Senin, 16 Februari 2009 07:00
Oleh: Maria hartiningsih
Terhambatnya perempuan menembus kursi legislatif merupakan kerugian signifikan bagi proses demokrasi di negeri ini. Sementara itu, perilaku politik sebagian anggota legislatif yang 89 persennya laki-laki membuat tingginya krisis kepercayaan terhadap proses demokratisasi.
Demikian benang merah pernyataan Wakil Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Dr Dewi Fortuna Anwar; Direktur The Habibie Center Ahmad Watik Pratiknya; peneliti masalah demokrasi Didiek Supriyanto; anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nursanita Nasution; mantan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita Ny Sulasikin Murpratomo; serta calon presiden dari jalur independen, Marwah Daud Ibrahim.
”Kasus-kasus yang menimpa banyak anggota DPR membuat kredibilitas dan akuntabilitas mereka dipertanyakan,” ujar Dewi Fortuna dalam diskusi meja bundar di Gedung The Habibie Center di Jakarta, Selasa (3/2), ”Selain itu, kita juga melihat sangat kurangnya produk-produk kebijakan yang berpihak kepada rakyat.”
Itu sebabnya, kata Dewi, masalah-masalah yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, khususnya yang terkait langsung dengan kehidupan keluarga (politik domestik), sangat kurang mendapat perhatian, seperti pendidikan, tenaga kerja, lingkungan, ekologi, dan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi perempuan. Padahal, isu-isu itu sangat krusial konteks pembangunan berkelanjutan di suatu negara.
”Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia masih tertinggi di Asia. Ini indikator paling jelas dari rendahnya Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia,” kata Dewi.
Nursanita Nasution menambahkan, produk kebijakan yang mengacu pada kesejahteraan rakyat jumlahnya tak lebih dari empat persen dari seluruh UU yang dihasilkan selama ini. ”Sebagian besar produk UU menyangkut pemekaran,” katanya.
Kehadiran perempuan secara signifikan di lembaga legislatif, menurut Dewi, juga akan menyangkut alokasi sumber daya bagi isu-isu yang terkait dengan perspektif jender dalam hubungan internasional, termasuk penolakan terhadap perang dan keberpihakan pada perdamaian dan kesejahteraan.
Tidak mudah
Meski hak politik perempuan di Indonesia didapat jauh lebih dulu dibandingkan perempuan di AS, dan meskipun didukung berbagai instrumen perundang-undangan, termasuk konstitusi, tetap tak mudah bagi perempuan berpolitik.
Didiek dan Ani memaparkan, perjuangan politik perempuan selama 10 tahun untuk affirmative action dengan 30 persen keterwakilan perempuan dan sistem proporsional terbuka terbatas dipatahkan ketika keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 214 Undang-Undang No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu tak punya kekuatan mengikat secara hukum.
Keputusan MK itu ditafsirkan kemenangan suara terbanyak sehingga penempatan perempuan pada nomor urut dengan zipper system, seperti yang tercantum pada Pasal 55 yang diperjuangkan selama bertahun-tahun, menjadi tak berguna.
”Kita yang katanya kampiun demokrasi keempat di dunia ternyata masyarakat kita sangat patriarkhis dan feodal karena tetap melihat kepemimpinan itu harus elitis. Tanpa tindakan afirmasi, kapan ada masyarakat biasa yang bisa memasuki wilayah kepemimpinan,” ujar Ani.
Soal sistem pemilu memang masih diperdebatkan. Seperti dipertanyakan Dewi, apakah lebih baik sistem proporsional terbuka yang diyakini lebih demokratis karena diasumsikan transparan dan akuntabel atau dengan affirmasi yang proporsional terbuka terbatas untuk menyelamatkan demokrasi dari dominasi para penjahat yang menggunakan demokrasi hanya untuk kepentingan kekuasaan sesaat.
Didiek mempertanyakan mengapa tak ada gugatan terhadap asumsi bahwa sistem proporsional terbuka menjamin didapatkannya wakil rakyat yang lebih berkualitas.
Ia memaparkan, kegagalan sistem itu pada pemilihan Dewan Perwakilan Daerah.
”Kita lihat, sebagian besar yang terpilih adalah mantan pejabat, istri mantan pejabat, pengusaha, dan mereka yang punya modal.”
Ny Sulasikin Murpratamo menambahkan, ”Saya dengar sekarang ini, kalau tidak punya uang sedikitnya Rp 1 M, tidak bisa ikut kampanye caleg.”
Semakin berat
Perjuangan perempuan di bidang politik formal semakin berat terkait dengan generalisasi terhadap perempuan.
”Kalau laki-laki anggota legislatif tidak berprestasi atau gagal memperjuangkan aspirasi rakyat, itu dianggap biasa. Kalau itu terjadi pada perempuan, mereka langsung ditempelkan stereotip bahwa perempuan memang tak mampu berprestasi,” kata Dewi.
Tekanan terhadap perempuan untuk membuktikan bahwa dirinya mampu berkiprah di dunia politik, menurut Dewi, jauh lebih berat.
”Perempuan harus membuktikan empat sampai lima kali lipat agar diakui,” kata Ani.
Sementara itu, kalangan pemilih yang tak setuju perempuan menjadi pemimpin pasti tak akan memilih perempuan caleg dengan alasan yang subyektif-irasional.
”Sebaliknya, para pemilih yang mendukung ide perempuan pemimpin juga tak serta-merta memilih perempuan karena mereka akan melihat kualitasnya. Alasan ini obyektif dan rasional,” kata Dewi.
Soal kualitas
Dengan demikian, perempuan tidak dipilih karena alasan subyektif irasional maupun obyektif rasional. Sementara jumlah perempuan caleg sedikit dan kualitasnya belum tinggi.
”Kalau desain KPU tak masuk ke perpu, bisa-bisa jumlah perempuan di legislatif turun sampai 20-30 persen,” kata Ani.
”Dalam Pemilu 2004 dengan sistem proporsional terbuka terbatas, kinerja caleg perempuan untuk meraup suara terbanyak hanya dalam kisaran lima persen dari bilangan pembagi pemilih,” ujarnya.
Dengan sistem terbuka, dalam 10 tahun ke depan pun belum tentu didapatkan perempuan politisi sekaliber Marwah Daud. ”Saya ini produk affirmative action pada masa lalu. Bu Sulasikin yang mendorong, mendukung, dan menjadi mentor saya,” ujar Marwah yang tak melihat ada proses mentoring di kalangan perempuan legislatif saat ini.
Perlu intervensi
Untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen, ia menganjurkan, intervensi di tingkat struktural secara ketat, sekaligus yang kultural secara paralel dan ketat, membuat peta keterwakilan perempuan sampai ke tingkat terendah agar tahu bagaimana merangkai kekuatan, turun sampai ke desa, agar konstituen sungguh-sungguh mengenal caleg dan caleg pun memahami isu strategis di tingkat paling lokal.
”Waktu terpilih pertama kali, kita harus dibantu, dimentorin. Untuk yang kedua, kita harus bekerja keras meyakinkan konstituen di bawah. Pada pemilihan berikutnya, kita yang dicari konstituen,” kata Marwah.
Sumber: Kementrian PP dan PA
No comments:
Post a Comment