“Netralisir rasa itu melelahkan. Sebelum
jauh, lebih baik tidak sama sekali. Gue nggak niat main-main dan harusnya lu
tahu posisi lu…”
SATU BULAN KEMUDIAN
Kuperhatikan
lekat mentari yang semakin bersembunyi di punggung-punggung mega Ibu Kota.
Bukan malu, hanya sudah waktunya rebah dan muncul di kota lain—entah di bagian
bumi mana, tak tahu. Jingga yang tersisa seperti sepah pada rona-rona wajah
yang merekah karena lelah berlarian berpayung terik mentari di khatulistiwa.
Gersang. Dari semua ceritera yang terekam, kuceritakan kemudian. Dengan kata
bersayap. Entah melantur, entah berkonsep. Dari semua ceritera yang terdengar,
kukisahkan kemudian. Dengan kata bersajak. Entah memuja, entah memaki. Dan
jangan pernah katakan itu hanya rangkaian kata. Sebab kutelan semua makna, jadi
silakan berapresiasi.
Petang ini
kubumbui sedikit syairku. Pada ujung baris terakhir, “Kurindu kau, pujanggaku.
Maaf.” Itu yang kutulis. Seperempat abad aku jadi mahkluk Tuhan, kubingungkan
mengapa pula aku harus memohonkan maaf pada seseorang atas rindu yang dirasa.
Aneh, tapi ya sudahlah. Aku demikian pun tanpa tahu sebab. Yang tentu, aku
rindu kau. Pujanggaku.
Drrrrt..
Drrrt.. Incoming call: Cah Debleng. Potretmu yang nyengir
sumringah terpampang bersama no kontak yang tak pernah kuhapal sedikitpun.
“Halo,
assalamu’alaikum, how do you do?” jawabku antusias.
“Wa’alaikumsalam.
I am fine. Hei, sedang apa?” jawabmu spontan buat aku terkikik. Bahasa
Inggrismu memang harus cepat diperbaiki. Selalu keliru menjawab sapaku. Dan aku
rindu wajah polosmu ketika dengan aku menertawaimu yang kebingungan mencari
jawab yang benar.
“Ya ampun mas
bro, mau berapa kali diingetin, kalau disapa dengan how do you do,
jawabnya how do you do juga,” kataku sambil tertawa riang. Bagiku itu
hiburan menyenangkan, dan sepertinya bisa kunikmati selalu dan takkan
membosankan. “Doing nothing.Baru aja dari atas kosan, bagus banget view-nya
ternyata, kamu keren milihin aku kosan. Top!”
“Hm..lupa, how
do you do. Hehehe. Baguslah kalau kamu suka. Nggak ngapa-ngapain hari
ini?”
“Nggak, capek
abis pindahan kemarin. Mau rehat beberapa hari. Hei, how’s your day?
Enjoy your work?”
“Hm…seru.
Aku banyak belajar di sini. Belajar menyelesaikan kerja yang sebelumnya aku
nggak ngerti, belajar bahasa melayu sini, belajar hidup lebih sabar. Intinya, I
enjoy my life in this city,” katamu ringkas. Belajar, hal yang paling
kugemari darimu. Tak beda denganku, senang sekali dengan apapun yang baru
terlebih menarik. Dan kini, kau adalah perantau di bumi West Borneo, tanah
kelahiranku. Ragam budaya, bahasa, aktivitas, kebiasaan, gastronomi,
iklim—cuaca, dan apapun semuanya baru bagimu. Tak terlalu perlu dikhawatirkan,
kau sudah terbiasa dengan segala yang baru, itu mengapa kau bilang kau
menikmati hidupmu di kota itu. Kuharap, Pontianak bisa membuatmu menjadi lelaki
yang semakin baik dari segala aspek. Paling tidak, banyak hal yang bisa kau
pelajari dan kau jadikan pengalaman di sana.
“Alhamdulillah
deh kalau semua baik-baik saja. Oh ya, makasih ya udah mau datang dan ngater
aku kemarin di bandara. Maaf, aku buat kamu nunggu lama dan doing shit thing
yang buat kamu kesal..”
“Sama-sama, yang
penting kan ketemu. Kamu nggak salah, semua itu kembali ke diri kamu
sendiri.”
“Hm, ok. InsyaAllah,
nggak ngulangi, amin!”
“Hm. Ya sudah,
aku mau tidur. Kamu jangan begadang terus.”
“Siap, mas bro!
Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam..”
***
“Kekasih
kuulurkan jemari tanganmu
Dekaplah
aku ke dalam helaan napas
Oh,
rindu biarkanlah terbakar
Oh,
cemburu biarkanlah membara
Sebab
demikianlah cinta”
(Demikianlah Cinta oleh Ebiet G. Ade)
Cah
Debleng
Last
seen today at 5:30pm
Bertapa
di Kapuas
Demikian
statusmu di salah satu aplikasi messenger di smartphone yang
cukup menghubungkan kita di jarak yang cukup jauh pula. Layaknya para petapa,
kau membiarkan segala menjadi senyap. Menggantungkan kata dalam kalbu. Berbincang
dan bercengkrama dengan Tuhanmu. Kelam tak berkabut. Namun palung itu kian
mendalam. Menyesakkan dadamu—kepalamu. Berteriak pada arus sungai keruh yang
membiarkan pijakan demi pijakan dan hentakan demi hentakan menapakinya.
Kaunikmati resahmu sepanjang kau mau. Tanpa godaan. Tanpa campurtangan. Berdua.
Intim. Hanya aku yang cemas. Oh, tidak, tak hanya aku. Perempuan yang
melahirkanmu. Sanak keluargamu di kota hujan sana. Dan dia, wanita yang kaukasihi.
Itu pasti.
Enggan
aku mengganggu kala itu. Cukup sepekan lamanya gelisah meraja. Terlelap
kemudian terjaga. Terlelap lagi. Terjaga lagi. Dan kuputuskan untuk ambil tahu.
Tak kutahan. Kubiarkan napsuku mengejar suaramu di seberang pulau.
“Halo, assalamu’alaikum,”
jawabmu singkat.
“Wa’alaikumsalam.
Masih di tepian Kapuas—bertapa? Hahaha,” sapaku memulai pembicaraan. Berharap
membuat suasana renyah dan melegakan hati.
“Masih.” Jawabmu terstruktur. Kutanya, kaujawab. Oh.
Tak ada makna lebih dari sebuah kata “masih”. Hanya saja kali ini ia sedikit
membuat luas kamar kosku semakin sempit dan seakan lampu di langit-langit
meredup seketika. Mencari kata aku kini. Sulit sekali. Tidak seperti biasa aku
memaki hal-hal remeh. Tidak seperti biasa kumuntahkan pada bait-bait saat
kukesalkan yang buruk menimpaku. Tidak seperti biasa kumohonkan dalam doa
malam-malamku. Tidak seperti biasa aku hanya hening. Bukan bisu.
“So, apa
yang kamu dapat dari pertapaan panjangmu?”
Tanyaku seakan tak menggubris kedinginan pada jawabanmu sebelumnya.
“Nggak ada.”
Sekali lagi pernyataanmu sedingin air di Danau Samosir. Membeku tidak. Hanya
menusuk ke sendi dan tulang saja.
“Mana mungkin
nggak ada. Sudah berhari-hari merenung nggak mungkin nggak dapat wangsit,
hahaha.”
“Beneran
mau dengar?” tanyamu meyakinkan. Intonasi yang tentu saja membuatku ciut.
Terasa sekali tekanan yang mengalir. Tidak hanya kau. Aku yang antusias menjadi
ingin merundukkan niat dan rasa ingin tahu yang tinggi.
“Kenapa tidak, kan
aku yang nanya..” kataku ringan.
“Jangan nyesal,
jangan marah, jangan nangis kalau dengar.” Duh, ini bukan petanda. Ini
peringatan. Dan aku sulit diingatkan.
“Tergantung. Ah,
sudahlah. Bilang saja, aku siap menyimak,” jawabku meyakinkan.
“Aku pusing..Umi
minta aku pulang..atau paling nggak kerja di Jakarta atau di Bandung, sedangkan
aku baru aja ditempatkan di sini. Di sini semua kerjaku terhambat. Fasilitas
kantor nggak sebaik waktu di Balikpapan. Ditugaskan untuk nyelesaikan kerjaan
yang bukan tanggungjawabku karena cuma aku yang bisa handle,” jelasmu
lirih kudengar. Rumit tidak, tapi memang cukup membuat depresi. Sesaat aku
tenang, oh, hanya soal kerinduan seorang ibu kepada anaknya yang tak sudah lama
tak pulang dan semrawut pola kerja. “Aku
cuma butuh solusi. Di sini, kucari dan kudapat jawabnya,” katamu kemudian.
“Baguslah.
Jangan terlalu lama diam dan berpikir, yang penting itu behave. Lalu,
apa solusinya?”
“Beneran
mau dengar?” tanyamu kembali meyakinkan. Lagi-lagi aku merasa belum cukup siap
mendengar kata demi kata yang keluar. Tapi, mungkin saja kau putuskan untuk
kembali ke Jakarta atau mungkin ke Bandung, atau bahkan menetap di Bogor—di
rumah yang tentu melegakan perempuan terhebatmu, pikirku.
“Iya, bilang
saja.. Aku nyimak ..”
“Di
sini kuputuskan dua hal. Pertama, aku mati. Kedua, kuputuskan hubungan
kita—hubunganku denganmu, hubunganku dengan Fitri.” Palu godam terasa
membenamkanku ke dalam magma gunung merapi yang siap meletus dan membanjiri
sekitar dengan lumpur panas dan abu yang berserak menyesakkan. Beruntung tadi
kujawab “tergantung” saat kauminta aku untuk tak menyesal, tidak marah, dan
menangis. Karena semua itu terlaksana kini. Dalam diam. Tak bersuara. Senyap!
“Apapun kondisinya, itu solusinya,” katamu memperjelas dengan tegas. Pening
aku, beruntung aku duduk. Di kamar yang kupilih karena kau yang menyarankan.
Kupilih karena sebagian hati mulai menuruti apapun yang baik yang kautunjukkan.
Tulus.
“Dari awal sudah
kutegaskan, lebih baik tidak sama sekali. Aku sedang dan memang tak mau
bermain-main. Dan harusnya kau tahu betul posisimu. Menetralisir perasaan itu
melelahkan, mas..” Kuulang semua ucapanku saat pertama kau menggilaiku dan
memang kau gila. Dan kau bawa aku gila. Tidak. Kita tidak gila. Kau tidak,
akupun bukan manusia gila. Tapi bodoh itu pasti! Kalimatku terhenti. Sejuta
kekesalan datang berteriak memenuhi jiwa dan bersiap murka. “Sering aku bilang,
selesaikan hubunganmu dengannya. Aku nggak pernah niat untuk merampas yang
bukan milikku. Kalau kamu nggak bisa, aku siap mundur—ngalah. Aku perempuan dan
aku cukup paham sakit itu seperti apa! Tapi kamu selalu bilang akan mutusin
dia, dan kamu minta aku untuk nggak ngalah kalau memang aku sayang kamu,
berjuang. Itu katamu, mas..” Suaraku
semakin tercekik melirih perih. Sedikit meninggi pun tak mampu tertahan lendir
di tenggorokan yang tersengal menahan luka. Dan kini giliran kau yang diam.
Tidak bisu! Entah apa yang kaupikirkan. Malas aku menerka-terka. Murka ini
memanjakanku menjadi perempuan tak berhati. “Jangan pernah kauputuskan Fitri,
dia wanita yang baik sekali meski aku nggak pernah ketemu. Paling tidak,
dia lebih baik dan lebih memahami kamu daripada aku. Dan dia nggak pantes kamu
putuskan, pikiranmu begitu karena ada aku hubunganmu terganggu dengan
keberadaanku. Kamu nggak harus bunuh diri karena kekacauan seperti ini. Beri
penjelasan dan pengertian ke Umi dan mohon maklumnya kamu belum bisa pulang dan
nggak bisa kerja di tempat yang Umi mau. Kerjamu bakal baik-baik aja,
kamu ribet dan pusing karena hubungan yang rumit begini. Dan sekarang
aku ngalah, nah semua bisa dijalani pelan-pelan. Intinya, kamu nggak perlu
bunuh diri dan mutusin aku dan Fitri, cukup aku. Benahi hubungan kamu, pupuk
lagi kasih sayang yang sempat mudar dengan tetap jaga komunikasi kalian,
menurutku itu cukup memperbaiki semua ke-pusinganmu.” Semua mengalir. Jauh di
lubuk hati, kata-kataku mengalir seperti gerimis. Ibarat angin, aku dengan
senang hati menyejukkan segala yang gersang. Entah sampai kapan memunafikan
diri. Tapi, inilah yang pantas kudapat. Dan itulah yang harus kulakukan. Mengalah.
Lagi.
“Nggak, aku akan
tetap memutuskan kalian. Menyelesaikan yang aku mulai. Aku hanya butuh fokus.
Ingin memulai semua dari awal. Sendiri. Memperbaiki diri sendiri. Kamu kalau
mau memakiku, silakan,” tambahmu. Mengajakku terperangah. Menggoreskan luka.
Sembilu atau kalimat yang kauberikan ? Entahlah. Aku hanya bisa tertawa.
Ya, tertawa. Kejutan yang mencengangkan. Ya, kau memang kejutan di tahun ini.
Datang tanpa permisi. Pergi tanpa pamit.
***
Thursday, 10 October 2013. Today is my lovely and prettiest
mom’s birthday. Of course I really miss her. Kutelepon
ibu seperti biasa untuk melepas rindu atau sekadar setor kabar. Tak ada
seorang pun yang bisa membuatku benar-benar terdiam dengan soalan-soalan
tentangmu, mas. Tapi, ibu, selalu berhasil melakukannya.
Di
awal percakapan, aku terharu bahagia ibu masih diberikan kesempatan untuk
menikmati dunia sebelum berakhir di sisi-Nya. Ia lemah. Sepertiku. Persis. Tapi
ia ibu yang hebat. Perempuan terhebat yang selalu menginspirasiku. Bahkan
ketika ia memutuskan untuk tetap memberikan yang terbaik untukku—untuk
keluargaku, sementara lelaki tua yang kusapa bapak tentu saja adalah ketua
keluarga kami tidak melakukan kewajibannya.
Kau,
lelaki yang pernah bertamu di kediaman kami dengan serta merta kerap menasihatiku
untuk tetap menghormati mereka seburuk apapun keadaan dan perilaku yang ada.
Ya, beberapa bulan lalu kau menjadi tamu paling mengejutkanku. Surprised me!
Kejutan menyenangkan dan paling indah kurasa. Datang sebagai lelaki bersahaja.
Dan seolah seluruh keluargaku tersihir dengan segala kesederhanaan dan sisi
baikmu. “Percayalah, ia bukan lelaki baik seperti yang kalian pikirkan,”
celetukku dalam hati setiap sanakku mulai memujimu dan aku hanya bisa
tersenyum. Terkadang terbahak bila mereka mulai berlebihan memandangmu. Benar-benar
virus.
Suara
lain yang kutahan tak bicara namun ternyata lepas begitu saja adalah ketika
otak dan hati sedang tak ingin bekerjasama. “Dia yang kautunggu, Re. Kau
sudah begitu buruk, dan kau butuh juga harus memperbaiki dirimu. Dia mampu
membimbingmu. Tak perlulah
kau mencari atau menanti yang lain yang lebih baik. Nikmati dan syukuri
keberuntunganmu bersamanya sebagai pasangan. Lupakan yang lalu. Belajar
memercayai dan mulai dari awal lagi.”
Di tengah percakapan, sontak aku mengulum kata menahan liur yang
menggantung di tenggorokan. “Terakhir
kudengar dia juga sakit dan sibuk sekali, bu,” kujawab singkat soalan beliau.
Tentu saja aku benci obrolan seperti ini. Pembicaraan tampak monolog.
Sebab ibu cerminku. Paham betul ia akan darah dagingnya ini. Dan, tak ayal
jawaban bersambung tanya kemudian. Mulai emoh aku bicara. Kuputuskan
untuk menyelesaikan “topikmu”. Seringkali ibu menanggapi gelisahku dan berkata,”Ya
sudah, mau gimana lagi. Sabar aja. Salam buat Biru, lekas sembuh dan harus
lebih take care sama kesehatannya.” Aku yang di seberang segera mengiyakan
kemudian memintanya kembali tidur dan memberi salam sebelum memutuskan line
telepon. Percakapan pun selesai. Tapi tidak demikian yang ada di benakku.
Semakin hingar bilik demi bilik membicarakanmu. Pelan. Tapi jelas.
***
Kuketahui lewat lebih dari sekadar kabar tentangmu. Merah
itu menumbuhkan rasa di saat pertemuan yang entah tak ingin kugubris lagi.
Tentu saja dengannya. Sebab pesona itu tidak pada bening air yang mengalir dan
membasuh kekusamanku lagi. Dan mungkin
memang tak pernah ada. Ia kembali terpana pada lekat si coklat yang renyah. Dan
aku hanya pahit pada ampas kopi yang terbuang. Bila ada bening di permukaan,
anggap saja tuan rumah sedang kehabisan serbuk hitam yang semerbak dan mampu
mencuci segala bau. Ia tunggal. Tak akan pernah terkontaminasi dengan zat
apapun. Aromanya menyengat penciuman dan biarlah ia mengisi rongga-rongga yang
kian lama mengecil karena memang sempit dan tak dipelihara. Karena pada suatu waktu
ia akan menemani dirimu yang mungkin saja merindu. Tanpa harus memikirkan
cerita yang tak pernah terungkap.
Begitu sumringah ia menatapmu tulus. Hari yang
ditunggu. Selalu. Dan kini tiba. Dan sepertinya kau semakin sibuk kini. Untuk
memberikan selamat pun aku enggan mengganggu waktumu. Kusimpan saja. Kudoakan
saja. Segala kebaikan untuk berkah yang nyata atas pertalianmu. Tentu saja
dengannya. Tuhan, terima kasih.
“kamu yang cantik
kamu yang manis
kini berdua (selamat bahagia)
dulu belia lalu remaja
kini berdua (selamat bahagia)
jangan ada yang bersedih
kita nikmati malam ini
berjumpa di pesta ini
semua rasa bahagia
tua muda berpasangan oh indahnya
dan kini aku pun senang
saksikan engkau berdua
disini saat yang tepat kuucapkan (selamat bahagia)”
kamu yang manis
kini berdua (selamat bahagia)
dulu belia lalu remaja
kini berdua (selamat bahagia)
jangan ada yang bersedih
kita nikmati malam ini
berjumpa di pesta ini
semua rasa bahagia
tua muda berpasangan oh indahnya
dan kini aku pun senang
saksikan engkau berdua
disini saat yang tepat kuucapkan (selamat bahagia)”
(Selamat
Bahagia oleh Superglad)
***
DUA TAHUN KEMUDIAN
Terik matahari siang ini tampak tak bersahabat untuk
melepas rinduku pada kota kecilku. Bahkan sekadar menikmati lambaian malas
daun-daun padi di area persawahan penduduk di desaku. Terpaksa kurungkan niat
untuk merentangkan kedua tanganku di tengah pepadian membiarkan semilir angin
mengelus-elus dan menelisik masuk ke celah-celah tubuhku.
Sudah sebulan aku di kampung halaman. Menemani
perempuan terhebatku beristirahat demi pulihkan kesehatannya yang memburuk.
Kian memburuk. Dan kuputuskan untuk menjadi mata, teliga juga kakinya untuk
hidupnya. Dan itu sangat melegakan dibandingkan mendengarnya terjatuh ketika
aku sedang makan dan tertawa terbahak di sudut Ibu Kota. Jiwa dan hati ini
penuh untuk menjaga kasih yang ia selalu ia curahkan. Ibu, kau yang tersayang
di dunia dan akhiratku.
Satu cerita pendek milik Seno Gumira lumat tertelan di
kepalaku. Lantunan musik reggae sudah cukup membuatku bermalas-malasan di sabtu
ini. Argh, mengapa hari libur begitu panjang. Beruntunglah aku selalu punya
jadwal tetap di hari minggu untuk berkunjung dan “menculik” beberapa
keponakan-keponakanku yang menggemaskan. Berkeliling
di pusat kota dan menemani mereka menikmati makanan-makanan kegemaran mereka.
Atau sekadar menemani mereka bermain di pelantaran sambil berteriak-teriak random
sesuka hati. Atau bahkan hanya menyuapi mereka makan, memberikan susu botol
lalu menidurkan mereka dengan sambil mendendangkan sebuah lullaby pengantar
tidur.
Kuputuskan mencuci sedikit piring dan gelas yang
sedari pagi memang tak dicuci dan mulai menumpuk. Menghabiskan waktu dengan sibuk bekerja itu adalah
kebiasaan yang terasa menjadi hobi bagiku. Bahkan menjadi salah satu terapi
jika jasmani sedang tidak dalam kondisi fit. Sibuk bekerja sangat manjur
dibanding berobat ke dokter. Dan memutar musik sambil bekerja itu juga
kebiasaan dalam keseharianku. Tembang Yesterday yang termahsyur dari
group musik The Beatles kali ini melantun syahdu di pendengaranku cukup
lantang. Akupun berdendang…
“Yesterday, all my troubles seemed so far away
Now it looks as though they're here to stay
Oh, I believe in yesterday
Now it looks as though they're here to stay
Oh, I believe in yesterday
Suddenly I'm not
half the man I used to be
There's a shadow hanging over me
Oh, yesterday came suddenly”
There's a shadow hanging over me
Oh, yesterday came suddenly”
(Yesterday oleh The
Beatles)
“Why she had
to go I don't know, she wouldn't say. I said something wrong now I long for
yesterday…”suara renyah seorang lelaki tiba-tiba menimpali salah
satu lagu favoritku itu. Diam dan kusimak baik-baik, itu bukan suara bapakku
yang memang ia tak sedang di rumah seingatku. Lalu, siapa yang bersandung di
belakangku? Kubasuh tanganku yang penuh busa sabun. Kutelusuri
suara mencari tahu si empunya suara. Dan, oh… “Hei, how do you do ?”
sapanya mengejutkanku. Sambil mengeringkan kedua tangan pada kemeja lusuhku yang
sudah memang seperti serbet aku hanya diam. Mata tak terbelalak, tapi tak juga
berniat berkedip barang sebentar. “Hei, did you hear me?” katanya lagi.
Aku benar-benar tak mengeluarkan satu kata pun. Sepertinya aku bisu. “Are
you ok?” tambahnya kemudian. Dan aku tetap diam tanpa kata.
“Loh, kok tamunya ndak
disuguhi minuman sih, kasian udah datang jauh-jauh…” suara ibu seketika memecah
pikiranku yang sibuk memutar seluruh rekaman tentangnya—tentang kami tepat sejak
melihat sosok di depanku itu, tiba-tiba. “Heh, nggak usah sebegitunya dong
kalau kangen, malu mbek ibu nduk. Buatkan mas-mu minum dulu,
nanti baru ngobrol-ngobrol. Atau jalan-jalan sore, udah nggak panas banget kaya’nya
di luar,” celoteh ibu yang membuatku semakin terbingung-bingung.
“Aku buatkan minum, baiknya kamu
duduk di teras depan aja, nanti kubawa ke sana minumannya,” kataku pelan nyaris
tak terdengar. Kali ini tak kutatap matanya. Tak kulumat potretnya. Kini dia
yang mematung diri. “Hoi, sana ke depan, ngapain coba di dapur,” ulangku.
“Nggak ah, udah lama nggak lihat
kamu ribet di dapur, aku di sini aja ya..,” jawabnya sambil melebarkan senyum
yang kuidam-idamkan selama dua tahun. Terakhir kulihat senyum manisnya di
lembar elektronik pada sebuah foto prewedding. Sebuah senyum indah yang
tak pernah bisa kunikmati dengan hati senang.
Dari tempo itu, berarti dua tahun sudah
ia menikah. Melihat senyumnya yang begitu bahagia tentulah pernikahan yang sempurna
menjadi alasan tepat di baliknya. Mengingat usia pernikahannya, senyum itu tak
hanya menjadi bentuk bahagia dari kasih seorang istri, mungkin saja kehadiran
seorang anak menjadi anugrah yang sekarang mengisi hari-harinya. Oh, betapa
bahagianya kau kini Biru.
Pikiranku berkecamuk. Pusing kurasa.
Kumasak air dengan gugup. Bagaimana tidak, kedua mata lelaki itu lekat tak
lepas menyoroti apapun gerakku. Dua cangkir kopi Cappucino kemasan dengan
coklat granule pun tersedia. Wangi semerbak memenuhi ruang dapur yang
mulai kutinggalkan menuju teras depan rumah. Biru mengikuti arah langkahku. Aku
duduk. Dia pun duduk. Kuambil secangkir kopi. Kuteguk. Kupangku di pangkal
kedua paha. Kuteguk lagi. Kupangku kembali. Kutimang. Kuteguk lagi. Kupangku
lagi. Kuteguk lagi. Kuteguk lagi. Dan lagi… Oh, tidak kali ini, kopiku habis.
Habis? Kutengok isi dalam cangkir, ternyata memang habis. “Hahaha, kamu masih
sama seperti dulu ya, Re!” kata Biru sambil tertawa puas. “Haus? Nih, masih ada
secangkir, minum aja…”katanya menawarkan kopi yang jelas kubuat untuknya.
“Nggak, itu kan punyamu,” tolakku
tegas.
“Yaelah, ambil aja kalau mau. Maksudku,
kalau masih haus. Hahaha..”
“Setelah pisah dengan kamu, aku selalu
berusaha menepati janji untuk nggak akan pernah lagi ngambil yang bukan hakku.
Sampai sekarang aku berhasil,” kataku datar. Menyimpan emosi terdalam yang
entah sengaja atau tidak terendap dalam. Petang ini, ia muncul ke permukaan.
Tidak meluap. Terlebih meletus bak Krakatau. Pembawaan tenang ini pun kuasah
setelah perpisahan kami dulu. Ia yang mengajariku untuk selalu mengontrol
emosi. Lebih baik menyimpan yang buruk dan menenangkan diri daripada protes dan
berpikir negatif, begitu katanya. Aku cukup senang bisa menjadi pribadi yang
seperti ini sekarang. Aku takjub kau yang demikian singkat kukenal mampu
membuatku berpikir dan berlakon lebih baik. Terima kasih, mas. Dan oh, kau
terdiam. Tatapanmu menelangsa. Ada apa? “Kok sepi, kamu kenapa? Itu kopinya
diminumlah..”tegurku menyadarkannya dari lamunan.
“Kamu pasti masih benci aku ya, Re? Aku
salah, maaf…” ucapnya membuatku tegang. Ditatapnya bola mataku. Seolah sedang
mengemis, maaf yang disampaikan terasa menyayat sisi hati yang kemarin telah
lama terkubur.
“Kamu nggak salah apa-apa Biru, justru
aku yang salah dari awal. Dulu aku lancang ganggu hubungan kamu dan sempat buat
kamu jauh dari Fitri. Maaf. Kupikir nggak perlulah kita bahas hal yang udah
terjadi, aku selalu coba iklas kok. Mendingan kamu cerita tentang hidup
kamu selama beristri Fitri. Pasti udah punya anak ya, anakmu laki-laki atau
perempuan? Siapa namanya? Kok nggak dibawa ke sini sih, kan aku pengin liat
Biru Junior, hahaha,” tanggapku panjang meracau bebas.
“Aku belum nikah, Re… Lebih-lebih punya
anak, hahaha,” katanya buatku mengerutkan dahi. Ia hanya tersenyum tipis.
“Kalau aku udah menikah belum tentu aku bisa ke sini. Dan kalau aku udah punya
anak, mungkin kubawa anakku ketemu kamu, tapi sekarang nggak kan..” Aku hanya
diam. Tidak coba menerka seperti biasa. Tidak bertanya pula mengapa demikian.
Mungkin wajahku sudah seperti badut bodoh yang tertipu pada trik sulap kecil
dari seorang ilusioner profesional. Di wajahku jelas bertanya-tanya tapi
kuurungkan niat mencari tahu. Kuarahkan bola mataku pada jemari-jemari
tangannya. Yang kiri, kemudian yang kanan. Oh, Tuhan, benar-benar tak ada
cincin pernikahan seperti yang biasa dikenakan pasangan suami-istri. Apa benar
Biru batal menikah? Berarti dia masih single? Oh Tuhan, apa yang
membuatnya datang kemari dengan statusnya yang masih sendiri. Apa yang
dipikirkan Biru saat ini, penasaran sekali aku dibuatnya. “Aku rindu kamu. Aku
rindu kamu, Areca. Aku nggak pernah dapat kesempatan ketemu kamu di Jakarta.
Dua minggu lalu kudengar kamu di Singkawang. Sekarang akhirnya aku bisa ketemu
kamu lagi. Senang rasanya.” Panjang ia berbicara. Aku hanya menyimak dan
ber”oh..”
“Baguslah kalau kamu senang, karena
aku juga senang. Senang sekali. Senang seperti terkejut saat pertama kamu
datang dan kamu jadi pasanganku dua tahun lalu. Tepat di rumah ini. Benar-benar
berkah rasanya waktu itu,” kataku lirih. Tidak menangis.
“Jalan yuk,” ajaknya bersemangat.
“Ke mana?”
“Kamu maunya ke mana? Ke pantai ayo, ke
gunung ayo, makan juga boleh, terserah.”
“Ke pantai ajalah, nggak ribet, tapi
aku salin baju dulu.”
***
“Mengapa aku mesti duduk di sini
Sedang engkau tepat di depanku
Mestinya aku berdiri , berjalan ke depanmu
Kusapa dan kunikmati
wajahmu
Atau kuisyaratkan cinta
Tapi semua tak kulakukan
Kata orang cinta mesti berkorban
Mengapa dadaku mesti berguncang
Bila kusebutkan namamu
Sedang kau diciptakan bukanlah untukku
Itu pasti
Tapi aku tak mau peduli
Sebab cinta bukan mesti bersatu
Biar kucumbui bayangmu
Dan kusandarkan harapanku”
(Lagu Untuk Sebuah Nama oleh Ebiet G. Ade)
Kubenamkan
pandanganku pada luas birunya laut yang kemilau. Cahaya berpendar berebutan di
riak-riak air. Sesekali menggulung menjadi ombak dan menghantam bebatuan.
Terhempas keras dan begitu terus-menerus. Melihat ke sekeliling batu besar yang
membentuk pulau terkecil di dunia. Kulihat senyummu yang selalu mampu
mengajakku terpana dan membalas senyum itu. Kulihat kau mulai meracau
bercengkrama dengan Tuhan lewat bait-bait kata yang ajaib. Dengan tak luput
melakukan gerak-gerak pelengkap. Bak pertunjukan panggung kau selalu memukau.
Lalu, oh, kau menggendongku dan memutar-mutarkan badanmu. Terus-menerus
berputar. Berputar terus sampai pusing kepalaku. Dan, oh, terhempas aku.
Lututku gemetaran. Tapi, mengapa aku
masih melihat kau tertawa. Denganku?
“Kamu
kenapa, Re? Kok tiba-tiba lemes sampai gemetaran gitu? Kamu nggak sehat ya, ya
sudah kita pulang aja,”katamu panik.
“Kamu
kenapa datang lagi, mas? Kamu tahu betul aku rindu sekali denganmu.”
“Karena
aku rindu kamu. Dan aku harus ketemu kamu.”
“Kenapa
harus ketemu..?”
“Aku
datang karena memang kamu yang aku tuju,” jawabnya membingungkan. “Aku cuma
ingin memulai kembali yang pernah kita jalani dulu, aku sayang kamu Re..” kalimat yang selalu ingin kudengar selama penantianku.
Hari ini kudengar dengan jelas. Tak terhalang apapun. Dan aku tahu ini nyata.
Juga tulus. Terima kasih Tuhan.
“Mungkin sekarang aku perempuan paling bahagia hari ini..”
“Dan aku lelaki yang paling bahagia hari ini, itu pasti. Makasih ya, Re.
Aku lega.”
“Aku
yang seharusnya bilang makasih, mas. Makasih kamu buat aku banyak belajar.
Belajar sabar, belajar kuat, belajar bijak, belajar tenang, belajar lebih
lembut, belajar iklas. Makasih untuk semua yang sudah kamu ajarkan dan
tunjukkan padaku.“ Akhirnya ucap terima
kasih ini kusampaikan langsung dan sungguh senang rasanya. Aku yang tak pernah
berpikir bisa seperti ini, sungguh-sungguh berkah.
“Would
you marry me?” Wow.
Kalimat ini. Kalimat yang diimpikan seluruh perempuan dari pasangannya. Dan
hari ini, di saksikan megahnya lukisan alam, kalimat itu ditujukan lelaki
pujanggaku padaku. Terima kasih Tuhan. “Hei, kamu mau nggak menikah denganku,
jangan diem gitu, aku deg-degan ini,” kata Biru gugup. Diperhatikannya aku
lekat-lekat. Cemas ia berharap. Dekat dari wajahku. Ia sangat menunggu. Bahkan lebih terlihat khawatir
penantiannya. Tapi kesabarannya tak seperti sabar yang kujaga selama dua tahun.
“Hei…aku nunggu jawaban kamu loh, Re…” katanya mendesak tanda semakin tak
sabar. Aku yang diajak bicara hanya tersenyum. “Jangan hanya senyum, yang aku
butuh sekarang jawabanmu, jawablah..” rengeknya padaku. Dan aku hanya semakin
melebarkan senyuman. Sedikit tertawa kecil. “Aku nggak lagi ngelawak loh, aku
ngelamar kamu ini sekarang, kamu mau nggak menikah denganku, Areca? Dijawab.”
“Hahaha,
kamu lucu banget sih, mas. Nggak kuat aku nahan ketawa. Maksa banget minta
dijawab,” jawabku meledek.
“Astaga,
malah ketawa. Oke aku ulang, Areca maukah kamu menikah denganku,”
ulangnya sambil memasang senyum manis motif merayuku. Senyum yang, ah…
benar-benar manis. Lesung di pipinya membuatku entah mengapa selalu semakin
senang untuk menikmati parasnya. Manis!
“Makasih
ya, mas, aku benar-benar seneng hari ini. Kamu datang tiba-tiba ke rumah, dan
kita ke pantai lagi. Dan kamu ngelamar aku. Hal yang aku butuh semenjak aku
pernah jadi pasanganmu dulu. Sayang, kamu nggak sesayang itu sama aku dulu.
Makasih sudah berpikir aku perempuan yang pantas kamu nikahi. Aku senang sekali.
Tapi, maaf, aku nggak berniat menikah sedikitpun dan dengan siapapun. Bahkan
denganmu, lelaki yang sejak bertemu selalu aku jaga rasa ini buat kamu. Sejak
kamu putuskan untuk menyelesaikan hubungan kita, aku tekadkan untuk nggak akan
menjalin hubungan dengan lelaki manapun. Termasuk kamu. Aku lebih baik sendiri.
Aku nikmat sendiri. Karena upayaku
sudah cukup keras menetralisir rasa dan keadaan. Maaf, Biru.”
Seluruh rasa, seluruh pikiran sudah terucap. Habis. Dan berakhir. Tinggal
doa yang akan terus kumohonkan pada-Nya untukmu, untuk kebahagiaanmu. Bahagia
dengan jalan yang berbeda denganku. Dan jangan larang aku untuk tidak
melakukannya. Sebab aku tulus lagi iklas. Terima kasih Biru. Berkatmu aku
mengenal-Nya. Dan mampu membuatku untuk terus berpikir aku hanya manusia yang
dilahirkan untuk mati karena Dia. Bukan karena dan untuk lelaki.
SELESAI