October 08, 2013

Bawel

Aku mulai menggerakkan jemariku kembali. Akhirnya dia sudah bosan bergeming kian lama. Kumulai dengan abjad A. Tidak ada yang khusus. Hanya saja, merasakan demikian—seperti yang tertulis pada kalimat pertama ketika dibaca. Ya, merasa otak tak muat lagi menampung kata. Mungkin lebih tepatnya berkata-kata dari apa yang terpikir dalam kepala—yang tentu tak jauh dari kepal kedua tangan. Tak hanya tanya.  Pengandaian. Harapan. Doa. Mungkin juga mimpi. Bahkan caci maki. Tersadar aku, lisan tak begitu mampu ungkap semua sentimentil yang terbentuk dari jiwa. Sentimentil? Mengapa terdengar begitu negatif? Apakah aku sudah begitu banyak menumbuhkan karakter buruk dari kata itu? Semoga tidak. Bagiku, seburuk-buruk insan, napas kebaikan dari pusar yang sebelumnya tersalur dan diputuskan dari plasenta ibu—yang bahkan pelacur sekali pun akan tetap hidup dalam jiwa seorang anak. Anak manusia. Yang berujung dengan proses tumbuh. Entah menjadi apapun ia. Bukan begitu?

Pukul 01.23 am, yang tentu sudah mulai lewat tengah malam aku mulai mengambang di tengah semua ketidakmengertianku. Lagi. Entah pada apa. Oya, pada waktu itu, bukan sengaja aku tepatkan dengan angka kelahiranku, lho. Januari, 23. Semua kebetulan. Bagi yang berpikir ini sudah diatur dengan Tuhan, silakan, aku tak membatasi pendapat siapapun.

Di sepertiga pagi ini, mungkin sebagian orang di kos-ku ini sudah lelap. Nyenyak. Dan seperti biasa aku tak bisa tidur. Banyak yang menyebutku kalong—manusia malam. Tak tahu sejak kapan aku begini, mungkin ketika aku remaja dulu—ketika mulai senang menelan kata dari buku-buku yang tentu menarik bagiku kala itu.

Tapi, kali ini. Sungguh, bukan karena aku sedang sangat tertarik menikmati ceritera dan akhir dari sebuah permainan peran. Walau beberapa yang pernah aku baca banyak pula berakhir tragis. Mungkin pula tak ada akhir. Ah, mana mungkin. Dulu, hingga kini, aku selalu berpikir bakan berimaji jika satu atau sekian tokoh tak usai di sebuah judul, ia pasti muncul di judul lainnya. Tentu bukan dengan seri atau penulis yang sama. Menarik bukan ?

Celotehku sepertinya terbangun dari tanya yang muncul setelah aku menyimak sebuah film garapan sutradara terkenal, Hanung Bramantyo, Tanda Tanya (?).  Maaf jika salah menuliskan nama beliau, aku ini pelupa, maklumkanlah. Apik sekali dia mengolah film itu. Sederhana juga rumit. Mungkin sebagian dari kalian sudah pernah juga menontonnya. Aku tak akan menanyakan pendapat tentang film itu. Tak akan. Terlebih kepada kalian yang bukan ahlinya bidang perfilman. Aku, diriku lebih berminat dan tertarik akan percakapan kita tentang nyata hidup yang terbentuk dari karya Tuhan yang semakin banyak saja tak sanggup dimengerti dari banyak iman manusia—mahkluk yang katanya sempurna. Kita.

Aku sering bak iblis atau mungkin sejenisnya bertanya, mengapa Tuhan mencipta pertemuan-perpisahan, lahir-mati, pengorbanan-penghianatan, kejujuran-kebohongan, suka-duka, dan banyak lagi..?

Sering pula aku, dan beberapa dari orang lain juga sempat aku dengar, kalau memang Ia sayang dengan mahkluk-Nya, mengapa dia beri kita derita? Sedang kita tak melakukan dosa yang ia laknat. Bahkan ketika ia dipercayakan untuk hidup sebagai manusia beriman tinggi dan taat? Lalu, sama saja, dong, nasib kita dengan penjahat-penjahat bengis di tepi jalan, di bar-bar yang sedang mesum, preman-preman berdasi, pasukan-pasukan tangguh yang mengaku berjuang di jalan Tuhannya? Dan, banyaklah.

Kemudian, banyak mulut yang menjawab dengan penyelamatan (bagiku), jangan pernah bertanya demikian, tulah nanti—kata mereka. Lalu, coba jelaskan apa itu tulah dengan kalimat sederhana dan logis, aku sama sekali tak bias menerima jawaban abstrak, maaf.

Atau, suatu kali aku pernah dijawab begini, nanti juga kau mengerti mengapa demikian, kau akan segera tahu dengan sendirimu. Menarik, tapi sayang, itu bukan jawaban bagiku. Andai saja orang itu menambahkan kalimat begini, carilah jawabnya, niscaya kau akan paham, dan menyadari siapa kau yang terlahir dan diciptakan oleh apa.

Ah, terlalu gamang rupanya nalar. Semakin penuh dan rasanya ingin ditumplakan di meja kerjaku. Aku pilih mana soalan paling rumit hingga soalan mudah untuk kujawab—tanpa pasti.

Oya, ada yang berkata, begitulah Tuhan memperlakukan insane-Nya. Ia tahu betul kuat dan kemampuan mahkluknya yang kecil. Ia tak kan menguji siapapun—membahagiakan siapapun yang belum siap dan belum mampu untuk keduanya. Belum masanya. Begitu kata beberapa orang.

Mungkin jawaban-jawaban itu bias diterima, jika aku mau. Sayangnya, aku menerima, tapi mengapa pula masih bertanya-tanya, kok begitu ya? Apakah kalian sudah mulai berpikir aku seorang ateis? Atau aku ini manusia gila? Tak apa. Mungkin bias jadi. Sebab aku sendiri tak tahu kemungkinan-kemungkinan itu mungkin memang ada. Sudah lumrah jika tak ada satuhal pun yang tak mungkin. Dengan catatan, masih dibatas kemampuan. Mungkin, kalimat itu masih menandakan aku manusia beriman. Punya Tuhan dan kepercayaan yang diimani. Itu bukan apologi lho, toh aku memang berpikir demikian.

Tanda Tanya. Tak mungkin dari sekian banyak kalian yang membaca tulisan ini tak punya barang satupun tanya yang mungkin kerap menggemaskan untuk didapat jawabnya. Jika benar tak mungkin ada, hentikan membaca tulisanku. Sebab bagiku, jika hidup tanpa mencari sesuatu bahkan sebuah tanya—ada dua kemungkinan, kau orang yang sudah mendapat semua jawab atas pertanyaan-pertanyaanmu (dalam artian, kau sukses), atau kau mayat hidup (mati dalam kehidupan yang sia-sia, dan lebih baik kau mati saja, percuma hidup).

Aku termasuk orang yang bawel dan hobi berceloteh, bahkan untuk yang tak penting pun. Jadi, bias disimpulkan aku punya segudang—segunung pertanyaan yang kadang menyebalkan jika tak kutemu jawab. Lebih menyebalkan lagi, jika aku acap mempertanyakan perihal yang tak terpikirkan manusia awamnya, atau saja perihal di luar logika dan tabu.

Aku pernah dinasehati, lebih dari seorang, begini—jangan terlalu banyak menanyakan yang kau tak tahu, jalani saja yang sudah ada dengan inginmu dan dengan kebaikan, jangan suka vokal sendiri, kita ini cuma titipan dan mahkluk kecil.

Aku pernah menanggapi hal itu dengan berkata, apa salah aku bertanya dan banyak tanya? Pertanyaanku semua muncul begitu saja ketika aku bingung mengapa hal-hal itu demikian adanya, bingung tanda berpikir, bukankah berpikir tanda kita hidup. Ada sebagai manusia. Manusia yang diberi akal. Maaflah jika aku berlebihan. Maklum, aku ini cerewet. Mungkin, bagi orang lain, aku insan yang tak bersyukur dan terlalu banyak menuntut. Bisa jadi.

Pertanyaan terbesarku, kukutip dari dialog dalam tokoh Umi pada film Perempuan Berkalung Sorban. Begini bunyinya, “… diam bukan berarti tidak membela. Ada hal yang tidak bisa kita lakukan seperti yang kita inginkan. Kita adalah peremuan yang hidup dalam kondisi tidak seimbang…” kira-kira demikian, mungkin tidak tepat.

Tanpa atau dengan menilik peran serta kisah yang disajikan dalam film, personal—kuberpikir, dengan perjalanan hidup seorang perempuan yang di akhir cerita memang tak happy dan dari sempurna bahkan sedikit indah, namun ia mampu membuktikan dan mengangkat sedikit wajah perempuan (kaumku) di mata dunia umumnya—di mata keluarga dan sekitarnya khususnya.

Pergolakan bahkan pertentangan ketidakseimbangan itu muncul dengan perjuangan fisik dan mental. Dalam sebuah karya perfilman. Dalam kata-kata yang diterbitkan. Di atas meja-meja koalisi. Di ruang-ruang dapur. Di sela-sela pertemuan di pasar. Di kantin-katin. Di jalan-jalan. Bahkan dari ruang ke ruang. Dari pintu ke pintu. Dari pesan ke pesan. Dari bisikan ke bisikan. Teriakan ke teriakan. Mulut ke mulut. Mata ke mata. Hati ke hati. Bahkan ketika satu atau ribuan dari kaum ini bisu. Napaslah yang mungkin tega menghentikan. Dan dari embusan terakhir, semua itu bangkit dan akan tetap harus hadir dari sebuah kelahiran sang perempuan kecil.

Hidup hanya untuk menjawab dan memberikan kelegaan atas napas yang tersengal sebab soal belum terjawab. Namun, jiwa yang ada bukan lagi mempertanyakan mengapa berbeda, karena berbeda tetaplah tak bisa disamakan. Tapi, soalan tak lebih dari mengapa tak seimbang? Mengapa pula tak diseimbangkan?

Bukan memelas kasih juga tak sedang mengiba. Tidak kecil jumlah bernama pun yang tanpa nama dari kelamin yang serupa—perempuan cukup mengerti makna sebuah hak. Bukan maksud menentang budaya (maaf, yang kupikir dibentuk secara dominasi patriaki berlebihan dan tak berpihak). Hanya saja, bukankah lebih baik meneladani suatu kearifan? Tanpa membeda-bedakan.

Bagaimana menurut kalian?



_16/01/2013

No comments: