October 16, 2011

The Switch Part 2

Keberangkatanku ke Jakarta siang ini. Debat panjang satu pekan lalu masih menyisakan pening di kepalaku. Tak kalah pening dengan yang dirasakan Bara. Wajar kepergianku kali ini tanpa pengantar pribadiku itu. Biarlah. Pembicaraan itu kami tunda dalam waktu satu minggu. Semoga saja tak terjadi lagi silat lidah yang berkepanjangan yang memengangkan telinga dan memusingkan kepala. Penat aku! Saatnya bersenang-senang. Dan aku tak mau terganggu dengan hal menjengahkan itu untuk sementara waktu. Enam jam kemudian kakiku sudah menginjak rumah kediaman mba Rini, kakak sepupuku, di bilangan Tangerang Barat. Huh, udara di Jakarta selalu tak bersahabat dengan organ pernapasanku. Heran, tak sedikit manusia tetap berduyun-duyun datang coba mencari rejeki di kota gila ini. Selain teknologi dan peradaban yang cukup tinggi tak ada lagi kelebihan yang berefek baik dari kota Jakarta. Tak munafik, pemikiran rasional sering kalah dengan tuntutan realita yang ada. Sejak tiba di Jakarta, sepanjang waktu kuhabiskan bermain bersama keponakanku, Andaresh, di rumah. Rindu aku akan gelak tawanya yang renyah menyeringai ringan. Esok hari bahagia Mika. Aku sudah mempersiapkan gift pernikahan khusus untuknya. Semoga saja bermanfaat. Apa yang dipikirkan Mika malam ini? Aku tak tahu. Dan tak mau tahu. Toh, bukan urusanku. Ku coba pejamkan mata mencari tenang untuk menjemput si lelap. Sudah pukul 03.47 pagi. Mata ini seakan tak mau ikuti kata hatiku yang memohon indera penglihatanku untuk ditutup segera. Di tengah kegusaran akhirnya kutemukan alam bawah sadarku. Entah di detik dan pukul berapa tak aku sadari.
            Ini pukul 09.07 pagi. Bergegas aku meninggalkan rumah mba Rini menuju gedung Dharma Wanita di perempatan lampu merah di jalan Salemba Raya. Tubuhku dibawa melesat laju menuju lokasi pesta pernikahan. Dua jam kemudian aku siap berjalan menuju baris pagar ayu yang berjajar apik di bagian teras gedung untuk menuliskan namaku di buku tamu. Kini kakiku melangkah masuk ke dalam ruang pesta pernikahan. Hm, lumayan juga dekorasinya. Pasti bukan Mika yang memilah desain dekorasi ini.
            “Hoi! Akhirnya orang kampung datang juge ke Jakarte!” Teriak Vylia dengan khas suara cemprengnya gempar mengganggu musik latar pernikahan dari atas panggung. Di tengah harmonisasi nada yang mengalun ia hanya bisa nyengir tak berdosa sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.
            “Hahaha, ampun deh, Vy, dari dulu sampai sekarang itu cempreng nggak hilang juga? Malu sama anak! Mana laki sama anak lu, kok nggak ada?” tanyaku sambil celingak-celinguk mencari Tian dan anaknya di tengah keramaian orang yang sibuk mencicipi menu hidangan yang tersedia di sisi dan tengah gedung.
            “Ada, lagi di toilet, si Dea kebelet pipis tadi. Ya udah, gue suruh Tian yang ngurus. He.. Kecil, gue kangen banget! Wah, gemukan lu di kampung. Masih butuh lemak nggak, sini gue transfer, gratis!” katanya sambil mengangkat lengan kiri yang sepertinya semakin lebar melingkar mengapit batang tubuhnya yang semakin gemuk sintal.
            “Hahaha, masih jaman transfer lemak? Makanya jaga badan dong, neng.. Yang lain mana?” tanyaku tanpa basa-basi-busuk. Tempoku tak banyak, sulit untuk bertemu muka dengan teman senasibku yang tentu jam terbangnya padat.
            “Noh, di samping stage. Ke sana aja yuk!” ajak Vylia sembari menggandengku menuju kursi tamu tepat di samping stage di mana Mika dan suaminya berdiri tegak sibuk menyalami tamu yang datang dan pamit bergantian.
            “Gyas!! Wah, gue pikir udah lupa temen lu. Ditungguin dari tadi nggak nongol-nongol. Mana laki lu? Kok nggak ada?” selereh Rya begitu melihat kehadiranku. Seperti biasa, belum sempat aku menjawab, Abde, Bagas, Kinar juga Aisya langsung menyambar pembicaraan semau hati mereka. Tentulah guyonan masa kuliah ditarik kembali demi mengisi manis pertemuan kami.
            “Oi, datang juga akhirnya kau, piak! Ma oleh-oleh untuak den? Ma kado untuak den?” keras suara Mika membuncah pestanya yang sejak kehadiranku mulai menampakkan kekacauan bermula. Dengan gontai ia menuruni stage dan menghampiri kami yang asyik ledek-ledekan. Sibuk ia membenahi suntiang yang tampak berat di kepalanya agar tak jatuh dan mengundang gaduh. “Ma laki kau? Ma apak samo amak kau?” tanyanya bertubi-tubi.
            “Kecek apak samo amak den, sampaikan ke Mika, selamat ya buat Mika, mudahan perkawinannya sakinah, mawa’dah, warohmah.. bilo-bilo baok laki kau ka rumah. Capek dapek anak. Hahaha. Baralek juo akhirnyo kau, piak..” jawabku sekaligus menyampaikan pesan orang tuaku untuk Mika.
            “Nah, mumpung kumpul ini gue kasih jatah lu di depan temen-temen. Selamat ya, Mika. Semoga cicilan harian kita bermanfaat untuk hidup lu nanti. Inget, jangan dibelanjain pernak-pernik nggak jelas! Hahaha.” Semua tertawa ketika Rya memberikan amplop warisan baris duafa. Ya, warisan baris duafa. Kami menamainya arisan akhir zaman. Tempo masuk semester empat dahulu, kami berdelapan bersepakat untuk membuat arisan. Tepatnya tabungan berjamaah. Setiap kepala wajib menyisihkan uang sejumlah seribu rupiah per hari. Dana itu hanya akan selalu digunakan untuk dua hal saja. Pernikahan dan kematian. Ide arisan yang seperti tadi kukatakan lebih tepatnya menabung ini bermula dari racauan kami yang kerap stres menghadapi tugas perkuliahan. Aku masih ingat jelas Mika yang dulu bertanya-tanya siapa di antara kami yang akan lebih dulu melepas masa lajang. Beberapa dari kami saling melontarkan prediksi masing-masing. Aku yang berpikir bahwa Vylia yang akan lebih dulu menikah. Sedang Mika beranggapan bahwa Rya yang pasti lebih dulu menikah. Yang lain pun sibuk menerka-terka pelaku pertama dalam pentas pernikahan di antara kami. Alhasil, tebakan Mika memang jitu. Rya memang yang paling perdana melepas masa lajangnya bersama Babi. Ke-dua Vylia bersandingkan Tian. Dan dua temanku ini sudah dikaruniai masing-masing satu anak perempuan cantik. Lalu, pelaku ke-tiga adalah si lelaki yang cerdas otaknya, Bagas bersama perempuan Surabaya yang setahun lalu ia temui di Surabaya. Sedang yang ke-empat, Kiran bersama Kevin, lelaki asal Sulawesi. Kemudian yang ke-enam, Aisya bersama Rei, pria yang puas menemaninya sedari awal perkuliahan. Begitulah runut jejak pernikahan kaum duafa. Nama kelompok kecil yang kerap kami sandang selama menjadi mahasiswa. Dan, ya, yang masih tersisa tinggal aku dan Abde si gosong preman ingusan Kalideres.
            “Alhamdulillah, makasih semuanya! Pasti gue pake’ buat rumah tangga gue nanti. Huh, jadi terharu gue, kapan lagi kita bisa begini. Mudahan gue selalu ada dan masih bisa hadir saat lu semua butuh gue. Mau lagi seneng kek, mau lagi sengsara kek, insya allah gue ada buat lu semua..” ucap Mika padat. Mewakili semua isi hati kami. Benar-benar anugrah Kau hadirkan aku sahabat seperti mereka Tuhan. Terima kasih, Tuhanku. Jagalah pertalian ini hingga akhir helaan kami. Perkataan Mika seolah menyulap seluruh temannya yang mendengar. Terharu. Betapa tidak, usia, kesibukan dan urusan pribadi juga keluarga sudah barang tentu menyita waktu pertemuan kami. Meski begitu, ikatan kami tak lekang oleh waktu. Harapku.
            “Woi, udah dong maen dramanya. Masa jadi pada melow begini. Pesta, woi! Saatnya senang-senang!” lantang suara Abde sadarkan keheningan yang selimuti dinding hati kami sambil memegang sate padang di tangan kiri dan siomay di tangan kanan. Memalukan betul kuda nil yang satu ini.
            “Ho-oh, udah dong, ntar gw ingusan nih.. ‘Kan nggak lucu gue lap-lap ingus di pesta orang, malu kali..” sambar Rya sekenanya.
            “Idih, ogah gue salaman sama lu! Masih aja dari jaman kuliah sampe sekarang pekara paling menjijikkan pasti lu ahlinya!” sergah Mika.
            “Hahaha, Rya..Rya, malu dong sama anak lu, ingus aja kejar-kejaran sama liur anak lu! Aneh!” tambah Vylia menimpali.
            “Ye, bilangin orang emang paling bisa, itu di bawah idung lu ndiri apa?” kataku meledeki Vylia.
            “Hah, masa’ sih, Gy? Mana? Ah, malu gue..” melihat tingkah kekanakan Vylia jelas teman yang lain menjadi semakin terbahak. Benar-benar tak sedikit pun ada yang berubah. Semua otak kami masih cacat seperti semula. Ternyata korsleting urat saraf kami benar-benar patut dipertanyakan untuk antisipasi keadaan selanjutnya! Sulit menenangkan kami yang terkenal aneh dan gemar meng-autis-kan diri di mana pun, kapan pun. “Jahat lu semua, masih aja doyan becandain gue. Jadi kangen pengen kuliah lagi gue..” HOP! Semua saling pandang dan spontan memasang muka eneg!
            “Yeee, kuliah lagi? Lu aja sono, gue ogah! Makasih banyak deh gue kalau musti kuliah lagi. Silakan dah berjibaku dengan kertas-kertas foto copyan, struktur kata, rumus statistik, dan silakan juga habiskan waktu lu buat ngebacain skripsi-skripsi dari segala penjuru kampus! Thanks banget dah. Nggak dua kali gue tersiksa di kampus cacat kaya gitu! Amit-amit..” jawab Rya meledak-ledak. Terang saja, hanya orang bodoh yang mau mengulang kembali masa studinya di bangku perkuliahan yang menjengkelkan jiwa raga. Lahir bathin! Ternyata Vylia semakin menjadi anehnya. Mendengar kami mulai rusuh, Mika tak berniat berlama-lama di dekat kami. Ditinggalkannya kursi tamu untuk kembali ke kursi pelamina. Bisa-bisa belum genap sehari menikah, dia langsung dipecat sebagai istri oleh suami barunya.
            “Untung Tian yang ngasuh anak lu, coba kalau lu, hadeh, bisa gawat! Korslet urat sarafnya! Hahaha.” Tambah Kiran yang sedari tadi hanya menyumbang tawa dan kini mulai menyambung perhelatan kaum duafa.
            “Iya sih, Tian sering ngambil Dira tiba-tiba kalau gue lagi ngasuh anak gue, jangan-jangan pikiran Tian selama ini begitu, ya.. Dia pengen misahin Dira dari gue biar nggak ketularan sakit otaknya, haduuuuh, parah banget sih laki gue,” jawab Vylia cemas berlebihan.
            “Nggaklah Vy, lu udah cukup hebat kok jadi ibu sekaligus istri. Buktinya mereka baik-baik aja, anak lu sehat gempal gitu kaya lu. Woleslah..” tanggap Abde menghibur Vylia yang memang cepat bereaksi dramatis pada apapun. Berlebihan!
            “Ih, lu tau banget sih.. Dek Abde memang selalu bisa menempatkan kebaikannya, khususnya buat gue...” senyum Vylia mulai mengambang di wajah manisnya. Begitulah dia, tak bisa dipuja-puji sedikit sudah mulai melambung ke udara jiwanya.
            “Yeh, males banget sih. Jijik gue,” timpal Abde.
            “Ye, nggak ikhlas gitu muji gue! Inget, De, lu belum nikah, belum tahu susahnya miara anak, susahnya jagain laki. Ntar lu rasakan sendiri deh. Gue ketawain lu kalau anak lu sifatnya cacat kaya lu..” tungkas Vylia.
            “Weits! Mulutnya cantik banget seh.. Lagian, mana mungkin ngerasain sial kaya yang lu rasain, yang gue jaga itu bini bukan lagi, neng! Anak gue ntar pasti kalem kaya bapaknya, trus cantik kaya ibunya. Kadang gue kasian sama Tian en Dea kok punya emak n bini begini amat ya...”
            “Heh, nggak baek, lu belon nikah loh... Ati-ati sama omongan, jang.. Ntar kejadian aneh-aneh aja..” sergah Rya terdengar waras kalimatnya.
            “Iya, nih.. Kapan lu, De nyusul Mika? Lu juga, Gy? Target lu berdua untuk nikah itu umur berapa sih?” tanya Aisya. Tentu saja aku hanya bisa nyengir kuda. Toh, aku memang tak memikirkannya sama sekali. Masih jauh. “Secepatnyalah, nggak capek apa lu berdua melajang? Bosen kali. Enakan juga nikah. Lu bisa semakin sehat jasmani rohani! Hehehe,” tambah Aisya. Semua yang mendengar tentu tahu betul arah pembicaraannya. Jadi wajarlah obrolan seputar sex a la ibu-ibu muda pun di mulai. Aku hanya asyik menyimak sambil terkadang ikut tertawa terbahak-bahak. Dan soalan Aisya pun hilang tenggelam berkat Rya yang semangat berkisah...
            “Ya lu pikir aja, gue udah capek kerja seharian, pulang ke rumah langsung ngurus anak. Eh, si Babi pulang-pulang ngajak maen bola. Jeh, ogah banget gue. Sialnya pas gue sama dia dapet libur bareng, gue minta jatah, dia malah ngejawab “kamu maen bola aja sama Tyar, aku mau mancing”, sial nggak tuh, dia malah suruh gue begituan sama anak gue. Ketawan kalau anak gue laki-laki, masih masuk akal gue ajak maen bola beneran. Lah, anak gue kan cewek! Tengil emang kadang-kadang rada-rada laki gue mah.. gue tuh cuma bisa planga plongo doang di rumah karena kaga dapet jatah, huhuhu, sial banget dah!” seru Rya berkisah dengan nada berbisik. Aku tak bisa menahan gelak tawa kalau Rya yang mendongeng, semua cerita-ceritanya dari dulu hingga kini pasti membuat orang sakit perut. Bahkan kami bisa tetap tertawa ketika dia tak menceritakan hal lucu. Berkat keanehannya saat berceritalah kami kerap terhibur olehnya.
            “Buset dah, aib sendiri diceritain. Tolol nih obrolannya,” rusuh Abde di sela pergunjingan berlangsung.
            “Wooo, sirik aje lu yang nggak bisa cerita tujuh belas plus sama kita-kita. Makanya cari bini, biar bisa nimbrung!” sergah Kiran yang terlihat semangat menyimak cerita konyol dari Rya.
            “Weits, nggak usah disuruh kalau itu.. Gas, kasih sekarang aja, “ jawab Abde sembari memberikan kode-kode kepada Bagas yang sedang menikmati sate padang di kursi belakang. Tak lama kemudian ia meletakkan pinggan kecil yang masih berjajar tiga tusuk sate kemudian datang menghampiri kami yang memang duduk membentuk lingkaran, persis sekali seperti saat kami belajar bersama di pendopo-pendopo kampus.
            “Nih...” Bagas memberikan sepucuk undangan berwarna merah marun kepada kami bergantian sesuai nama yang tercetak di bagian plastik pembungkus.
            “Apaan nih? Siapa yang nikah?” tanya Vylia dengan tampang polos.
            “Hahay, sialan! Jadi gue yang terakhir nih? Baiklah!! Selamat ya, De... turut bersuka cita. Wah, pinter lu milih tanggal, gue nggak mesti bolak-balik Padang-Jakarta dua tiga kali! Lu memang paling bisa kalau buat orang kaget!” timpalku tanpa tedeng aling-aling. Di luar dugaan! Abde yang jika ditanya kapan akan menikah selalu menjawab “ah, nikah itu gampil! Ngapain dipikirin. Tinggal ngelaksanain doang kok heboh!”. Hahaha, benar-benar buat aku terperangah!
            “Lu janjian yak, De, sama Mika? Kok deketan gini hari nikahnya?” tanya Rya.
            “Nggak, gue malah nggak tahu awalnya Mika itu nikah tanggal empat belas. Gue nggak ikut-ikutan yak. Itu udah gue rencanakan matang-matang sama calon gue..” jelas Abde.
            “Heh, lu nikah tanggal dua puluh? Gila, nagrep banget menang banyak lu, De!” ucap Kiran singkat. Aku tak paham maksud perkataannya.
            “Hohooo, iya dong, jangan lupa giftnya ganda ya! Gue udah siapin ruang khusus kado dari lu semua, tinggal lu isi semau lu dah.. Hahaha!” tawanya membahana riang tanpa henti. Bahagia benar temanku yang satu ini. Wajar saja Abde terkekeh-kekeh, dia mengadakan pesta pernikahannya tepat di hari lahirnya! Wow! Benar ungkapnya tadi, pernikahannya sudah matang direncanakan.
            “Selamat ya, De, akhirnya lu bisa lepas dari ikatan si merah...” ledek Vylia membuat yang lain kembali tertawa.
            “Buset, udah lama banget gue nggak denger. Masih aja lu ya. Udah lampu itu, jangan dibahas lagi. Hehehe.”
            “Si merah lepas, lalu calon lu warnanya apa sekarang, De?” tanya Aisya mengundang rasa ingin tahu yang lain untuk mengetahui julukan calon Abde yang kelak akan dinikahinya. Ya, lebih kurang satu minggu lagi.
            “Hijau,” jawabnya singkat dengan muka dipaksa ganteng dan berwibawa.
            “Hahaha, calon bini lu tai kebo? Kasian amat lu! Nggak ada warna lain, De?” ledek Rya yang semakin menarik hati kami untuk menggali cerita si hijau.
            “Udah, Ry, biar aja, suka-suka dialah, mau ijo kek, merah kek, item gosong kaya badannye kek, yang penting dia ada yang ngurus ntar,” Kiran menambahi.
            “Iya, Ry, mendingan ijo, kalau kuning berarti si cantik adek lu dong..!” ledek Vylia semakin menjadi. Si kuning, julukan untuk teman sekelas kami yang seringkali tak tahu diri dan menyebalkan dan yang tentu merasa paling sempurna dan cantik. Hanya kata iya yang mampu menghentikan kenarsisannya. Hingga detik ini si cantik tak pernah mengerti atau mungkin pura-pura budeg bahwa efek kata iya itu tidak baik untuknya.
            “Turut bersuka cita ya, Abde.. dan lu Gy, gue turut berduka cita aja dah! Hahahah. Kawin woi, jangan kerja mulu! Getol amat jeng cari money... uang mah nggak bakal kemane, laki noh bakal kemane-mane. Inget perbandingan perempuan dan lelaki di bumi ini tuh 3:1, nah taon depan mungkin udah jadi 5:1, karena gue secara pribadi niat bikin anak perempuan dua ekor lagi! Abis enak sih..he,” cerocos Rya tanpa aral rintangan. Dan saatnya aku membalas.
            “Woi, santai kale. Perbandingannya emang gitu, tapi kan bisa dibuat jadi berbanding terbalik untuk teori berpasangan, satu perempuan untuk tiga lelaki! Hahaha. Jadi, jangan buru-buru. Lagian, kalau rejeki nggak bakal kemane, berarti lelaki juga nggak bakal kemane, iya kan..? Gue juga turut berduka cita deh buat calon-calon keponakan gue yang nanti lahir dari rahim emaknya yang cacat begini. Kesian mereka.. hahaha,” balasku tak kalah tengil.
            Penuh dua jam tak satu pun dari kami beranjak dari sisi kiri stage pelamina kedua pengantin. Seakan esok tak pernah datang, tempo singkat ini kami habiskan dengan tawa canda. Semua topik dilahap. Dari kisah perploncoan masuk kampus sebagai mahasiswa baru hingga topik mengasuh bayi pun campur baur bersama gelak yang tiada henti. Dan tentu, lagi-lagi dan lagi topik yang pastinya kerap buat pencernaanku mual, pernikahan. Hm, menyebalkan!
            “Abde minggu depan, trus lu kapan, Gy?” tanya Bagas tiba-tiba menyulap bibirku terkatup tanpa bahasa. Aeh, mengapa detik pertanyaan ini dilontarkan aku masih di sini??? Ah, bodoh kau Gyan!!! Aku mulai menarik napas panjang ketika semua wajah di sekelilingku memasang tampang penasaran. Seperti alien saja aku mereka pandangi begitu. “mau sampai kapan lu nyandang wanita lajang terus, Gy.. Ayolah, udah nggak sabar gue lihat calon lu, siapa sih?” tambahnya lagi.
            “Hm, kita lihat nanti aja ya... Belum ada pikiran buat nikah sama sekali gue”.
            “Buruan, tinggal lu sendiri nih.. Mumpung kita semua masih sehat wal’afiat, Gy.. Siapa ya laki-laki yang baik hatinya yang mau mempertaruhkan seumur hidupnya buat cewek jadi-jadian kaya lu gini.. hm..”
            Huff, benar-benar perbicaraan yang tak menyenangkan. Beruntung aku handal mengalihkan pembicaraan. Meski jelas tampak teman-temanku kesal melihat sikapku kali ini. Hanya sikap maklum yang masih mampu mereka tunjukkan ketika menyadari aku memang sedang tak ingin membahas hal membosankan itu. Selang dua puluh menit setelahnya, satu persatu dari kami pamit meninggalkan pesta. Tentu kami sudah menghabiskan bermenit-menit lamanya dengan berpose bersama pasangan pengantin. Aku dan Abde manusia yang terakhir berpamit pulang.
            “Langsung pulang, Gy?” tanya Abde saat langkah kami meninggalkan gedung tempat resepsi dilaksanakan.
            “Hm, nggak tahu dah. Gue pengin ketemu kak Arymbi, tapi tadi dia bilang lagi sibuk dan lagi nggak di kos. Mungkin langsung pulang. Lu sendiri?”
            “Arymbi nggak diundang, ya? Kok nggak kelihatan dari tadi?”
            “Diundang kok, katanya udah datang duluan, tapi nggak bisa lama-lama karena ada deadline di kantor, lu ngundang dia nggak di resepsi lu nanti?”
            “Udah gw send via email sama event via facebook. Mudahan sih dia nggak sok sibuk lagi. Udah lama gue nggak ketemu, pengin lihat setinggi apa tuh manusia sekarang. Lu dateng kan..?”. Hm, ternyata Arymbi sudah lebih dulu tahu kalau Abde akan menikah.
            “Gue datang, tapi lu janji ya ntar lu juga dateng di resepsi gue nanti,” kataku tenang tanpa ekspresi.
            “Halah, kapan? Paling masih tahun depan, masih lama! Apa ntar pas detik-detik dunia mau kiamat?? Hahaha.” sergahnya buatku tertawa.
            “Ah, sok tahu lu. Janji dulu lu semua datang, kapan pun acaranya. Nggak gue anggep temen lagi lu semua kalau nggak datang. Lu semua nikah gue tetep datang jauh-jauh dari Padang. Gantianlah. Ok!” gugatku tanpa basa-basi.
            “Iye. Ya elah, kaya besok aja lu mau nikah! Kapan memangnya?”
            “Kapan aje boleh,” ku jawab soalannya lagi-lagi tanpa ekspresi. Jawaban khas anak alay yang dulu kerap aku ucapkan ketika teman-teman meminta pendapatku untuk menentukaan pilihan apapun. Sebab kalimat itu pula sering aku membuat mulut yang lain spontan manyun bahkan memakiku sesuka hati.
***
            Tepat satu pekan ke depan kami menghadiri pesta pernikahan Abde. Wow, takdapat dipercaya Abde bisa berpenampilan layaknya lelaki dewasa. Sudah bukan rahasia di antara kami, teman-teman dekatnya saja terkait sifatnya yang kekanakan. Dulu, semasa kuliah ia sering sekali berprilaku aneh. Ia bisa tiba-tiba ngedumel dan sepanjang hari memasang rona wajah yang membuat semua orang malas berdekatan dengannya hanya karena wanita yang didambanya selama dua tahun. Kami juga kerap kompak memasang tampang jengkel ketika melihat hasil tes materi perkuliahannya yang kerap mendapat hasil tinggi (selalu). Padahal ia jarang terlihat bersusah payah untuk mengerti bahasan materi yang menjadi bahan tes. Sementara kami yang bodoh-bodoh ini sudah jungkir balik belajar di pojok-pojok selasar kampus untuk coba mampu menjawab soal-soal keramat dari dosen-dosen jenius kami. Dan, Abde hanya mondar-mandir dengan tampang malas-malasan. Memang lelaki cerdas dia. Tak satu pun dari kami yang meragukannya dalam hal perkuliahan. Selalu memahami materi dengan caranya sendiri yang praktis. Tanpa harus mengulang bagian-bagian kecil yang mungkin baginya itu semua hanya bagian yang sudah tak perlu dipertanyakan lagi kejelasan maknanya. Mubazir tempo pikirnya. Aku sadar betul terhadap pongahnya yang terkadang jemu dengan soalan-soalan kami ketika belajar bersama. Meski begitu, dia masih mau bersabar menemani kami untuk memberikan penjelasan materi dalam waktu panjang. Lelaki kecil yang sungguh baik hatinya, itulah Abde.
            Tak hanya Abde, Bagas pun begitu. Lelaki itu lebih open menjelaskan makna-makna yang sulit kami pahami. Satu per satu, detail. Persamaan mereka menurutku adalah, kecerdasan yang mengagumkan. Hanya proses pemahaman saja yang membedakan tipe kecerdasan mereka. Bagas tipe yang ulet juga giat dalam mencari tahu terkait bahan ajar yang ia tak mengerti. Sementara Abde, segala kebingungannya cukup dibiarkan menari-nari indah dalam bernasnya. Berputar-putar ke sana ke mari menuju tiap penjuru saraf dalam batok kepalanya. Mengangguk-angguk tanpa ada pertanyaan yang memerlukan jawaban iya atau tidak. Tanda kekusutan di kepalanya sudah menemukan ujung saraf untuk bermuara.
            Wajah sumringah Abde tak sanggup ia sembunyikan. Dan memang tak perlu disembunyikan sebab bahagia cukup menjadi satu alasan tepat atas senyum simpulnya hari ini. Sudah hampir genap satu jam kami berbincang-bincang. Aku pun memotong percakapan. Aku harus segera kembali ke rumah. Banyak hal yang aku harus kerjakan dan selesaikan mengingat waktuku yang sempit tersita tanpa percuma selama di Jakarta.
            “Temen-temen, gue pulang duluan, ya. Takut macet di jalan, ‘kan nggak lucu kalau gue ketinggalan pesawat,”
            “Haha, ngawur! Ternyata ada yang kebelet nikah juga, toh! Jangan gila, dong!” katanya buatku mengernyitkan kedua alis bermakan “apa sih lu, nggak jelas—nggak penting!”. Hahaha.
            “Lu pikir yang bisa buat surprise hanya lu doang? Maaf ya, saya lebih ahli untuk urusan membuat kejutan!” jawabku sambil melangkah tinggalkan ruang resepsi setelah berpamitan dengan kedua mempelai dan teman lain. Belum tuntas aku menyelesaikan langkah hingga ujung pintu keluar terdengar teriakan lantang dari si mempelai pria. Hooh??? Sinting!
            “Gy, emang apa surprisenya?” teriak Abde tanpa urat malu! Seluruh mata manusia dan bianatang pun sontak terkejut dengan tindakannya. Dapat diperkirakan harkat, martabat, dan harga dirinya semakin turun. Dan dapat diduga jika ia mengulangi, harga dirinya lantas akan dilelang seketika! Dan benarlah... “woi! Jangan nyelonong aja lu! Apa sih? Apa jangan-jangan yang sempat kita bahas kemaren?” kata Abde semakin dengan nada tinggi. Benar gila ini manusia! Di mana malumu Abde??? Aku yang ditujukan soalan hanya tersenyum sambil memandangi sekeliling. SHIT! Pasti orang-orang berpikir aneh terhadapku. Wajah mereka seakan tertulis, siapa sih ini cewek, ada hubungan apa dengan Abde, ada hal penting apa antara mereka. Hah! Aneh-aneh saja kau Item!!! “Gy, lu lagi budeg apa bego nggak ngerti pertanyaan gw? tanyanya lagi. Dan lagi-lagi aku hanya diam—senyum---senyum semakin lebar—dan kabur! Huff! Pesta pernikahan yang aneh! Mempelai pria yang aneh! Para undangan yang aneh! Dan, saya manusia aneh! Oh, God. How could this happen to me?!
*****
            Ini sabtu sore. Malam kemarin aku tiba di Padang Panjang. Melelahkan! Menyenangkan! Ini malam Bara akan bertandang. Tak sabar rasanya. Rasa? Rasa apa? Hm, aku tak yakin. Tak tahu pasti. Pasti tak tahu aku. Huff. Yang tentu aku harus berkonsentrasi tingkat langit ke tujuh untuk menjawab soalan darinya.
Kamu belum yakin dan belum siap untuk menikah atau kamu belum yakin dan belum siap untuk menikah dengan aku?
            Damn! Gila, kata-kata Bara benar-benar jadi mantra kutukan! Bara sinting! Bara goblok! Bara, kamu pikir aku ini apa? Didesak semau hatimu! Ah, tak mungkin aku mengatakan itu. Justru aku yang gila jika melakukan itu bukan dia.
            The best thing bout tonight that.., dering sms dari handphoneku berkumandang. Pesan dari Bara..
            Kamu di rumah kan, Gy? Aku bentar lagi nyampe. Jangan lupa siapkan oleh-olehnya. Oya, aku rindu kamu. *sigh* hahaha. Nanti kalo aku sampe, langsung peluk aku yak! *mupeng*
            “Sinting!” teriakku kecil.
            “Siapa Gy yang sinting?” tanya Ibuku dari ruang tamu. Ah, punya rumah kecil kadang menyebalkan. Kata-kata bahkan pembicaraan yang tidak untuk dikonsumsi publik pasti terdengar dengan baik. Bahkan sangat baik terkadang.
            “Ah, nggak itu si Bara nodong aku oleh-oleh yang banyak.. emang dia pikir aku toko suvenir! Edan.” Jawabku suka-suka.
            “Wajarlah, kan kamu baru pulang holiday, pasti dia mikir kamu belanja-belanja. Jangan pelit-pelit ke pacar.”kata-kata Ibuku buatku semakin mengernyitkan alis sekuat mungkin. Holiday? Belanja? Pelit? Pacar? Apalagi ini semua?
            “Bukan pelit, Ma, emang aku nggak belanja-belanja apalagi buat dia. Iseng. Gajinya kan lebih banyak daripada gajiku. Lagian, waktu aku berangkat kan dia nggak ngater. Jadi, bodo amatan. Cari sono oleh-oleh ke Bukit Tinggi! Hahaha.”
            “Kamu ini apa-apaan sih. Ngakumu nggak pelit tapi perhitungan begitu. Pake bawa-bawa gaji lagi. Ih, amit-amit. Trus dendaman gitu. Lagian emang kamu tahu kenapa dia nggak ngater kamu kemaren? Nggak kan!? Sok tau sih. Makanya komunikasi. Kaya bapak sama mama dong, intensif.” Bela Ibuku untuk anak emasnya itu. Heran!
            “Iya..iya.. aku ngerti. Trus, emang kenapa dia nggak nganter aku? Emang, mama tau?”tanyaku penasaran. Sedikit.
            “Lah, kok tanya aku. Tanya sendiri sama pacarmu. Aku ini mamamu. Bukan pacarmu. Piye toh..” heh? Ada apa dengan ibuku? Semakin aneh saja. Cukup bapak dan dua saudaraku saja yang aneh. Apa jangan-jangan Bara juga ikut aneh nanti ketika bertemu aku...
            “Spada.... Gyas.... maen yok...!” suara Bara terdengar riang. Maksudku kekanak-kanakan tepatnya. Benar firasatku. Semua jadi tiba-tiba aneh sejak kepergianku.
            “Assalamu’alaikum, mas Bara. Kapan pindah agama jadi ateis? Nggak bisa ya ngucap salam kalau bertamu?”jawabku sinis.
            “Wedew, serem euy.. Hehe, iya, assalamu’alaikum bidadariku yang...”kata-katanya terhenti.
            “Yang apa??”
            “Yang maha jutek! Hahaha”
            “Jayus lu. Balik sono. Tak sudi!”cibirku puas.
            “Loh, loh, kok gitu. Kasian bu, belom makan dari pagi... kalo yang ini beneran. Aku belom makan dari kemaren malah! Serius.”mukanya memelas.
            “Kamu pikir aku percaya. Gombalmu itu loh, eneg aku. Masuk!” kupersilakan ia duduk di ruang tamu. Seperti biasa ia menungguku membawa cawan berisi sirup dingin seadanya. Belum selesai aku melangkahkan kaki untuk hitungan ke-tiga ia sudah mengagetkanku dengan senyumnya yang lebar dan dipaksa manis itu sambil menyuapkan nasi yang entah sudah suapan yang ke-berapa.
            “Kamu belum makan?”tanyaku.
            “Kamu itu, pulang dari Jakarta kenapa jadi budeg dan o’on begini. Aku tadi sudah bilang, aku belum makan dari kemarin malam. Bukannya ditawari makan malah disemprot! Duduk sini, temenin aku.”ditariknya tanganku mengajak duduk di sebelahnya persis.
            “Yang nyuruh kamu nggak makan siapa? Bego.”jawabku tolol. Padahall sudah jelas tampak wajah Bara begitu lesu. Aku khawatir. Hm, sayangku...
            “Tuh, kan mulai deh. Gy, sesungguhnya, tak ada manusia yang tak mau melewatkan waktu makannya dengan hal yang nggak penting. Tapi sayang beribu sayang, Bara, pacarmu yang baek dan ganteng ini sibuk banget sampe nggak sempet makan.”jawabnya perlahan dengan sok wibawa membuatku mual. Semakin aneh saja kau, Bara.
            “Emang sibuk ngapain sih. Wong selama ini kamu makan gaji buta..”
            “Wedeeeh, kamu tuh ya, kalau ngomong suka nggak mikir. Otakmu masih di kepala nggak sih?”
            “Heh, kamu tuh yang nggak mikir. Sopan dong kalau ngomong. Bawa-bawa otak lagi.. Dasar nggak punya otak!” Ops, aku salah. Maaf, Bara.. kata-kataku buat kami langsung terdiam serentak. Menghening bergeming. “Ulet, aku mau kita nikah sabtu depan. Tanggal 28 november 2015! Sabtu pekan depan! Nggak ada tawar-menawar, minta-meminta, apalagi negosiasi! Kalau mau, lamar aku malam ini. Kalau nggak, abis makan kamu pulang!” kalimatku selesai! Terdengar suara batuk yang tak bernada dari mulut Bara. Hahaha, aku tahu kau pasti tersedak mendengar semua ini.
            “Kamu sinting apa gila? Ini anak stres kali yak! Kamu ngapain sih di Jakarta? Kamu cerita apa ke temen-temenmu sampai kamu ngomong begitu? Pasti mereka bilang kamu jahat ya karena nganggurin aku dua taon lebih! Emang sih! Makanya kalau jadi pacar tuh peka dong.” Jawabnya kacau.
            “Mau apa enggak? Aku nggak bakalan pake toleransi untuk masalah ini sekarang. Ayo, jawab,” paksaku.
            “Dih, amit-amit dah... Yang kaya ini nanti jadi istriku? Duh, Gusti, mimpi opo aku semalam.”
            “MAU APA ENGGAK, BARA ARYANDHIKA?” kataku dengan nada tinggi.
            “Nggak ah, aku maunya dilamar kaya di pilem kupinang kau dengan bismillah, ayo coba lamar aku kaya Amar minang Nirvana. Ayoooo! Aku mau denger,” rengek Bara terdengar menjijikan.
            “Are you mad? Kamu kalau nggak mau juga nggak apa. Tapi cuci piring itu trus pulang sono! Heran, dikasih ati minta jantung!”ketusku.
            “Yey, ngapain minta jantung, kecil itu, aku minta paha atas, ayey!! Hahahaha..” kata Bara semakin menjijikkan!
            “Kamu pikir aku main-main? Ok. Finish!” kataku enteng.
            “Ok. Finish.” Ia pun beranjak dari kursi dan meja makan. Mencuci piring sesuai intruksiku sebelum keadaan jadi kaku. Diminumnya air sirup yang tadi kubuatkan untuknya. “Mana mama dan bapakmu, aku mau pamit,” tanyanya dengan tampang dingin.
            “Eh, mama sama bapak kayanya di dapur kue, kok buru-buru?” tanyaku iseng penuh ketakutan. Menerka-terka, apa benar Bara tidak menginginkanku. Dan, ini pertemuan terakhir kami. Ah, bodoh kau, Gyas! “Ma, Pak, Bara mau pamit,” kataku setiba di hadapan Ibu dan Bapakku yang sedang memaket kue bersama.
            “Halah, tumben, biasane nyelonong ae wis mangan, le... Mau ke mana kalian? Loh, Gyas kamu nggak ganti baju, malu-maluin mama banget sih kamu, gembel gitu.. ganti sana.”
            “Nggak kok, Ma, emang Gyas sama Bara nggak mau ke mana-mana. Dia mau pulang. Nggak ada rencana pergi kok..” jawabku lirih. Semua jadi tak enak diucap.
            “Iya, Bu, aku mau langgsung pulang. Gyas ngusir aku.” What! Waduh, Bara benar-benar kesal. Matilah aku, Tuhan!
            “Kamu apa-apaan sih. Pacar kok pake diusir. Apa karena dia makan nggak bilang kamu, tadi itu Mama yang nyuruh dia makan. Dia itu udah kecape’an. Kamu tau nggak selama kamu di Jakarta dia sibuk bantu jagain anak-anak cewek IPDN yang kerasukan setan di asrama cewek. Itu lebih capek loh daripada kerja di kantor. Ngertiin pacarmu dong...” jelas Ibuku.. Oh, jadi itu mengapa dia tak menghubungi aku sewaktu di Jakarta. Hm, kumaafkan Bara. Heh? Bicara apa kau Gyas! Sekarang posisimu terancam. Bukan Bara!
            “Nggak apa-apa, Bu. Lagian, aku bukan pacarnya Gyas lagi kok,” ucapnya pada Ibu Bapakku buatku terbelalak! What the fuck?? Spontan Ibu juga Bapakku terkejut. Pegawai-pegawai ibuku pun terkejut. Kakakku terkejut. Adikku terkejut. Anak tetanggu yang dipangku Bapakku pun terkejut. Bahkan kucing pun terkejut. Dan tak kalah peran, aku pun terkejut!!! Aku terdiam, kali ini aku mengikuti lakon rumput-rumput di halaman rumah. Diam.
            “Gyas! Ada apa sih dengan kalian? Mbok yo kalau ada masalah bicara baik-baik. Kenapa? Apa musti mama karo bapakmu ini ikut campur. Mama pikir kalian udah mampu ngadepi masalah dengan bijak..” nasihat Ibu. “Aku tanya sekali lagi, benar kalian sudah tidak pacaran lagi?” tanya Ibu selidik.
            “Iya,” jawab kami serentak. Aku semakin gila rasanya. Mengapa ku iyakan pertanyaan Ibuku?? Ah, Gyas, kali ini kau benar-benar mati! Hilanglah kesempatan kau menjadi pengantin minggu depan. Hilanglah kesempatan kau punya anak dengan ayah bernama Bara Aryandhika. Hilang! Gagal! Tanpa sadar aku menangis. Dan satu hal yang paling tak suka jika airmata sudah mengalir dari mataku. Pastilah aku menangis penuh isak yang tersedu-sedu. “Mamamu masih hidupnya ini, Gyas!” kata Ibuku setiap mendengar atau melihatku menangis.
            “Iya, Bu—pak aku bukan pacar Gyas lagi. Aku calon suami Wigyas Gendari Armala.” Ucap Bara dari nada rendah meninggi. HUH! Kami diperdaya satu keluarga.
            “Oalah, kupikir kalian putus! Kenapa nggak bilang dari tadi sih, le...” kata Ibuku lega.
            “Abis aku masih kaget Gyas ngelamar aku tiba-tiba...”
            “Apa..? Gyas ngelamar kamu? Kok kebalek yo?” tanya Bapakku polos.
            “Siapa bilang aku ngelamar?! Kamu jangan asal ya kalau ngomong. Aku tadi itu bilang gini, Ulet, aku mau kita nikah sabtu depan. Tanggal 28 november 2015! Sabtu pekan depan! Nggak ada tawar-menawar, minta-meminta, apalagi negosiasi! Kalau mau, lamar aku malam ini. Kalau nggak, abis makan kamu pulang! Ayo, Ma, Pak, sebelah mana kalimat ngelamarnya??” jawabku ketus.
            “Itu lebih aneh daripada ngelamar, Gy.. ngelamar itu, misal nih, Bara, maukah kamu menikah denganku? Gitu, Gy.. bodoh benar kau ini..” sambar adikku seenaknya.
            “Pinteran adekmu, Gy. Udah cocok tuh, Pak dikasih calon. Hahaha” timpal Bara lebih aneh.
            “Heh, ngapain kamu ketawa-ketiwi? Pulang sono. Waktu kamu habis. Kamu kan nggak jawab soalanku. Jadi aku anggap kamu nggak mau nikah! Dan semua selesai. Kamu sendiri kan yang bilang finish, helooow. Lupa ingatan, Mas?”
            “Oh, kamu serius dengan kata-katamu? Ok. Fine. Aku pulang. Permisi Ma, Pak, semuanya, Saya pamit.. Assalamu’alaikum..” kata Bara tanpa emosi. Datar. Tunggu. Kali ini dia acting atau sungguh-sungguh...?
            “Kamu beneran mau pulang, le..” tanya Ibuku.
            “Ya iyalah, Bu. Ngapain lagi aku di sini...” lirih suara Bara. Ibu yang mendengar langsung menyubit lenganku kuat. Kode-kode untuk membujuk Bara untuk tetap tinggal sebelum semua masalah membaik. Dan, aku menurut saja kali ini.
            “Heh, kamu beneran mau pulang?” tanyaku.
            “Hah heh hah heh, kamu pikir aku nggak punya nama?” jawabnya ketus. Wow, sebulan ini aku puas mendapat sikap sinisnya. Sabar, Gyas.. ayo, coba lagi. Semangat.
            “Ok.. Bara, kamu beneran mau pulang, hm..?” tanyaku dengan nada dibuat lembut.
            “Iya aku mau pulang. Kamu pikir ngapain lagi aku di sini?” jawabnya buatku kesal. Dan aku menangis karena kesal. Hei, Bara Aryandhika, aku tahu aku banyak salah dan senang mencari salah juga senang membuat kesal dirimu. Tapi, tidakkah semua yang kukatakan tadi adalah inginmu selama ini? Mengapa pula ketika aku genapkan tekad untuk menerima dirimu sebagai suami dan teman seumur hidupku lantas kau empaskan cita ini?
            “Kamu serius..?”
            “Iya aku serius. Kenapa? Memang aku nggak boleh pulang ke rumah buat nyampein ke Ibu Bapak juga keluargaku malam ini harus ngelamar kamu? Trus nyiapin segala keperluan buat nanti resepsi pernikahan kita sesuai mau kamu yang dadakan nggak pake mikir gitu?! Ayu ayu kok gendeng toh, Bu..Bu.. anakmu kui... heran aku! Wis aku rep mulih! Samlikum. Oya, dandan yang cantik biar Ibu Bapakku nggak malu punya calon mantu kaya kamu ini. Udah galak, bloon, aneh lagi. Semuanya, saya pulang ya.. Assalamu’alaikum. Jangan kangen, bentar lagi juga balik. Hahaha.” Semua yang ada di sana sekali lagi terperangah berkat lakon busuk pacarku yang gila itu! Eh, maksudku calon suamiku.
Masa itu datang rupanya. Tiada lawang coba menutup segala. Tiada argumen untuk mengandaskan cita. Tiada cita yang terhenti. Karena soalan terungkap jawab. Ketika pesan sudah ditangkap. Kini biarlah merpati mengemban tugas tetangga. Sebab hati riuh asmara. Sebab resah padam dan mengering.
Memang benar kata orang-orang. Segala yang tak direncakan lebih baik dan menggembirakan ketika melewatinya. Aku dan Bara, kami menikah di waktu yang sudah aku tetapkan sesuka hatiku—tanpa rencana yang dibicarakan bersama, hanya berkat panggilan hati dan kesemrawutan jiwa juga bernasku. Kami menikah di kediamanku sedari aku kecil. Semua kaum duafa datang ke resepsi kami. Tentunya mereka berbekal kalimat-kalimat ajaib untuk mengata-kataiku sepuasnya. Tiba-tiba saja, rumah terasa menjadi kampus. Keluargaku, sahabatku, suamiku, jangan pernah lelah menunjukkan salah dan membantuku memperbaiki segala yang buruk. Maaf pula terima kasih untuk kalian.

                                                                                        SELESAI

No comments: