Legam sekali ragamu? Apa kau setan?”
“Hahaha. Raga? Ada-ada saja kau, manis. Bukan, aku malaikat. Malaikatmu. Malaikat dari hatimu. ”
“Halah, malaikat itu putih bukan hitam arang begini.. Apa urusanmu? Mengganggu saja.”
“Jangan merasa terganggu karena aku datang kau yang memanggil.”
“Maksudmu? Kapan aku panggil kau? Tidak. Sudah, pergi sana!”
“Tunggulah, jangan rewel begitu. Kau setidaknya harus menyambut kehadiran rivalku.”
“Apa katamu, rival? Siapa? Hm, katamu kau malaikat, berarti dia setan.. Mana, aku tidak takut!”
“Tunggulah, sabarlah sedikit saja. Apa kau begitu tak sabar bertemu dengan belahan jiwa terkasihmu itu?
“Kau ini bicara apa? Siapa yang kau sebut belahan jiwa, dan apa itu, terkasih?”
“Ya, kau bukankah sangat memuja dia. Aku memuja siapa, setan maksudmu?
“Aku punya Tuhan, dan dia satu-satunya yang aku puja. Bahkan dari aku nol tahun. Lalu, mana rivalmu itu, lamban sekali!”
“Mengapa kau begitu rewel, manis, begitu rindukah kau akan kehadiranku?”
“Kau yang ia sebut setan, belahan jiwa terkasihku?”
“Ya! Ada apa, apa aku menakutkanmu?”
“Hahaha!!! Betapa sedihnya parasmu itu mana mungkin aku takut akan sosokmu. Tunggu, dia malaikat tapi berwarna hitam dan kau setan mengapa warnamu merah menyala begini. Ya, aku tahu, kata agamaku, kalian dicipta dari api, tapi bukannya setan itu hitam?”
“Sudahlah, jangan bahas warna kami. Ada apa kau panggil aku?”
“Panggil? Ah, kalian ini datang tanpa undangan dan memang tak ada keperluan. Hah, jika ada yang melihat aku begini, dikata aku tak waras pasti!”
“Manis, kau mengundang dan pasti ada keperluanmu atas kehadiran kami. Dan tak ada yang akan mengataimu gila. Mereka toh melalui hal serupa ketika mereka memanggil belahan-belahan jiwa mereka. Jadi, apa yang harus kami perbuat?”
“Semua ini apa, sih? Tapi, baiklah, aku ingin menyoal kalian satu persatu. Bagaimana, kalian sudi?”
“Hm, tak ada alasan untuk menolak permintaanmu, manis..”
“Aku tanya, mengapa kalian ada, bagaimana kalian ada, untuk apa kalian ada?”
“Kami ada karena kau yang menciptakan. Kami ada dengan diciptakan dan tumbuh dalam dirimu. Kami ada untuk menemanimu. Ada lagi?”
“Bagaimana bisa kalian bilang aku yang ciptakan kalian? Aku tak pernah lakukan hal-hal aneh itu. Dan aku tak butuh teman seperti kalian.”
“Kau, benar manusia rupanya..”
“Ya, memang aku manusia. Sungguhan. Dan kalian—mahkluk gaib, ah apalah itu, pusing aku!”
“Kau yang mencipta kami mengapa pula kau lupa dan balik bertanya hal-hal yang sudah seharusnya kau tahu tanpa harus berpikir dan menyoal kami.”
“Sudah, aku lama-lama gila. Apa aku sudah gila? Ya, mungkin.”
“Kau tak gila. Sangat waras bahkan. Hanya saja, jiwamu sedang tak bersahabat. Baik pada kami, dan Dia.”
“Apa maksud perkataanmu?”
“Kau di ambang pintu, manis. Cobalah berpikir, bagaimana kau bisa sangat biasa berbicara lancar dengan kami, tapi tidak dengan-Nya?”
“Aku tak paham arah bicaramu. Bicaralah yang konkret!”
“Hei, jangan labil begitu, manisku.”
“Kelabilannyalah yang menghadirkan kita di hadapnya, kawan.”
“Aku lupa. Lalu, apa yang ingin kau tanya lagi? Adakah lagi soalmu untuk kami jawab? Apa kau hendak bertanya, mengapa kau bisa begitu baik berbicara dengan kami? Mengapa kau tidak mampu lakukan itu dengan Tuhanmu. Tuhan yang memberikan takdir untuk umat-umatnya, saudara-saudaramu di dunia. Tuhan yang menaburkan kehidupan melalui kesalahan Adam dan Hawa. Tuhan yang mengatur segala titik lahir dan mati juga ikatan kasih umat-Nya. Apa yang ingin kau tahu, manis? Bicaralah?”
“Bagaimana kalian tahu aku selalu bertanya-tanya akan itu semua?”
“Karena kami adalah kau. Jangan bilang kau lupa hal yang baru saja aku katakan..”
“Hah, aku nyaris gila kalian buat.”
“Hei, jangan pikirkan itu!!!”
“Ha? Pikirkan apa?”
“Aku ‘kan sudah bilang, kami ini adalah kau. Segala pikir, rasa semua yang kau alami kami pun tahu! Dan, mengapa kau berpikir mati? Bukankah kau senang hati saat ini?
“Aku semakin tak percaya tapi entah mengapa terpaksa percaya kalian adalah aku. Senang? Apa hal yang bisa buat aku senang, kawan?”
“Kau jangan coba menjebak, manisku. Bukankah hatimu senang hingga nyaris melompat ke udara berkat kedatangannya?”
“Kedatanganya? Kedatangan siapa maksudmu?”
“Lelaki yang baru saja kau pikirkan saat bersamaan kau bertanya tadi?”
“Hahaha, kau ini seperti ahli nujum jaman dahulu. Ya, aku senang atas hadirnya. Dia...”
“Baik, bernas, menarik, kelakar, lugu...”
“Ya, itu dia. Cukuplah menilainya, aku tak ingin banyak kategori yang menaungi karakternya. Lalu, apa kaitannya?”
“Dia baik, kau pun sayang akan dia, lalu mengapa kau hendaki yang buruk?”
“Aku hanya coba mentahkan semua ingin dan butuhku atas dirinya, atas hatiku yang kerap lemah dan menghamba. Apa itu berlebihan?”
“Sama sekali tidak. Tapi, apa kau tak ingin menjadi manusia biasa yang sesungguhnya?”
“Aku tak maksud dengan bicaramu, kawan”
“Kau yang seperti ini mungkin banyak di luar sana. Dan aku tahu betul alasan tepat yang mereka jadikan alibi. Aku pun paham akan alasanmu. Termasuk semua penolakanmu atas nama takdir, kodrat, nasib dan segala yang serupanya.”
“Lalu..”
“Apa untung yang hendak kau raup?”
“Apa rugi yang hendak kau tadah?”
“Entahlah, aku tak tahu. Tak ingin pula aku tahu. Cukup mentauladani jejak hari dengan aku yang seperti ini, bagiku cukup. Tuhanku pun pasti senang.”
“Yakin kau Ia senang?”
“Tidak. Aku hanya berharap. Yah, jika Ia tak senang atas aku, semoga saja ia maklum. Bukankah Ia baik hati dan memaafkan? Ya, aku tahu banyak khilaf aku lakoni bahkan ketika ia berbaik hati memberi napas saat aku menelanjangi keperempuananku. Pendosa aku.”
“Ya, memang kau si Manis Pendosa DUNIA.”
“Hahaha, terima kasih. Aku hanya lelah berkhayal dan dijatuhkan segala imajiku. Tak sudi pula aku menjadi seorang yang utopis. Sempat memikirkan itu saja sudah berlebihan. Aku hidup, hanya untuk memegang tangan-Nya. Tapi, ternyata banyak jalan dengan guratan tajam bekas perang para malaikat dan iblis juga para sekutu. Letih pula aku jatuh tergelincir air oleh lesatnya penjuru angin. Aku cukup senang dengan melihat besar kuasa atas nama DIA. Tak perlu jua aku mengira-ngira Ia baik-baik sajakah sebelum dan sesudah laknat para umatnya, tak kecuali aku. Asa umat-Nya agar kemakluman dan pengampunan kerap dan terus mengalir pastilah Ia paham. Karena memang badung ciptaan-Nya yang sempurna itu. Bukankah begitu?”
“Apakah kau sedang bertobat dan memohon ampunan karena kematian adalah asamu kini?”
“Hei, aku dan mungkin semua orang di luar sana kerap memohonkan maaf pada siapa pun tempat ia berdosa. Begitu juga pada Dia. Tapi kami ini insan yang sangat biasa. Jauhkan pula pikirmu tentang kesempurnaan yang identik dengan spesies kami. Itu hanya terkait raga. Bukan jiwa. Bahkan karena kebodohan kami, tak secuil saudaraku cacat akan raga.”
“Lalu?”
“Tidak berlebihan bukan jika kukatakan aku lemah. Aku sangat lemah. Dan aku pinta Dia kuatkanku.”
“Untuk apa?”
“Hah, kau ini bodoh atau memang tak bisa berpikir. Bukankah kau adalah aku. Tak perlulah aku menjabarkannya.”
“Aku senang.”
“Mengapa?”
“Tak perlulah aku menjabarkannya.”

Di tahap ketiga..
Ia paham betul yang harus ia koreksi atas diri dan kodratnya.
Kematian itu akan menghampirinya.
Dengan segala cara, kisah, dan waktu.
Ia pun mendambanya.
Sangat ingin ia memeluk ajalnya.
Sangat cinta mungkin.

Seketika ia bertanya pelan sekali pada relungnya.
Takut akan dua mahkluk yang baru saja menyambanginya.
Seketika ia bertanya pelan sekali pada relungnya.
Apakah berlebihan ketika insan yang terlalu buruk di hadap sesama saudaranya memberikan yang terbaik untuk Tuhannya atas nama HAMBA?
Apakah berlebihan ketika insan yang terlalu jahanam di hadap para malaikat melakukan yang terbaik untuk Tuhannya atas nama HAMBA?
Apakah berlebihan ketika insan yang terlalu laknat di hadap para Nabi dan Rasul mengharap ampun dan maaf yang mulia dari PENCIPTANYA?

Aku pikir, tidak.

No comments: