Pukul 01.23 am, yang
tentu sudah mulai lewat tengah malam aku mulai mengambang di tengah semua
ketidakmengertianku. Lagi. Entah pada apa. Oya, pada waktu itu, bukan sengaja
aku tepatkan dengan angka kelahiranku, lho. Januari, 23. Semua kebetulan. Bagi
yang berpikir ini sudah diatur dengan Tuhan, silakan, aku tak membatasi
pendapat siapapun.
Di sepertiga pagi
ini, mungkin sebagian orang di kos-ku ini sudah lelap. Nyenyak. Dan seperti
biasa aku tak bisa tidur. Banyak yang menyebutku kalong—manusia malam. Tak tahu
sejak kapan aku begini, mungkin ketika aku remaja dulu—ketika mulai senang
menelan kata dari buku-buku yang tentu menarik bagiku kala itu.
Tapi, kali ini.
Sungguh, bukan karena aku sedang sangat tertarik menikmati ceritera dan akhir
dari sebuah permainan peran. Walau beberapa yang pernah aku baca banyak pula
berakhir tragis. Mungkin pula tak ada akhir. Ah, mana mungkin. Dulu, hingga
kini, aku selalu berpikir bakan berimaji jika satu atau sekian tokoh tak usai
di sebuah judul, ia pasti muncul di judul lainnya. Tentu bukan dengan seri atau
penulis yang sama. Menarik bukan ?
Celotehku
sepertinya terbangun dari tanya yang muncul setelah aku menyimak sebuah film
garapan sutradara terkenal, Hanung Bramantyo, Tanda Tanya (?). Maaf jika salah menuliskan nama beliau, aku
ini pelupa, maklumkanlah. Apik sekali dia mengolah film itu. Sederhana juga
rumit. Mungkin sebagian dari kalian sudah pernah juga menontonnya. Aku tak akan
menanyakan pendapat tentang film itu. Tak akan. Terlebih kepada kalian yang bukan ahlinya bidang perfilman. Aku, diriku lebih berminat dan tertarik
akan percakapan kita tentang nyata hidup yang terbentuk dari karya Tuhan yang
semakin banyak saja tak sanggup dimengerti dari banyak iman manusia—mahkluk
yang katanya sempurna. Kita.
Aku sering bak iblis
atau mungkin sejenisnya bertanya, mengapa Tuhan mencipta pertemuan-perpisahan,
lahir-mati, pengorbanan-penghianatan, kejujuran-kebohongan, suka-duka, dan
banyak lagi..?
Sering pula aku, dan
beberapa dari orang lain juga sempat aku dengar, kalau memang Ia sayang dengan
mahkluk-Nya, mengapa dia beri kita derita? Sedang kita tak melakukan dosa yang
ia laknat. Bahkan ketika ia dipercayakan untuk hidup sebagai manusia beriman
tinggi dan taat? Lalu, sama saja, dong, nasib kita dengan penjahat-penjahat
bengis di tepi jalan, di bar-bar yang sedang mesum, preman-preman berdasi,
pasukan-pasukan tangguh yang mengaku berjuang di jalan Tuhannya? Dan,
banyaklah.
Kemudian, banyak mulut
yang menjawab dengan penyelamatan (bagiku), jangan pernah bertanya demikian,
tulah nanti—kata mereka. Lalu, coba jelaskan apa itu tulah dengan kalimat
sederhana dan logis, aku sama sekali tak bias menerima jawaban abstrak, maaf.
Atau, suatu kali aku
pernah dijawab begini, nanti juga kau mengerti mengapa demikian, kau akan
segera tahu dengan sendirimu. Menarik, tapi sayang, itu bukan jawaban bagiku.
Andai saja orang itu menambahkan kalimat begini, carilah jawabnya, niscaya kau
akan paham, dan menyadari siapa kau yang terlahir dan diciptakan oleh apa.
Ah, terlalu
gamang rupanya nalar. Semakin penuh dan rasanya ingin ditumplakan di meja kerjaku. Aku pilih mana soalan paling rumit hingga soalan mudah untuk
kujawab—tanpa pasti.
Oya, ada yang berkata,
begitulah Tuhan memperlakukan insane-Nya. Ia tahu betul kuat dan kemampuan
mahkluknya yang kecil. Ia tak kan menguji siapapun—membahagiakan siapapun yang
belum siap dan belum mampu untuk keduanya. Belum masanya. Begitu kata beberapa
orang.
Mungkin
jawaban-jawaban itu bias diterima, jika aku mau. Sayangnya, aku menerima, tapi
mengapa pula masih bertanya-tanya, kok
begitu ya? Apakah kalian sudah mulai berpikir aku seorang ateis? Atau aku ini
manusia gila? Tak apa. Mungkin bias jadi. Sebab aku sendiri tak tahu
kemungkinan-kemungkinan itu mungkin memang ada. Sudah lumrah jika tak ada
satuhal pun yang tak mungkin. Dengan catatan, masih dibatas kemampuan. Mungkin,
kalimat itu masih menandakan aku manusia beriman. Punya Tuhan dan kepercayaan
yang diimani. Itu bukan apologi lho, toh
aku memang berpikir demikian.
Tanda Tanya. Tak
mungkin dari sekian banyak kalian yang membaca tulisan ini tak punya barang
satupun tanya yang mungkin kerap menggemaskan untuk didapat jawabnya. Jika
benar tak mungkin ada, hentikan membaca tulisanku. Sebab bagiku, jika hidup
tanpa mencari sesuatu bahkan sebuah tanya—ada dua kemungkinan, kau orang yang
sudah mendapat semua jawab atas pertanyaan-pertanyaanmu (dalam artian, kau
sukses), atau kau mayat hidup (mati dalam kehidupan yang sia-sia, dan lebih
baik kau mati saja, percuma hidup).
Aku termasuk orang
yang bawel dan hobi berceloteh,
bahkan untuk yang tak penting pun. Jadi, bias disimpulkan aku punya
segudang—segunung pertanyaan yang kadang menyebalkan jika tak kutemu jawab.
Lebih menyebalkan lagi, jika aku acap mempertanyakan perihal yang tak
terpikirkan manusia awamnya, atau saja perihal di luar logika dan tabu.
Aku pernah dinasehati,
lebih dari seorang, begini—jangan terlalu banyak menanyakan yang kau tak tahu,
jalani saja yang sudah ada dengan inginmu dan dengan kebaikan, jangan suka
vokal sendiri, kita ini cuma titipan dan mahkluk kecil.
Aku pernah menanggapi
hal itu dengan berkata, apa salah aku bertanya dan banyak tanya? Pertanyaanku
semua muncul begitu saja ketika aku bingung mengapa hal-hal itu demikian
adanya, bingung tanda berpikir, bukankah berpikir tanda kita hidup. Ada sebagai
manusia. Manusia yang diberi akal. Maaflah jika aku berlebihan. Maklum, aku ini
cerewet. Mungkin, bagi orang lain, aku insan yang tak bersyukur dan terlalu
banyak menuntut. Bisa jadi.
Pertanyaan terbesarku,
kukutip dari dialog dalam tokoh Umi pada film Perempuan Berkalung Sorban. Begini
bunyinya, “… diam bukan berarti tidak membela. Ada hal yang tidak bisa kita lakukan
seperti yang kita inginkan. Kita adalah peremuan yang hidup dalam kondisi tidak
seimbang…” kira-kira demikian, mungkin tidak tepat.
Tanpa atau dengan
menilik peran serta kisah yang disajikan dalam film, personal—kuberpikir,
dengan perjalanan hidup seorang perempuan yang di akhir cerita memang tak happy dan dari sempurna bahkan sedikit
indah, namun ia mampu membuktikan dan mengangkat sedikit wajah perempuan
(kaumku) di mata dunia umumnya—di mata keluarga dan sekitarnya khususnya.
Pergolakan bahkan
pertentangan ketidakseimbangan itu muncul dengan perjuangan fisik dan mental.
Dalam sebuah karya perfilman. Dalam kata-kata yang diterbitkan. Di atas meja-meja koalisi. Di ruang-ruang
dapur. Di sela-sela pertemuan di pasar. Di kantin-katin. Di jalan-jalan. Bahkan
dari ruang ke ruang. Dari pintu ke pintu. Dari pesan ke pesan. Dari bisikan ke bisikan. Teriakan ke teriakan.
Mulut ke mulut. Mata ke mata. Hati ke hati. Bahkan ketika satu atau ribuan dari
kaum ini bisu. Napaslah yang mungkin tega menghentikan. Dan dari embusan
terakhir, semua itu bangkit dan akan tetap harus hadir dari sebuah kelahiran
sang perempuan kecil.
Hidup hanya untuk
menjawab dan memberikan kelegaan atas napas yang tersengal sebab soal belum
terjawab. Namun, jiwa yang ada bukan lagi mempertanyakan mengapa berbeda,
karena berbeda tetaplah tak bisa disamakan. Tapi, soalan tak lebih dari mengapa
tak seimbang? Mengapa pula tak diseimbangkan?
Bukan memelas kasih
juga tak sedang mengiba. Tidak kecil jumlah bernama pun yang tanpa nama dari
kelamin yang serupa—perempuan cukup mengerti makna sebuah hak. Bukan maksud
menentang budaya (maaf, yang kupikir dibentuk secara dominasi patriaki
berlebihan dan tak berpihak). Hanya saja, bukankah lebih baik meneladani suatu
kearifan? Tanpa membeda-bedakan.
Bagaimana menurut
kalian?
_16/01/2013
No comments:
Post a Comment