October 10, 2013

Biru. (Bertapa di Kapuas)

“Netralisir rasa itu melelahkan. Sebelum jauh, lebih baik tidak sama sekali. Gue nggak niat main-main dan harusnya lu tahu posisi lu…”

SATU BULAN KEMUDIAN

Kuperhatikan lekat mentari yang semakin bersembunyi di punggung-punggung mega Ibu Kota. Bukan malu, hanya sudah waktunya rebah dan muncul di kota lain—entah di bagian bumi mana, tak tahu. Jingga yang tersisa seperti sepah pada rona-rona wajah yang merekah karena lelah berlarian berpayung terik mentari di khatulistiwa. Gersang. Dari semua ceritera yang terekam, kuceritakan kemudian. Dengan kata bersayap. Entah melantur, entah berkonsep. Dari semua ceritera yang terdengar, kukisahkan kemudian. Dengan kata bersajak. Entah memuja, entah memaki. Dan jangan pernah katakan itu hanya rangkaian kata. Sebab kutelan semua makna, jadi silakan berapresiasi.
Petang ini kubumbui sedikit syairku. Pada ujung baris terakhir, “Kurindu kau, pujanggaku. Maaf.” Itu yang kutulis. Seperempat abad aku jadi mahkluk Tuhan, kubingungkan mengapa pula aku harus memohonkan maaf pada seseorang atas rindu yang dirasa. Aneh, tapi ya sudahlah. Aku demikian pun tanpa tahu sebab. Yang tentu, aku rindu kau. Pujanggaku.
Drrrrt.. Drrrt.. Incoming call: Cah Debleng. Potretmu yang nyengir sumringah terpampang bersama no kontak yang tak pernah kuhapal sedikitpun.

“Halo, assalamu’alaikum, how do you do?” jawabku antusias.
“Wa’alaikumsalam. I am fine. Hei, sedang apa?” jawabmu spontan buat aku terkikik. Bahasa Inggrismu memang harus cepat diperbaiki. Selalu keliru menjawab sapaku. Dan aku rindu wajah polosmu ketika dengan aku menertawaimu yang kebingungan mencari jawab yang benar.
“Ya ampun mas bro, mau berapa kali diingetin, kalau disapa dengan how do you do, jawabnya how do you do juga,” kataku sambil tertawa riang. Bagiku itu hiburan menyenangkan, dan sepertinya bisa kunikmati selalu dan takkan membosankan. “Doing nothing.Baru aja dari atas kosan, bagus banget view-nya ternyata, kamu keren milihin aku kosan. Top!”
“Hm..lupa, how do you do. Hehehe. Baguslah kalau kamu suka. Nggak ngapa-ngapain hari ini?”
Nggak, capek abis pindahan kemarin. Mau rehat beberapa hari. Hei, how’s your day? Enjoy your work?”
Hm…seru. Aku banyak belajar di sini. Belajar menyelesaikan kerja yang sebelumnya aku nggak ngerti, belajar bahasa melayu sini, belajar hidup lebih sabar. Intinya, I enjoy my life in this city,” katamu ringkas. Belajar, hal yang paling kugemari darimu. Tak beda denganku, senang sekali dengan apapun yang baru terlebih menarik. Dan kini, kau adalah perantau di bumi West Borneo, tanah kelahiranku. Ragam budaya, bahasa, aktivitas, kebiasaan, gastronomi, iklim—cuaca, dan apapun semuanya baru bagimu. Tak terlalu perlu dikhawatirkan, kau sudah terbiasa dengan segala yang baru, itu mengapa kau bilang kau menikmati hidupmu di kota itu. Kuharap, Pontianak bisa membuatmu menjadi lelaki yang semakin baik dari segala aspek. Paling tidak, banyak hal yang bisa kau pelajari dan kau jadikan pengalaman di sana.
“Alhamdulillah deh kalau semua baik-baik saja. Oh ya, makasih ya udah mau datang dan ngater aku kemarin di bandara. Maaf, aku buat kamu nunggu lama dan doing shit thing yang buat kamu kesal..”
“Sama-sama, yang penting kan ketemu. Kamu nggak salah, semua itu kembali ke diri kamu sendiri.”
“Hm, ok. InsyaAllah, nggak ngulangi, amin!”
“Hm. Ya sudah, aku mau tidur. Kamu jangan begadang terus.”
“Siap, mas bro! Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam..”
***

“Kekasih kuulurkan jemari tanganmu
Dekaplah aku ke dalam helaan napas
Oh, rindu biarkanlah terbakar
Oh, cemburu biarkanlah membara
Sebab demikianlah cinta”
(Demikianlah Cinta oleh Ebiet G. Ade)

Cah Debleng
Last seen today at 5:30pm
Bertapa di Kapuas

Demikian statusmu di salah satu aplikasi messenger di smartphone yang cukup menghubungkan kita di jarak yang cukup jauh pula. Layaknya para petapa, kau membiarkan segala menjadi senyap. Menggantungkan kata dalam kalbu. Berbincang dan bercengkrama dengan Tuhanmu. Kelam tak berkabut. Namun palung itu kian mendalam. Menyesakkan dadamu—kepalamu. Berteriak pada arus sungai keruh yang membiarkan pijakan demi pijakan dan hentakan demi hentakan menapakinya. Kaunikmati resahmu sepanjang kau mau. Tanpa godaan. Tanpa campurtangan. Berdua. Intim. Hanya aku yang cemas. Oh, tidak, tak hanya aku. Perempuan yang melahirkanmu. Sanak keluargamu di kota hujan sana. Dan dia, wanita yang kaukasihi. Itu pasti.

Enggan aku mengganggu kala itu. Cukup sepekan lamanya gelisah meraja. Terlelap kemudian terjaga. Terlelap lagi. Terjaga lagi. Dan kuputuskan untuk ambil tahu. Tak kutahan. Kubiarkan napsuku mengejar suaramu di seberang pulau.

“Halo, assalamu’alaikum,” jawabmu singkat.
“Wa’alaikumsalam. Masih di tepian Kapuas—bertapa? Hahaha,” sapaku memulai pembicaraan. Berharap membuat suasana renyah dan melegakan hati.
“Masih.”  Jawabmu terstruktur. Kutanya, kaujawab. Oh. Tak ada makna lebih dari sebuah kata “masih”. Hanya saja kali ini ia sedikit membuat luas kamar kosku semakin sempit dan seakan lampu di langit-langit meredup seketika. Mencari kata aku kini. Sulit sekali. Tidak seperti biasa aku memaki hal-hal remeh. Tidak seperti biasa kumuntahkan pada bait-bait saat kukesalkan yang buruk menimpaku. Tidak seperti biasa kumohonkan dalam doa malam-malamku. Tidak seperti biasa aku hanya hening. Bukan bisu.
So, apa yang kamu dapat dari pertapaan panjangmu?”  Tanyaku seakan tak menggubris kedinginan pada jawabanmu sebelumnya.
“Nggak ada.” Sekali lagi pernyataanmu sedingin air di Danau Samosir. Membeku tidak. Hanya menusuk ke sendi dan tulang saja.
“Mana mungkin nggak ada. Sudah berhari-hari merenung nggak mungkin nggak dapat wangsit, hahaha.”
Beneran mau dengar?” tanyamu meyakinkan. Intonasi yang tentu saja membuatku ciut. Terasa sekali tekanan yang mengalir. Tidak hanya kau. Aku yang antusias menjadi ingin merundukkan niat dan rasa ingin tahu yang tinggi.
“Kenapa tidak, kan aku yang nanya..” kataku ringan.
“Jangan nyesal, jangan marah, jangan nangis kalau dengar.” Duh, ini bukan petanda. Ini peringatan. Dan aku sulit diingatkan.
“Tergantung. Ah, sudahlah. Bilang saja, aku siap menyimak,” jawabku meyakinkan.
“Aku pusing..Umi minta aku pulang..atau paling nggak kerja di Jakarta atau di Bandung, sedangkan aku baru aja ditempatkan di sini. Di sini semua kerjaku terhambat. Fasilitas kantor nggak sebaik waktu di Balikpapan. Ditugaskan untuk nyelesaikan kerjaan yang bukan tanggungjawabku karena cuma aku yang bisa handle,” jelasmu lirih kudengar. Rumit tidak, tapi memang cukup membuat depresi. Sesaat aku tenang, oh, hanya soal kerinduan seorang ibu kepada anaknya yang tak sudah lama tak pulang dan semrawut pola kerja.  “Aku cuma butuh solusi. Di sini, kucari dan kudapat jawabnya,” katamu kemudian.
“Baguslah. Jangan terlalu lama diam dan berpikir, yang penting itu behave. Lalu, apa solusinya?”
Beneran mau dengar?” tanyamu kembali meyakinkan. Lagi-lagi aku merasa belum cukup siap mendengar kata demi kata yang keluar. Tapi, mungkin saja kau putuskan untuk kembali ke Jakarta atau mungkin ke Bandung, atau bahkan menetap di Bogor—di rumah yang tentu melegakan perempuan terhebatmu, pikirku.
“Iya, bilang saja.. Aku nyimak ..”
Di sini kuputuskan dua hal. Pertama, aku mati. Kedua, kuputuskan hubungan kita—hubunganku denganmu, hubunganku dengan Fitri.” Palu godam terasa membenamkanku ke dalam magma gunung merapi yang siap meletus dan membanjiri sekitar dengan lumpur panas dan abu yang berserak menyesakkan. Beruntung tadi kujawab “tergantung” saat kauminta aku untuk tak menyesal, tidak marah, dan menangis. Karena semua itu terlaksana kini. Dalam diam. Tak bersuara. Senyap! “Apapun kondisinya, itu solusinya,” katamu memperjelas dengan tegas. Pening aku, beruntung aku duduk. Di kamar yang kupilih karena kau yang menyarankan. Kupilih karena sebagian hati mulai menuruti apapun yang baik yang kautunjukkan. Tulus.
“Dari awal sudah kutegaskan, lebih baik tidak sama sekali. Aku sedang dan memang tak mau bermain-main. Dan harusnya kau tahu betul posisimu. Menetralisir perasaan itu melelahkan, mas..” Kuulang semua ucapanku saat pertama kau menggilaiku dan memang kau gila. Dan kau bawa aku gila. Tidak. Kita tidak gila. Kau tidak, akupun bukan manusia gila. Tapi bodoh itu pasti! Kalimatku terhenti. Sejuta kekesalan datang berteriak memenuhi jiwa dan bersiap murka. “Sering aku bilang, selesaikan hubunganmu dengannya. Aku nggak pernah niat untuk merampas yang bukan milikku. Kalau kamu nggak bisa, aku siap mundur—ngalah. Aku perempuan dan aku cukup paham sakit itu seperti apa! Tapi kamu selalu bilang akan mutusin dia, dan kamu minta aku untuk nggak ngalah kalau memang aku sayang kamu, berjuang. Itu katamu, mas..”  Suaraku semakin tercekik melirih perih. Sedikit meninggi pun tak mampu tertahan lendir di tenggorokan yang tersengal menahan luka. Dan kini giliran kau yang diam. Tidak bisu! Entah apa yang kaupikirkan. Malas aku menerka-terka. Murka ini memanjakanku menjadi perempuan tak berhati. “Jangan pernah kauputuskan Fitri, dia wanita yang baik sekali meski aku nggak pernah ketemu. Paling tidak, dia lebih baik dan lebih memahami kamu daripada aku. Dan dia nggak pantes kamu putuskan, pikiranmu begitu karena ada aku hubunganmu terganggu dengan keberadaanku. Kamu nggak harus bunuh diri karena kekacauan seperti ini. Beri penjelasan dan pengertian ke Umi dan mohon maklumnya kamu belum bisa pulang dan nggak bisa kerja di tempat yang Umi mau. Kerjamu bakal baik-baik aja, kamu ribet dan pusing karena hubungan yang rumit begini. Dan sekarang aku ngalah, nah semua bisa dijalani pelan-pelan. Intinya, kamu nggak perlu bunuh diri dan mutusin aku dan Fitri, cukup aku. Benahi hubungan kamu, pupuk lagi kasih sayang yang sempat mudar dengan tetap jaga komunikasi kalian, menurutku itu cukup memperbaiki semua ke-pusinganmu.” Semua mengalir. Jauh di lubuk hati, kata-kataku mengalir seperti gerimis. Ibarat angin, aku dengan senang hati menyejukkan segala yang gersang. Entah sampai kapan memunafikan diri. Tapi, inilah yang pantas kudapat. Dan itulah yang harus kulakukan. Mengalah. Lagi.
“Nggak, aku akan tetap memutuskan kalian. Menyelesaikan yang aku mulai. Aku hanya butuh fokus. Ingin memulai semua dari awal. Sendiri. Memperbaiki diri sendiri. Kamu kalau mau memakiku, silakan,” tambahmu. Mengajakku terperangah. Menggoreskan luka. Sembilu atau kalimat yang kauberikan ? Entahlah. Aku hanya bisa tertawa. Ya, tertawa. Kejutan yang mencengangkan. Ya, kau memang kejutan di tahun ini. Datang tanpa permisi. Pergi tanpa pamit.
***
Thursday, 10 October 2013. Today is my lovely and prettiest mom’s birthday.  Of course I really miss her. Kutelepon ibu seperti biasa untuk melepas rindu atau sekadar setor kabar. Tak ada seorang pun yang bisa membuatku benar-benar terdiam dengan soalan-soalan tentangmu, mas. Tapi, ibu, selalu berhasil melakukannya.
Di awal percakapan, aku terharu bahagia ibu masih diberikan kesempatan untuk menikmati dunia sebelum berakhir di sisi-Nya. Ia lemah. Sepertiku. Persis. Tapi ia ibu yang hebat. Perempuan terhebat yang selalu menginspirasiku. Bahkan ketika ia memutuskan untuk tetap memberikan yang terbaik untukku—untuk keluargaku, sementara lelaki tua yang kusapa bapak tentu saja adalah ketua keluarga kami tidak melakukan kewajibannya.
Kau, lelaki yang pernah bertamu di kediaman kami dengan serta merta kerap menasihatiku untuk tetap menghormati mereka seburuk apapun keadaan dan perilaku yang ada. Ya, beberapa bulan lalu kau menjadi tamu paling mengejutkanku. Surprised me! Kejutan menyenangkan dan paling indah kurasa. Datang sebagai lelaki bersahaja. Dan seolah seluruh keluargaku tersihir dengan segala kesederhanaan dan sisi baikmu. “Percayalah, ia bukan lelaki baik seperti yang kalian pikirkan,” celetukku dalam hati setiap sanakku mulai memujimu dan aku hanya bisa tersenyum. Terkadang terbahak bila mereka mulai berlebihan memandangmu. Benar-benar virus.
Suara lain yang kutahan tak bicara namun ternyata lepas begitu saja adalah ketika otak dan hati sedang tak ingin bekerjasama. “Dia yang kautunggu, Re. Kau sudah begitu buruk, dan kau butuh juga harus memperbaiki dirimu. Dia mampu membimbingmu. Tak perlulah kau mencari atau menanti yang lain yang lebih baik. Nikmati dan syukuri keberuntunganmu bersamanya sebagai pasangan. Lupakan yang lalu. Belajar memercayai dan mulai dari awal lagi.”
Di tengah percakapan, sontak aku mengulum kata menahan liur yang menggantung di tenggorokan. “Terakhir kudengar dia juga sakit dan sibuk sekali, bu,” kujawab singkat soalan beliau. Tentu saja aku benci obrolan seperti ini. Pembicaraan tampak monolog. Sebab ibu cerminku. Paham betul ia akan darah dagingnya ini. Dan, tak ayal jawaban bersambung tanya kemudian. Mulai emoh aku bicara. Kuputuskan untuk menyelesaikan “topikmu”. Seringkali ibu menanggapi gelisahku dan berkata,”Ya sudah, mau gimana lagi. Sabar aja. Salam buat Biru, lekas sembuh dan harus lebih take care sama kesehatannya.” Aku yang di seberang segera mengiyakan kemudian memintanya kembali tidur dan memberi salam sebelum memutuskan line telepon. Percakapan pun selesai. Tapi tidak demikian yang ada di benakku. Semakin hingar bilik demi bilik membicarakanmu. Pelan. Tapi jelas.
***
Kuketahui lewat lebih dari sekadar kabar tentangmu. Merah itu menumbuhkan rasa di saat pertemuan yang entah tak ingin kugubris lagi. Tentu saja dengannya. Sebab pesona itu tidak pada bening air yang mengalir dan membasuh kekusamanku lagi. Dan mungkin memang tak pernah ada. Ia kembali terpana pada lekat si coklat yang renyah. Dan aku hanya pahit pada ampas kopi yang terbuang. Bila ada bening di permukaan, anggap saja tuan rumah sedang kehabisan serbuk hitam yang semerbak dan mampu mencuci segala bau. Ia tunggal. Tak akan pernah terkontaminasi dengan zat apapun. Aromanya menyengat penciuman dan biarlah ia mengisi rongga-rongga yang kian lama mengecil karena memang sempit dan tak dipelihara. Karena pada suatu waktu ia akan menemani dirimu yang mungkin saja merindu. Tanpa harus memikirkan cerita yang tak pernah terungkap.

Begitu sumringah ia menatapmu tulus. Hari yang ditunggu. Selalu. Dan kini tiba. Dan sepertinya kau semakin sibuk kini. Untuk memberikan selamat pun aku enggan mengganggu waktumu. Kusimpan saja. Kudoakan saja. Segala kebaikan untuk berkah yang nyata atas pertalianmu. Tentu saja dengannya. Tuhan, terima kasih.

kamu yang cantik
kamu yang manis
kini berdua (selamat bahagia)
dulu belia lalu remaja
kini berdua (selamat bahagia)
jangan ada yang bersedih
kita nikmati malam ini
berjumpa di pesta ini
semua rasa bahagia
tua muda berpasangan oh indahnya
dan kini aku pun senang
saksikan engkau berdua
disini saat yang tepat kuucapkan (selamat bahagia)
(Selamat Bahagia oleh Superglad)
***

DUA TAHUN KEMUDIAN

Terik matahari siang ini tampak tak bersahabat untuk melepas rinduku pada kota kecilku. Bahkan sekadar menikmati lambaian malas daun-daun padi di area persawahan penduduk di desaku. Terpaksa kurungkan niat untuk merentangkan kedua tanganku di tengah pepadian membiarkan semilir angin mengelus-elus dan menelisik masuk ke celah-celah tubuhku.

Sudah sebulan aku di kampung halaman. Menemani perempuan terhebatku beristirahat demi pulihkan kesehatannya yang memburuk. Kian memburuk. Dan kuputuskan untuk menjadi mata, teliga juga kakinya untuk hidupnya. Dan itu sangat melegakan dibandingkan mendengarnya terjatuh ketika aku sedang makan dan tertawa terbahak di sudut Ibu Kota. Jiwa dan hati ini penuh untuk menjaga kasih yang ia selalu ia curahkan. Ibu, kau yang tersayang di dunia dan akhiratku.

Satu cerita pendek milik Seno Gumira lumat tertelan di kepalaku. Lantunan musik reggae sudah cukup membuatku bermalas-malasan di sabtu ini. Argh, mengapa hari libur begitu panjang. Beruntunglah aku selalu punya jadwal tetap di hari minggu untuk berkunjung dan “menculik” beberapa keponakan-keponakanku yang menggemaskan. Berkeliling di pusat kota dan menemani mereka menikmati makanan-makanan kegemaran mereka. Atau sekadar menemani mereka bermain di pelantaran sambil berteriak-teriak random sesuka hati. Atau bahkan hanya menyuapi mereka makan, memberikan susu botol lalu menidurkan mereka dengan sambil mendendangkan sebuah lullaby pengantar tidur.

Kuputuskan mencuci sedikit piring dan gelas yang sedari pagi memang tak dicuci dan mulai menumpuk. Menghabiskan waktu dengan sibuk bekerja itu adalah kebiasaan yang terasa menjadi hobi bagiku. Bahkan menjadi salah satu terapi jika jasmani sedang tidak dalam kondisi fit. Sibuk bekerja sangat manjur dibanding berobat ke dokter. Dan memutar musik sambil bekerja itu juga kebiasaan dalam keseharianku. Tembang Yesterday yang termahsyur dari group musik The Beatles kali ini melantun syahdu di pendengaranku cukup lantang. Akupun berdendang…
“Yesterday, all my troubles seemed so far away
Now it looks as though they're here to stay
Oh, I believe in yesterday
Suddenly I'm not half the man I used to be
There's a shadow hanging over me
Oh, yesterday came suddenly”
(Yesterday oleh The Beatles)

Why she had to go I don't know, she wouldn't say. I said something wrong now I long for yesterday…”suara renyah seorang lelaki tiba-tiba menimpali salah satu lagu favoritku itu. Diam dan kusimak baik-baik, itu bukan suara bapakku yang memang ia tak sedang di rumah seingatku. Lalu, siapa yang bersandung di belakangku? Kubasuh tanganku yang penuh busa sabun. Kutelusuri suara mencari tahu si empunya suara. Dan, oh… “Hei, how do you do ?” sapanya mengejutkanku. Sambil mengeringkan kedua tangan pada kemeja lusuhku yang sudah memang seperti serbet aku hanya diam. Mata tak terbelalak, tapi tak juga berniat berkedip barang sebentar. “Hei, did you hear me?” katanya lagi. Aku benar-benar tak mengeluarkan satu kata pun. Sepertinya aku bisu. “Are you ok?” tambahnya kemudian. Dan aku tetap diam tanpa kata.
“Loh, kok tamunya ndak disuguhi minuman sih, kasian udah datang jauh-jauh…” suara ibu seketika memecah pikiranku yang sibuk memutar seluruh rekaman tentangnya—tentang kami tepat sejak melihat sosok di depanku itu, tiba-tiba. “Heh, nggak usah sebegitunya dong kalau kangen, malu mbek ibu nduk. Buatkan mas-mu minum dulu, nanti baru ngobrol-ngobrol. Atau jalan-jalan sore, udah nggak panas banget kaya’nya di luar,” celoteh ibu yang membuatku semakin terbingung-bingung.
“Aku buatkan minum, baiknya kamu duduk di teras depan aja, nanti kubawa ke sana minumannya,” kataku pelan nyaris tak terdengar. Kali ini tak kutatap matanya. Tak kulumat potretnya. Kini dia yang mematung diri. “Hoi, sana ke depan, ngapain coba di dapur,” ulangku.
“Nggak ah, udah lama nggak lihat kamu ribet di dapur, aku di sini aja ya..,” jawabnya sambil melebarkan senyum yang kuidam-idamkan selama dua tahun. Terakhir kulihat senyum manisnya di lembar elektronik pada sebuah foto prewedding. Sebuah senyum indah yang tak pernah bisa kunikmati dengan hati senang.
Dari tempo itu, berarti dua tahun sudah ia menikah. Melihat senyumnya yang begitu bahagia tentulah pernikahan yang sempurna menjadi alasan tepat di baliknya. Mengingat usia pernikahannya, senyum itu tak hanya menjadi bentuk bahagia dari kasih seorang istri, mungkin saja kehadiran seorang anak menjadi anugrah yang sekarang mengisi hari-harinya. Oh, betapa bahagianya kau kini Biru.
Pikiranku berkecamuk. Pusing kurasa. Kumasak air dengan gugup. Bagaimana tidak, kedua mata lelaki itu lekat tak lepas menyoroti apapun gerakku. Dua cangkir kopi Cappucino kemasan dengan coklat granule pun tersedia. Wangi semerbak memenuhi ruang dapur yang mulai kutinggalkan menuju teras depan rumah. Biru mengikuti arah langkahku. Aku duduk. Dia pun duduk. Kuambil secangkir kopi. Kuteguk. Kupangku di pangkal kedua paha. Kuteguk lagi. Kupangku kembali. Kutimang. Kuteguk lagi. Kupangku lagi. Kuteguk lagi. Kuteguk lagi. Dan lagi… Oh, tidak kali ini, kopiku habis. Habis? Kutengok isi dalam cangkir, ternyata memang habis. “Hahaha, kamu masih sama seperti dulu ya, Re!” kata Biru sambil tertawa puas. “Haus? Nih, masih ada secangkir, minum aja…”katanya menawarkan kopi yang jelas kubuat untuknya.
“Nggak, itu kan punyamu,” tolakku tegas.
“Yaelah, ambil aja kalau mau. Maksudku, kalau masih haus. Hahaha..”
“Setelah pisah dengan kamu, aku selalu berusaha menepati janji untuk nggak akan pernah lagi ngambil yang bukan hakku. Sampai sekarang aku berhasil,” kataku datar. Menyimpan emosi terdalam yang entah sengaja atau tidak terendap dalam. Petang ini, ia muncul ke permukaan. Tidak meluap. Terlebih meletus bak Krakatau. Pembawaan tenang ini pun kuasah setelah perpisahan kami dulu. Ia yang mengajariku untuk selalu mengontrol emosi. Lebih baik menyimpan yang buruk dan menenangkan diri daripada protes dan berpikir negatif, begitu katanya. Aku cukup senang bisa menjadi pribadi yang seperti ini sekarang. Aku takjub kau yang demikian singkat kukenal mampu membuatku berpikir dan berlakon lebih baik. Terima kasih, mas. Dan oh, kau terdiam. Tatapanmu menelangsa. Ada apa? “Kok sepi, kamu kenapa? Itu kopinya diminumlah..”tegurku menyadarkannya dari lamunan.
“Kamu pasti masih benci aku ya, Re? Aku salah, maaf…” ucapnya membuatku tegang. Ditatapnya bola mataku. Seolah sedang mengemis, maaf yang disampaikan terasa menyayat sisi hati yang kemarin telah lama terkubur.
“Kamu nggak salah apa-apa Biru, justru aku yang salah dari awal. Dulu aku lancang ganggu hubungan kamu dan sempat buat kamu jauh dari Fitri. Maaf. Kupikir nggak perlulah kita bahas hal yang udah terjadi, aku selalu coba iklas kok. Mendingan kamu cerita tentang hidup kamu selama beristri Fitri. Pasti udah punya anak ya, anakmu laki-laki atau perempuan? Siapa namanya? Kok nggak dibawa ke sini sih, kan aku pengin liat Biru Junior, hahaha,” tanggapku panjang meracau bebas.
“Aku belum nikah, Re… Lebih-lebih punya anak, hahaha,” katanya buatku mengerutkan dahi. Ia hanya tersenyum tipis. “Kalau aku udah menikah belum tentu aku bisa ke sini. Dan kalau aku udah punya anak, mungkin kubawa anakku ketemu kamu, tapi sekarang nggak kan..” Aku hanya diam. Tidak coba menerka seperti biasa. Tidak bertanya pula mengapa demikian. Mungkin wajahku sudah seperti badut bodoh yang tertipu pada trik sulap kecil dari seorang ilusioner profesional. Di wajahku jelas bertanya-tanya tapi kuurungkan niat mencari tahu. Kuarahkan bola mataku pada jemari-jemari tangannya. Yang kiri, kemudian yang kanan. Oh, Tuhan, benar-benar tak ada cincin pernikahan seperti yang biasa dikenakan pasangan suami-istri. Apa benar Biru batal menikah? Berarti dia masih single? Oh Tuhan, apa yang membuatnya datang kemari dengan statusnya yang masih sendiri. Apa yang dipikirkan Biru saat ini, penasaran sekali aku dibuatnya. “Aku rindu kamu. Aku rindu kamu, Areca. Aku nggak pernah dapat kesempatan ketemu kamu di Jakarta. Dua minggu lalu kudengar kamu di Singkawang. Sekarang akhirnya aku bisa ketemu kamu lagi. Senang rasanya.” Panjang ia berbicara. Aku hanya menyimak dan ber”oh..”
“Baguslah kalau kamu senang, karena aku juga senang. Senang sekali. Senang seperti terkejut saat pertama kamu datang dan kamu jadi pasanganku dua tahun lalu. Tepat di rumah ini. Benar-benar berkah rasanya waktu itu,” kataku lirih. Tidak menangis.
“Jalan yuk,” ajaknya bersemangat.
“Ke mana?”
“Kamu maunya ke mana? Ke pantai ayo, ke gunung ayo, makan juga boleh, terserah.”
“Ke pantai ajalah, nggak ribet, tapi aku salin baju dulu.”
***

“Mengapa aku mesti duduk di sini
Sedang engkau tepat di depanku
Mestinya aku berdiri , berjalan ke depanmu
Kusapa dan kunikmati wajahmu
Atau kuisyaratkan cinta
Tapi semua tak kulakukan
Kata orang cinta mesti berkorban

Mengapa dadaku mesti berguncang
Bila kusebutkan namamu
Sedang kau diciptakan bukanlah untukku
Itu pasti
Tapi aku tak mau peduli
Sebab cinta bukan mesti bersatu
Biar kucumbui bayangmu
Dan kusandarkan harapanku”
(Lagu Untuk Sebuah Nama oleh Ebiet G. Ade)

Kubenamkan pandanganku pada luas birunya laut yang kemilau. Cahaya berpendar berebutan di riak-riak air. Sesekali menggulung menjadi ombak dan menghantam bebatuan. Terhempas keras dan begitu terus-menerus. Melihat ke sekeliling batu besar yang membentuk pulau terkecil di dunia. Kulihat senyummu yang selalu mampu mengajakku terpana dan membalas senyum itu. Kulihat kau mulai meracau bercengkrama dengan Tuhan lewat bait-bait kata yang ajaib. Dengan tak luput melakukan gerak-gerak pelengkap. Bak pertunjukan panggung kau selalu memukau. Lalu, oh, kau menggendongku dan memutar-mutarkan badanmu. Terus-menerus berputar. Berputar terus sampai pusing kepalaku. Dan, oh, terhempas aku. Lututku  gemetaran. Tapi, mengapa aku masih melihat kau tertawa. Denganku?
“Kamu kenapa, Re? Kok tiba-tiba lemes sampai gemetaran gitu? Kamu nggak sehat ya, ya sudah kita pulang aja,”katamu panik.
“Kamu kenapa datang lagi, mas? Kamu tahu betul aku rindu sekali denganmu.”
“Karena aku rindu kamu. Dan aku harus ketemu kamu.”
“Kenapa harus ketemu..?”
“Aku datang karena memang kamu yang aku tuju,” jawabnya membingungkan. “Aku cuma ingin memulai kembali yang pernah kita jalani dulu, aku sayang kamu Re..” kalimat yang selalu ingin kudengar selama penantianku. Hari ini kudengar dengan jelas. Tak terhalang apapun. Dan aku tahu ini nyata. Juga tulus. Terima kasih Tuhan.
“Mungkin sekarang aku perempuan paling bahagia hari ini..”
“Dan aku lelaki yang paling bahagia hari ini, itu pasti. Makasih ya, Re. Aku lega.
“Aku yang seharusnya bilang makasih, mas. Makasih kamu buat aku banyak belajar. Belajar sabar, belajar kuat, belajar bijak, belajar tenang, belajar lebih lembut, belajar iklas. Makasih untuk semua yang sudah kamu ajarkan dan tunjukkan padaku.“  Akhirnya ucap terima kasih ini kusampaikan langsung dan sungguh senang rasanya. Aku yang tak pernah berpikir bisa seperti ini, sungguh-sungguh berkah.
“Would you marry me?”  Wow. Kalimat ini. Kalimat yang diimpikan seluruh perempuan dari pasangannya. Dan hari ini, di saksikan megahnya lukisan alam, kalimat itu ditujukan lelaki pujanggaku padaku. Terima kasih Tuhan. “Hei, kamu mau nggak menikah denganku, jangan diem gitu, aku deg-degan ini,” kata Biru gugup. Diperhatikannya aku lekat-lekat. Cemas ia berharap. Dekat dari wajahku. Ia sangat menunggu. Bahkan lebih terlihat khawatir penantiannya. Tapi kesabarannya tak seperti sabar yang kujaga selama dua tahun. “Hei…aku nunggu jawaban kamu loh, Re…” katanya mendesak tanda semakin tak sabar. Aku yang diajak bicara hanya tersenyum. “Jangan hanya senyum, yang aku butuh sekarang jawabanmu, jawablah..” rengeknya padaku. Dan aku hanya semakin melebarkan senyuman. Sedikit tertawa kecil. “Aku nggak lagi ngelawak loh, aku ngelamar kamu ini sekarang, kamu mau nggak menikah denganku, Areca? Dijawab.”
“Hahaha, kamu lucu banget sih, mas. Nggak kuat aku nahan ketawa. Maksa banget minta dijawab,” jawabku meledek.
“Astaga, malah ketawa. Oke aku ulang, Areca maukah kamu menikah denganku,” ulangnya sambil memasang senyum manis motif merayuku. Senyum yang, ah… benar-benar manis. Lesung di pipinya membuatku entah mengapa selalu semakin senang untuk menikmati parasnya. Manis!
“Makasih ya, mas, aku benar-benar seneng hari ini. Kamu datang tiba-tiba ke rumah, dan kita ke pantai lagi. Dan kamu ngelamar aku. Hal yang aku butuh semenjak aku pernah jadi pasanganmu dulu. Sayang, kamu nggak sesayang itu sama aku dulu. Makasih sudah berpikir aku perempuan yang pantas kamu nikahi. Aku senang sekali. Tapi, maaf, aku nggak berniat menikah sedikitpun dan dengan siapapun. Bahkan denganmu, lelaki yang sejak bertemu selalu aku jaga rasa ini buat kamu. Sejak kamu putuskan untuk menyelesaikan hubungan kita, aku tekadkan untuk nggak akan menjalin hubungan dengan lelaki manapun. Termasuk kamu. Aku lebih baik sendiri. Aku nikmat sendiri. Karena upayaku sudah cukup keras menetralisir rasa dan keadaan. Maaf, Biru.”
Seluruh rasa, seluruh pikiran sudah terucap. Habis. Dan berakhir. Tinggal doa yang akan terus kumohonkan pada-Nya untukmu, untuk kebahagiaanmu. Bahagia dengan jalan yang berbeda denganku. Dan jangan larang aku untuk tidak melakukannya. Sebab aku tulus lagi iklas. Terima kasih Biru. Berkatmu aku mengenal-Nya. Dan mampu membuatku untuk terus berpikir aku hanya manusia yang dilahirkan untuk mati karena Dia. Bukan karena dan untuk lelaki.

SELESAI



October 08, 2013

Bawel

Aku mulai menggerakkan jemariku kembali. Akhirnya dia sudah bosan bergeming kian lama. Kumulai dengan abjad A. Tidak ada yang khusus. Hanya saja, merasakan demikian—seperti yang tertulis pada kalimat pertama ketika dibaca. Ya, merasa otak tak muat lagi menampung kata. Mungkin lebih tepatnya berkata-kata dari apa yang terpikir dalam kepala—yang tentu tak jauh dari kepal kedua tangan. Tak hanya tanya.  Pengandaian. Harapan. Doa. Mungkin juga mimpi. Bahkan caci maki. Tersadar aku, lisan tak begitu mampu ungkap semua sentimentil yang terbentuk dari jiwa. Sentimentil? Mengapa terdengar begitu negatif? Apakah aku sudah begitu banyak menumbuhkan karakter buruk dari kata itu? Semoga tidak. Bagiku, seburuk-buruk insan, napas kebaikan dari pusar yang sebelumnya tersalur dan diputuskan dari plasenta ibu—yang bahkan pelacur sekali pun akan tetap hidup dalam jiwa seorang anak. Anak manusia. Yang berujung dengan proses tumbuh. Entah menjadi apapun ia. Bukan begitu?

Pukul 01.23 am, yang tentu sudah mulai lewat tengah malam aku mulai mengambang di tengah semua ketidakmengertianku. Lagi. Entah pada apa. Oya, pada waktu itu, bukan sengaja aku tepatkan dengan angka kelahiranku, lho. Januari, 23. Semua kebetulan. Bagi yang berpikir ini sudah diatur dengan Tuhan, silakan, aku tak membatasi pendapat siapapun.

Di sepertiga pagi ini, mungkin sebagian orang di kos-ku ini sudah lelap. Nyenyak. Dan seperti biasa aku tak bisa tidur. Banyak yang menyebutku kalong—manusia malam. Tak tahu sejak kapan aku begini, mungkin ketika aku remaja dulu—ketika mulai senang menelan kata dari buku-buku yang tentu menarik bagiku kala itu.

Tapi, kali ini. Sungguh, bukan karena aku sedang sangat tertarik menikmati ceritera dan akhir dari sebuah permainan peran. Walau beberapa yang pernah aku baca banyak pula berakhir tragis. Mungkin pula tak ada akhir. Ah, mana mungkin. Dulu, hingga kini, aku selalu berpikir bakan berimaji jika satu atau sekian tokoh tak usai di sebuah judul, ia pasti muncul di judul lainnya. Tentu bukan dengan seri atau penulis yang sama. Menarik bukan ?

Celotehku sepertinya terbangun dari tanya yang muncul setelah aku menyimak sebuah film garapan sutradara terkenal, Hanung Bramantyo, Tanda Tanya (?).  Maaf jika salah menuliskan nama beliau, aku ini pelupa, maklumkanlah. Apik sekali dia mengolah film itu. Sederhana juga rumit. Mungkin sebagian dari kalian sudah pernah juga menontonnya. Aku tak akan menanyakan pendapat tentang film itu. Tak akan. Terlebih kepada kalian yang bukan ahlinya bidang perfilman. Aku, diriku lebih berminat dan tertarik akan percakapan kita tentang nyata hidup yang terbentuk dari karya Tuhan yang semakin banyak saja tak sanggup dimengerti dari banyak iman manusia—mahkluk yang katanya sempurna. Kita.

Aku sering bak iblis atau mungkin sejenisnya bertanya, mengapa Tuhan mencipta pertemuan-perpisahan, lahir-mati, pengorbanan-penghianatan, kejujuran-kebohongan, suka-duka, dan banyak lagi..?

Sering pula aku, dan beberapa dari orang lain juga sempat aku dengar, kalau memang Ia sayang dengan mahkluk-Nya, mengapa dia beri kita derita? Sedang kita tak melakukan dosa yang ia laknat. Bahkan ketika ia dipercayakan untuk hidup sebagai manusia beriman tinggi dan taat? Lalu, sama saja, dong, nasib kita dengan penjahat-penjahat bengis di tepi jalan, di bar-bar yang sedang mesum, preman-preman berdasi, pasukan-pasukan tangguh yang mengaku berjuang di jalan Tuhannya? Dan, banyaklah.

Kemudian, banyak mulut yang menjawab dengan penyelamatan (bagiku), jangan pernah bertanya demikian, tulah nanti—kata mereka. Lalu, coba jelaskan apa itu tulah dengan kalimat sederhana dan logis, aku sama sekali tak bias menerima jawaban abstrak, maaf.

Atau, suatu kali aku pernah dijawab begini, nanti juga kau mengerti mengapa demikian, kau akan segera tahu dengan sendirimu. Menarik, tapi sayang, itu bukan jawaban bagiku. Andai saja orang itu menambahkan kalimat begini, carilah jawabnya, niscaya kau akan paham, dan menyadari siapa kau yang terlahir dan diciptakan oleh apa.

Ah, terlalu gamang rupanya nalar. Semakin penuh dan rasanya ingin ditumplakan di meja kerjaku. Aku pilih mana soalan paling rumit hingga soalan mudah untuk kujawab—tanpa pasti.

Oya, ada yang berkata, begitulah Tuhan memperlakukan insane-Nya. Ia tahu betul kuat dan kemampuan mahkluknya yang kecil. Ia tak kan menguji siapapun—membahagiakan siapapun yang belum siap dan belum mampu untuk keduanya. Belum masanya. Begitu kata beberapa orang.

Mungkin jawaban-jawaban itu bias diterima, jika aku mau. Sayangnya, aku menerima, tapi mengapa pula masih bertanya-tanya, kok begitu ya? Apakah kalian sudah mulai berpikir aku seorang ateis? Atau aku ini manusia gila? Tak apa. Mungkin bias jadi. Sebab aku sendiri tak tahu kemungkinan-kemungkinan itu mungkin memang ada. Sudah lumrah jika tak ada satuhal pun yang tak mungkin. Dengan catatan, masih dibatas kemampuan. Mungkin, kalimat itu masih menandakan aku manusia beriman. Punya Tuhan dan kepercayaan yang diimani. Itu bukan apologi lho, toh aku memang berpikir demikian.

Tanda Tanya. Tak mungkin dari sekian banyak kalian yang membaca tulisan ini tak punya barang satupun tanya yang mungkin kerap menggemaskan untuk didapat jawabnya. Jika benar tak mungkin ada, hentikan membaca tulisanku. Sebab bagiku, jika hidup tanpa mencari sesuatu bahkan sebuah tanya—ada dua kemungkinan, kau orang yang sudah mendapat semua jawab atas pertanyaan-pertanyaanmu (dalam artian, kau sukses), atau kau mayat hidup (mati dalam kehidupan yang sia-sia, dan lebih baik kau mati saja, percuma hidup).

Aku termasuk orang yang bawel dan hobi berceloteh, bahkan untuk yang tak penting pun. Jadi, bias disimpulkan aku punya segudang—segunung pertanyaan yang kadang menyebalkan jika tak kutemu jawab. Lebih menyebalkan lagi, jika aku acap mempertanyakan perihal yang tak terpikirkan manusia awamnya, atau saja perihal di luar logika dan tabu.

Aku pernah dinasehati, lebih dari seorang, begini—jangan terlalu banyak menanyakan yang kau tak tahu, jalani saja yang sudah ada dengan inginmu dan dengan kebaikan, jangan suka vokal sendiri, kita ini cuma titipan dan mahkluk kecil.

Aku pernah menanggapi hal itu dengan berkata, apa salah aku bertanya dan banyak tanya? Pertanyaanku semua muncul begitu saja ketika aku bingung mengapa hal-hal itu demikian adanya, bingung tanda berpikir, bukankah berpikir tanda kita hidup. Ada sebagai manusia. Manusia yang diberi akal. Maaflah jika aku berlebihan. Maklum, aku ini cerewet. Mungkin, bagi orang lain, aku insan yang tak bersyukur dan terlalu banyak menuntut. Bisa jadi.

Pertanyaan terbesarku, kukutip dari dialog dalam tokoh Umi pada film Perempuan Berkalung Sorban. Begini bunyinya, “… diam bukan berarti tidak membela. Ada hal yang tidak bisa kita lakukan seperti yang kita inginkan. Kita adalah peremuan yang hidup dalam kondisi tidak seimbang…” kira-kira demikian, mungkin tidak tepat.

Tanpa atau dengan menilik peran serta kisah yang disajikan dalam film, personal—kuberpikir, dengan perjalanan hidup seorang perempuan yang di akhir cerita memang tak happy dan dari sempurna bahkan sedikit indah, namun ia mampu membuktikan dan mengangkat sedikit wajah perempuan (kaumku) di mata dunia umumnya—di mata keluarga dan sekitarnya khususnya.

Pergolakan bahkan pertentangan ketidakseimbangan itu muncul dengan perjuangan fisik dan mental. Dalam sebuah karya perfilman. Dalam kata-kata yang diterbitkan. Di atas meja-meja koalisi. Di ruang-ruang dapur. Di sela-sela pertemuan di pasar. Di kantin-katin. Di jalan-jalan. Bahkan dari ruang ke ruang. Dari pintu ke pintu. Dari pesan ke pesan. Dari bisikan ke bisikan. Teriakan ke teriakan. Mulut ke mulut. Mata ke mata. Hati ke hati. Bahkan ketika satu atau ribuan dari kaum ini bisu. Napaslah yang mungkin tega menghentikan. Dan dari embusan terakhir, semua itu bangkit dan akan tetap harus hadir dari sebuah kelahiran sang perempuan kecil.

Hidup hanya untuk menjawab dan memberikan kelegaan atas napas yang tersengal sebab soal belum terjawab. Namun, jiwa yang ada bukan lagi mempertanyakan mengapa berbeda, karena berbeda tetaplah tak bisa disamakan. Tapi, soalan tak lebih dari mengapa tak seimbang? Mengapa pula tak diseimbangkan?

Bukan memelas kasih juga tak sedang mengiba. Tidak kecil jumlah bernama pun yang tanpa nama dari kelamin yang serupa—perempuan cukup mengerti makna sebuah hak. Bukan maksud menentang budaya (maaf, yang kupikir dibentuk secara dominasi patriaki berlebihan dan tak berpihak). Hanya saja, bukankah lebih baik meneladani suatu kearifan? Tanpa membeda-bedakan.

Bagaimana menurut kalian?



_16/01/2013

Mendamba Laknat

Di pergelangan malam, kukabarkan.
Ada hujan nanti.
Ada banyak dan mungkin akan riuh.
Hujan meteor, kataku.
Mereka kita damba seketika.
Dinanti, dicari lalu dinikmati kemudian.
Menyenangkan, bukan?

Di ujung malam, kuceritakan.
Ada hujan kelak.
Ada banyak dan mungkin akan gaduh.
Hujan tangis, ucapku.
Mereka kita laknat seketika.
Dilupakan, dibuang lalu ditelantarkan kemudian.
Menyedihkan, bukan?

Di pagi, hal apa yang ada?
Sama mati mungkin kita.
Sebab jiwa sakit menggoda raga.
Di hati dua.


09/10/2013
Teruntukmu pujanggaku (?)



October 05, 2013

Mati Terkikik*

Pagi buta.
Kau membuta.
Menyingkap kain meretas benang.
Menyelinap di antara dua tungkai.
Mengangkang tidak.

Jelang detik mengejar menit.
Mata liarmu menjalang kian.
Binal jemarimu terlusuri ruas demi ruas datangi tubuhku.

Lunglai lemas tiada asa.
Pasrah tak lepas.
Desah erang hasratmu.
Mari berkamuflase, sayang.

Ah, kumanjakan desah perempuanku.
Lembut menjamu bibirmu basah merona.
Liar gemulai sambut birahimu.
Terjerat perangkap.

Perlahan membunuh dala-dalam.
Menikam kelaminmu yang tak seberapa.
Terkikik terpingkal jiwa.
Kemudian terkapar kau mati.

Jelang kelam mengejar fajar.
Mata liarmu membusuk kian.
Binal jemarimu terkulai buku demi buku tinggalkan tubuhku.


21 Juni 2013
*Puisi kelima yang dimuat dalam #AntologiPuisiDeruMerapi