October 16, 2011

The Switch! Part 1

The Switch!

Dan, apakah masa itu tiada akan pernah datang?
Seakan air pada api.
Benci pagari segala lawang untuk jatuh lebih dalam.
Dan, apakah masa itu akan datang?
Entah di waktu dan tempat yang layaknya absurd tak nyata.
Adakah aku menanti?
Apakah aku menanti?
Mungkin ya. Mungkin juga tidak.
Penantian kian permainkan jiwa bagai burung kertas dalam kapal layar tak bernahkoda.
Sekoci pun habis terpakai sayang.
Butuhkah aku pada penyelamat?
Mungkin ya. Mungkin tidak.

Ini pagi, tepatnya pukul 00.23 am.
Aku tersadar akan dering panggilan yang pekakkan indera pendengarku.
Panggilan teman sebaya rupanya.

            “Woi! Lama amat ngangkatnya? Udah mimpi ke mane aje, neng?” sapa yang di seberang. Tak perlu melihat nama si penelpon aku cukup tahu si pemilik suara cempreng yang membangunkanku dini hari tanpa basa basi ini. “Woi! Bangun woi! Buset! Udah pagi kale!” tambah si empunya suara di seberang.
            “Hm, lu aja sono yang bangun, gw ogah. Ngapain sih nelpon jam segini? Anak lu rewel lagi? Ajak nonton DVD Sadako aja..” tanggapku sesuka hati. Maklum, nyawaku belum mengumpul sepenuhnya.
            “Waduh! Ngigau lu, neng, gue disuruh ngempani anak sama Sadako! Lu aja jadi Sadako, anak gue pasti ketawa mulu nontonnye! Oi, ini gue, Rya!” Astagfirullah, hari apa sih ini, kok rasanya sial banget, pagi-pagi udah denger orang terriak-teriak! “Gy, udah sadar belum sih? Ampun dah! Bangun ah, masa makin tua makin males,” tambah Rya. He? Bicara apa dia? “Selamat ulang tahun ya, kecil! Joyeux anniversaire ma petite! Je souhaite que tout sera bien pour  toi, petite!” Celotehnya kini buat aku benar sadar dari tidurku yang hanya terhitung tak lebih dari dua jam. Ulang tahun? Anniversaire? Siapa? Aku?
            “Emang siapa yang ulang tahun, Ya?”
            “Hadoooh, tepok jidad gw! Lu lupa hari ulang tahun lu sendiri? Ampun deh...”
            “Emang ini tanggal lima november, Ya? Hm, nggak inget gue. Makasih ya, Rya sayang... Mana kado buat gue?” jawabku nyeleneh. Sungguh, tak sama sekali aku ingat hari lahirku. Apa yang kupikirkan pun aku tak paham. “Eh, lu kapan punya anak?” tanyaku melanjutkan percakapan.
            “Nggak tahu gue, sekarang sih udah ngisi..”
            “Isi ape? Mahkluk apa duren??? Hahaha.”
“Astapiloh, itu mulut cakep banget sini saya dandanin biar menor! Parah lu mah. Kata-katanya kiamat beud dah ah. Isi jabang baibehlah neng.. Udah masuk 5 bulan kok. Kenapa, nggak sabar gitu, sama sih gue juga nggak sabar mau bikin yang ke-tiga. Hehe.”
“Najong! Doyang gitu lu. Amit-amit dah! Asyik nih bakal gendong baby bau lagi! Wah, aku jadi punya banyak ponakan! Mudahan anak lu nggak sejorok dan secacat lu ya, Ya. Hahaha”. Tawa kami membahana di line yang menghubungkan aku yang kini berada di Padang Panjang dan Rya yang masih betah di Bekasi, kota kelahirannya.
“Iya, udah nggak sabar gue nimang bayi. Si Babi juga udah sewot terus pengin tau kapan keluar anaknya, hahaha,” tawa renyah lagi-lagi mengisi sepinya pagi yang giat telusuri kehadiran metari. Babi, nama panggilan yang lekat untuk suami tercintanya. Lama cukup mereka jalin pertalian kasih. Dari usia belia yang kalau kata orang tua masih bau kencur hingga sebelas bulan lalu mereka melepas masa lajang. Tepatnya empat bulan setelah Rya berhasil mengangkat topi sarjananya dan memboyong titel S. Pd untuk jurusan Bahasa Prancis di salah satu PTN di Jakarta. “Lu ndiri kapan punya anak? Eh, maksuud gue kapan nikah gitu.. Jangan lama-lama lu, ntar kaya kak Ary. Buset, ogah dah gue jadi perawan tua! Hayo, kapan lu? Apa lagi sih yang ditunggu? Kerja udah. Tanggungan nggak ada. Laki ada. Apa lagi sih...?” Soal demi soal yang meluncur dari bibir Rya seakan terjun bebas menukik tajam dalam otakku. Menikah? Oh, no!
“Masih belum kepikiran, Ya. Sendiri lebih nikmat. Kalau pun gue bakal nikah, gue mau semua benar-benar matang. Nggak mau terburu-buru. Memang sih, gue udah mapan, kerjaan udah menjamin masa depan, tapi laki-lakinya itu loh, Ya..” jelasku singkat.
“Kenapa lagi dengan lelaki? Memangnya pacar lu belum mapan? Udah kan?”
“Iya, tapi...” kata-kataku mulai tersendat di tenggorokan. Udara seakan berlomba masuk ke paru-paru dengan kecepatan tak terkendali. Alhasil, diam aku sejenak. Entah berpikir apa.
“Apa lagi? Jangan bilang lu masih sayang sama si beruk item dekil berengosan kaya napi itu? Aduh, Gyas, hari gini. Udah laki orang, woi...” timpal Rya semaunya. Aku hanya berpikir, apa mungkin karena dia. Dia yang dulu pernah aku limpahkan rasa terdalamku. Sangat dalam. Teramat dalam, kegilaan menjadi sahabat karibku selepas perpisahan kami empat tahun silam. Bodoh memang aku. Terlalu percaya lidah lelaki. Terlebih lelaki jalang tiada kepalang seperti dia. Tak banyak hal kami lewati bersama. Dia lelaki yang kerap sibuk dengan aktifitasnya sendiri. Prinsip kami pun jauh berbeda. Meski tak jarang aku mengalah demi hubungan berjalan baik. Petaka memang tak mudah dielakkan. Terbilang enam bulan dari awal kesepakatan kami pun bubar. Akhir kisah pun kurasa agak didramatisir. Terlalu banyak bualan. Padahal, sayang sungguh aku padanya. Sial, nasib tak berjalan sesuai kehendakku. Ya, kehendakku. Bukan dia. Karena memang dia tak ingin melanjutkan kisah kasihnya denganku kala itu. Huh, Orin, mulutmu memang hebat! “Hei, kok diem? Kenapa lu, kesurupan? Baca-baca Gy.. Hehehe. Udahlah, Orin itu lampau. Ceilah..apa seh gue. Pokoknye, yang kemarin jangan diingat. Buang waktu!” tukas Rya menasihatiku.
“Iya, Rya sayang. Enggak kok, bukan karena dia. Udah lama juga gue nggak mikirin dia. Gue hanya berpikir, apa gue harus nikah sama Bara. Itu aja kok.”
“Maksud lu apa sih? Gue nggak nyambung nih, signal otak gue lagi lemot. Coba diperjelas, gue nggak paham kalimat lu yang barusan.”
“Maksud gue, apa bener Bara yang bakal jadi suami dan bapak dari anak-anak gue nanti. Gue ragu. Gue nggak yakin. Inget, bukan karena bayang-bayang Orin”.
“Kok lu bisa nggak yakin? Lu kan udah dua tahun jalan sama dia. Memangnya hal apa yang buat lu jadi nggak yakin sama Bara, Gy?”
“Entahlah, gue juga nggak paham isi hati dan pikiran gue sendiri. Dia layak, tapi juga nggak pantes. Ah, bingung gue jelasinnya. Dia terlalu baik dan memenuhi syaratlah untuk dijadikan suami. Tapi, berkat kebaikannya itu gue nggak yakin dia bisa terima gue yang berpikir begini,” kalimatku keluar tanpa kontrol. Mungkin memang ini yang aku rasa kini. Entahlah, aku benar tak bisa mengendalikan diri jika bicara pernikahan. Hanya jantung yang berperan pasti. Detaknya yang semrawut mewakili bernasku yang menggila. “Intinya, gue belum kepikiran nikah, gue takut, gue nggak siap. That’s all.”
“Tapi lu nggak niat cari pengganti kan? Atau lu jangan-jangan niat nunggu dudanya Orin. Weleh. Nekat bener lu. Menurut gue, jalani aja dulu. Kalau jodoh nggak lari kemane! Hahaha!” Jeder! Kalimat yang paling malas aku dengar dari mulut siapa pun yang mengatakannya. Ah, pembicaraan yang menjemukan. Bosan aku dengan soalan kehidupan. Tak pernah ada habisnya. Cobalah kalian runut. Pernahkah orang di sekitar kalian lelah bertanya dan usil akan jalan hidup kalian? Tidak, tentu. Saat lulus SD, soal pertama, mau masuk SMP mana? Selulus kalian dari bangku menengah pertama, soal berlanjut lagi, kamu pilih SMA mana? Yup, pastinya setelah selesai masa menengah, soal berikutnya adalah, kamu kuliah di mana—ambil jurusan apa? Dan, empat atau lima tahun kemudian, soalnya tak lain tak bukan, sudah wisuda, kamu kerja di mana? Oh my GOD! Serangkaian pertanyaan yang memuakkan! Tiba-tiba aku bagaikan salah satu pelaku penggelapan uang negara yang diburu tor-tor para jurnalis haus berita. Basa basi BUSUK! Tentunya soal-soal maut itu tak berhenti di perihal kerja. Jika pekerjaan sudah didapat, soal selanjutnya pasti, tak mungkin tiba-tiba muncul pertanyaan lain yakni, kapan kamu menikah? What the hell are you thinking about, jerk! Kemudian, kapan momong bayinya..? Jika otakku mulai panas dengan basa basi busuk sejenis itu, aku dengan wajah yang dipaksa manis menjawab, sekalian saja tanya, kapan kamu mati?! Hupf, melelahkan. Soalan-soalan yang tak terjawab dengan kata melainkan fakta lahiriah. Dan itu tak gampang bagiku dan sejumlah orang di luar sana. Men-jeng-kel-kan!
“Wow, gila aja gue nunggu dudanya. Nggak penting banget. Masih banyak yang lajang walau belum tentu perjaka, ngapain sama duda kalau bukan takdir. Stres. Maka dari itu, gue coba jalani apa adanya aja sama Bara. Memang sih, udah beberapa kali dia minta gue putuskan kapan bakal nikah. Tapi, selalu jawab, jangan dibahas ya, masih jauh. Hahaha. Kasian juga kadang-kadang lihat mukanya yang manyun seharian tiap denger jawaban gue. Terserahlah, yang jelas gue belum siap!” tegasku yang mungkin memang tak yakin akan hubungan dengan pasanganku kini, Bara. Terhitung empat kali ia mengajakku menikah, dan aku hanya melempar senyum tanpa keputusan terbaik yang ingin didengar dari indera pendengarnya sendiri dan terucap dari mulutku sendiri. Tujuh bulan lalu ia melamarku. Ibu—bapakku sayang akannya. Teramat kasihnya, jika pertengkaran mulai warnai hubungan kami, justru aku yang menjadi sasaran omelan orang tua dan keluargaku. Tak sayang pasanganlah, egoislah, keras kepalalah, ah macam-macam. Bara memang handal mengambil hati keluargaku. Ia juga tak segan turun tangan jika di rumah sibuk dengan pesanan kripik yang memang sudah sedari kecil menjadi usaha keluargaku di Padang. Kerap pula membincing oleh-oleh khas daerah kelahirannya, Makassar. Aku tahu betul, bukan sogokan dan bukan sedang mencari muka ia lakoni itu semua. Toh, baik sudah menjadi sifatnya dari kecil. Itu yang aku tahu dari sejawatnya ketika aku pelesir ke tanah tempat ia dibesarkan oleh seorang ibu jelita. Setidaknya ketika kami berjumpa pun itikad baik aku temukan dalam dirinya. Terlalu baik ia bagiku. Kekurangannya cuma satu, mudah dibodohi siapapun termasuk aku kekasihnya.
“Ya sudah, jalani baik-baik. Mulai bicarakan pelan-pelan, nggak baik juga Gy kalau kelamaan. Lu kan udah dewasa, harusnya hal seperti itu lu pertimbangkan dari sekarang. Pikirlah, sampai kapan lu mau jawab, jangan dibahas ya, masih jauh, huh, kalau Bara cintanya kontrak mati sih lu santai aja, suka-suka lu mau bilang kapan siapnya. Kalau Bara jenuh dengan sikap lu yang begitu, gawat ceritanya. Sudah bukan masanya cari-cari pacar. Lagian, ngapain lu jalani hubungan sama dia sampai bertahun-tahun kalau nggak jelas juntrumannya? Iya kan...”
“Betul! Hahaha,” tawaku membuncah setelah membenarkan kata-kata ajaib yang diucapkan Rya. Tak acap otaknya bisa berpikir sehat. “Tumben lu bener ngomongnya, nurut deh gw sama yang lebih berpengalaman..hahaha!” Lagi-lagi aku tertawa lepas.
“Gue lagi kesambet roh nenek gue nih kayanya. Hahaha. Ya udah, good luck, good day, good good good! Hahaha. Apa pun yang lu jalani, gue selalu dukung sepenuh hati. Happy birthday ya, Kecil.. Kalau gue ada rejeki, insya allah gue ke Padang, gue kenalin deh keturunan kedua gue ntar. Ok. Dah ya..samlikum..” pamit Rya tanpa menunggu jawabku dari seberang pulau.
Semoga tak ada hal buruk menimpa temanku ini, Tuhan. Ya, teman-temanku. Karib di masa perkuliahan ketika aku masih di Jakarta. Ryanda, Vylia, Mika, Aisya, Kinar, Abde, dan Bagas. Rya sosok yang paling konyol menurutku. Tak ada hari tanpa tertawa terbahak-bahak. Bahkan ketika musibah di depan mata.
***
            Percakapan intim semalam tak mampu buat aku tak terlelap lagi. Sudah dua tahun rupanya. Bagaimana kabar teman senasibku yang lain. Baikkah kalian? Seperti biasa, aku selalu senang bergelut dengan hangat mentari yang mengintip masuk dari celah jendela kamarku. Menyegarkan. Menyejukkan. Menghangatkan. Menenangkan. Dengan mata masih terpejam, aku coba meraba-raba sekeliling ranjang. Coba temukan keberadaan ponsel yang entah aku letakkan di mana semalam setelah menerima panggilan dari Rya. Hap, dapat! Dengan enggan bangun dari ranjang. Jemariku mulai lihai menekan tuts-tuts dari keypad ponsel. Selang beberapa detik, ku temukan banyak panggilan tak terjawab dan pesan singkat. Bara, 34 kali panggilan tak terjawab. Hahaha, maaf sayang, aku mengantuk sekali semalam. Mika, Vylia, Aisya, Kak Arymbi dan argh, siapa sajalah. Seakan semua nama yang terdaftar di dalam sim card handphoneku hari ini ingin bicara semua padaku. Banyak sekali, pikirku. Oh iya, ini masih hari kebesaranku. Pastilah, pesan yang berjejer ke bawah ini berisi ucapan selamat dari sejawatku.
Pesan pertama datang dari Vylia.
Gyaaaaaaas, hepi born day yah, selamat untuk semua. Pokoknya yang baek-baek buat lu deh! Gue tunggu undangannya. Hehehe. Hayo, tinggal lu sama Abde nih yang belum tuntas. Ayolah, rasakan nikmatnya tabungan akhir zaman. He. Miss you! Muach!
Pesan ke-dua datang dari Abde.
Hoi, bangun! Bawa kue tart lu ke jakarta! Gw tunggu sekarang! Hohoho. Met milad ya, Gy. Sukses buat lu. Doakan gw juga ya, biar g utang budi! Fufufu. Cepet nikah, udah gaek tuh umur!! Duluan sana, ntar gw nyusul, biar menang banyak. Hahaha.
            Pesan ke-tiga datang dari Mika.
            Oi, piak! Selamat ulang tahun! Ma kadonyo? Hehe. Indak taragak kau samo awak? Betah bana kau di kampuang, Gy..? Baa kaba apak samo amak kau? Jan lupo minggu depan datang. Aden tungguan oleh-olehnyo. Perkedel jagung! Capeklah kau baralek, Gy. Kalah kau samo awak. Hahaha.
            Pesan ke-empat datang dari Bara.
            Kamu tidur? Aku hubungi kenapa nggak diangkat? Capek ah, aku tidur juga deh..
            Pesan ke-empat datang dari Bagas.
            Gy, otanjoubi omedetou yah... Semoga lu dan keluarga selalu disayang Allah. Amin. Jangan minta kado ya gue sibuk nggak sempat beli kado. Asisten gue juga lagi tugas luar kota. Hahaha. Kapan nih ke Jakarta. Nikahan Mika dateng nggak? Hayo, duluan siapa nih, lu apa Abde. Pokoknya kalo lu yang terakhir, pestanya kudu gede-gedean! Kan modalnya banyak! Hehe.
            Pesan ke-lima datang dari Aisya.
            Hei, joyeux anniversaire ma petite! Wish you all the best and get a lucky life. Aku kangeeeeeen. Ada kado nih buat lu, tapi ambil sendiri ya ke Jakarta. Hihihi. Miss you, Petite!
            Pesan ke-enam datang dari Arymbi.
            Selamat kurang tahun, Gyas. How’s your day? Ga ke Jakarta? Kan lagi libur panjang.. ke sinilah, banyak yg kangen lu nih. I’ve a gift for you. Tadinya gw rencana ke Padang minggu ini, tapi cancel mendadak ada deadline yang ga bs ditinggal. Lu aja yang jemput kadonya ya, sekalian liburanlah. Si Mika juga kan bentar lagi nikah, dtg bareng ya. Ok. Sukses ya, Kurus.. ^ ^
            Pesan ke-tujuh datang dari Kiran.
            Keciiiiiiiiil, selamat ulang tahun semoga panjang umur yaaaa! Wah, kangen banget gw. Ke Jakarta dong, kita reunian.. hehehe.
            Dan semua pesan berikutnya bernada serupa. Ucapan selamat ulang tahun. Tak terkecuali Bara. Kasihan sekali ia, gumamku. Maaf, bukannya aku tak mau mengangkat. Aku memang memasang headset sekencang-kencangnya semalam setelah menutup panggilan dari Rya. Maaf ku juga tak teruntuk dirimu saja. Lagi pula mana mungkin kau marah padaku. Bara memang tak pernah sekalipun mengentakkan suara keras. Terlebih bersikap kasar padaku. Sayang benar rupanya ia akan kau, Gyas, celetukku dalam kalbu. Berkat dia aku mampu tersenyum hingga di pagi ini. Di hari kelahiranku, dua puluh lima tahun silam. Dua tahun lebih ia iringi perjalananku. Baik sungguh lakonnya. hampir tak kutemukan cela dalam diri lelaki itu. Sikapnya yang tegas, mandiri, sopan, dan berakal budi baik buat aku tak seharusnya meragukan kepiawaiannya kelak ketika menjadi suamiku. Dan, bisa kupastikan pernikahan kami akan berjalan indah. What? Nikah? Hm, mimpi apa lu, Gy, semalam.
            Teringat aku akan beberapa pesan teman-temanku. Minggu depan sobat sekampungku, si bawel Mika akan melepas masa lajangnya. Akhirnya, menikah juga dia. Sayang, bukan dengan Lutfi lelaki kebanggaannya semasa kuliah. Aku hanya bisa tertawa ketika ia mendatangi aku dan kak Arymbi bersama teman yang lain di kos yang berjarak satu kilo meter dari kampus kami. Dua tahun lebih ia menjadi kekasih Lutfi, pria keturunan jawa tulen. Hubungan kandas sebab ibunya tak memberi restu pada ikatan mereka yang memang beda suku itu. Ya, Mika keturunan asli minang. Berbeda denganku. Aku gadis jawa seutuhnya yang dilahirkan pula dibesarkan di tanah Sumatra. Tak heran, banyak orang menganggapku berdarah minang. Satu suku saja sudah cukup mengalir dalam darah menurutku. Lain cerita untuk keturunanku nanti.
Karena perpisahannya dari Lutfi, Mika melajang (berhubungan dengan pasangan tak tentu dan tak diinginkan) selama nyaris tiga tahun. Dan genap di tiga setengah tahun ia dipertemukan dengan Nanda lelaki yang juga keturunan serupa dengannya. Awalnya, entah kebetulan, entah paksaan, entah rekayasa hingga kini hubungan mereka berhasil. Perkenalan singkat dari kak Arymbi yang sama alerginya denganku terhadap lelaki bersuku minang. Ia masih terbawa trauma berkepanjangan dengan lelaki tersayangnya semasa status mahasiswa masih ia sandang. Tiga tahun lama hubungannya dengan Arya berjalan baik sebaik ia melahap segala wacana-wacana dalam buku yang dibelinya dari pasar Shoping, Yogyakarta. Celaka, meginjak tahun ke-empat mereka terpaksa merelakan ikatan benang yang memang tak lagi merah harus retas tanpa dikehendaki kak Arymbi. Arya dijodohkan, alasannya. Seketika itu pula, lelaki menjadi mahkluk paling dibencinya. Porak dalam asuhan istana di kediamannnya seolah menguatkan dendam dalam hati akan sosok para Adam. Sayang, kak Arymbi kerap terjerat dengan lelaki negeri Padang. Dan ia hanya bisa tertawa ketika hal itu selalu terjadi. Tak lebih baik darinya, aku pun alami drama serupa. Musnahnya hubunganku bersama Orin karena perjodohan. Paling tidak itu yang menjadi alasan tepat dari mulut lelaki minang yang sempat aku puja dahulu. Itu mengapa aku dan kak Arymbi kerap memberi wejangan kepada Mika untuk berpikir seribu kali lebih untuk meneruskan hubungannya bersama Lutfi. Bukan bermaksud menjelekkan budaya minang, hanya saja fakta perjodohan itu nyata adanya. Jika memaksa, penolakan bahkan putus hubungan darah dari keluarganya siap dipertaruhkan. Menyedihkan! Beruntunglah Mika kini tak melawan takdir. Aku benar tak sabar menghadiri pesta pernikahannya. Ah, pernikahan, mengapa kau begitu sakral? Bolehkah aku tak menikah, Tuhan? Bolehkah aku tak menikah, Ibu—bapak? Mengapa pula kebahagiaan seseorang harus diukur dengan terjalinnya suatu pernikahan? Bukankah banyak juga mereka yang ingkar pada kesucian dari pernikahan? Bukankah banyak pula yang menikah toh akhirnya tak saling memahami hingga akibatnya saling tikam? Aku tak paham benar apa kesaktianmu wahai pernikahan. Andai saja hidup tak berakhir pada pernikahan yang menuntun jalan perlahan pada akhir kehidupan atas nama kematian. Tentu aku tak perlu sibuk mencari jawab dari segala resahku akan soalan-soalan akan pernikahanku kelak. Kelak? Mungkinkah? Akankah aku menikah dengan Bara? Adakah Bara benar berniat menikahi aku? Akankah tiada pertentangan dari keluarganya seperti yang pernah aku dapat dari keluarga Orin? Akankah? Memang tiada lagi yang harus aku lakukan selain coba membangun suatu hubungan yang diketuai oleh kepala keluargaku sendiri. Tapi, mengapa ketakutan begitu menguasai labirin dalam bernasku! Tak banyak yang ingin aku buat pula aku berikan. Hanya berharap semua berjalan baik. Lalu, bijakkah kebaikan yang aku lakoni kini? Penat aku memikirnya. Ah, sudahlah. Tak ingin aku satu kata itu menghambat segala jalan di hadapku. Aku hanya ingin bebas menentukan pilihan. Karena tak memilih pun juga pilihan, bukan?
“...ngapain lu jalani hubungan sama dia sampai bertahun-tahun kalau nggak jelas juntrumannya?..”
Ah, teringat pula aku dengan kalimat yang sempat dikatakan Rya semalam. Argh!! Pagi-pagi begini mengapa begitu banyak pertanyaan dalam otakku! Bukan saatnya ngedumel, Gy! Saatnya mandi! Saatnya sarapan! Saatnya nikmati liburan!
Kulangkahkan kaki gontai menuju kamar mandi. Lima belas menit kemudian aku sudah duduk di meja makan. Sepi sekali ini rumah. Ke mana penghuni yang lain, gumamku.
“Hoi!!!” Teriak lantang dari arah belakangku sontak pecahkan lamunanku. Sial, apa lagi ini?
“Huh, payah! Ulang tahun malah molor sampai siang. Udah mandi belum?” Sapa Bara yang langsung mengelus rambutku. Belum sempat aku menjawab, Ibu sudah menyambar sapaannya tak peduli padaku yang siap membela diri.
“Ah, dia memang begitu kalau hari libur. Maunya tidur terus sepanjang hari. Sudah mandi kau, Gy?” kali ini berganti ibu yang bertanya. Lagi-lagi, belum sempat aku menjawab, Gyan adikku yang menyambar. Huh, memang keluarga petasan! Bisanya nyambar omongan orang.
“Mana mungkin dia belum mandi. Tahu si abang mau datang, pasti udah mandilah. Mana mba, kuenya?” Aku yang ditanya hanya mampu melempar senyum termanis. “Kok nyengir, mana kuenya, Gyan laper.” Timpalnya setelah melihat senyumku yang pasti dalam otaknya sangat menjijikkan.
“Mau kue? Beli aja sana sendiri. Lagian ngapain minta kue pagi-pagi. Tuh, Mama kan banyak kue, makan aja sana sampai puas! Sama plastik kamu habiskan juga nggak masalah, iya kan, Ma? Hahaha”. Mendengar kalimatku seisi rumah pun tertawa. “Aku yang ulang tahun aja nggak minta apa-apa kenapa malah kamu yang sibuk minta kue? Aneh” tambahku sewot.
“Bang, mana nih kuenya, kok nggak dikeluarkan, aku udah laper. Dingin nih..” rayu Gyan pada Bara.
“Kamu ambil aja di meja depan, sekalian tolong bawa bungkusan di sampingnya ya, Gy..” jawab Bara yang sedari tadi tak berhenti mengelus rambutku. Sungguh, aku paling senang dengan perlakuannya yang satu ini. Wanita mana yang tak senang dimanja dengan elusan mesra? Walau semua wanita juga tentu berpikir, ada udang di balik batu. Usai bujuk rayu tentu ada mau. Setelah sesi elus-mengelus pasti lelaki banyak maunya. Entah itu perhatian dari wanitanya, atau berharap bujuk rayunya ampuh di mata wanita. Hah, bumbu bercinta yang tak lekang oleh zaman memang. Sesaat kemudian Gyan adikku datang dengan tangan penuh. Dari tangan kiri ia membincing kota yang terbungkus plastik biru sementara tangan kanannya gemetar menahan berat kue tart khas kek ulang tahun. Sibuk sekali kau Bara dengan peringatan yang sudah lama tak kurayakan ini, gumamku perlahan dalam hati. Entah mengapa aku sering tak suka diperhatikan dengan orang lain. Pernah aku katakan itu padanya. “Aku ini pasanganmu wajar saja aku memberi perhatian untuk pasanganku, ya toh..?” Seketika juga aku menjawab, “Ya sudah kalau itu maumu tapi, maaf jika aku tak bisa memperhatikanmu lebih layaknya pasanganmu. Kupikir kau tak perlu mempertanyakan sebabnya”. Dan kututup kalimatku tadi dengan senyuman. Segalanya berjalan baik sejak itu semua kukatakan. Tiada tuntutan. Tiada protes. Itu yang aku mau memang. Hanya tak senang aku diatur. Dan tak pernah aku mengatur hidup siapa pun. Karena sejatinya seseorang adalah raja dalam hidupnya. Hanya Tuhan yang berhak mengatur jalur dalam perjalanannya.
“Ini untuk kamu, dibuka aja..” kata Bara sambil menyodorkan kado yang terbungkus rapi dalam plastik biru yang tadi sempat dibincing Gyas. Kado yang indah, beruang kecil asyik bermain bersama induknya di taman berbintang. Beruntung warna kado yang ia suguhkan senada dengan plastik pembungkusnya. Aku suka. Tanganku mulai mencari-cari isolasi yang mengatup ruang dalam kotak persegi empat yang sedari tadi sudah di atas pangkuanku. Baiklah, isolatip kini kutemukan, saatnya membuka bungkus biru. Dan, wow, boneka ulat! Hijau pula. Mungkin dulu aku tak terlalu suka ulat. Bagiku ulat hanya binatang yang kerap mengintai dan menjamah segala daun untuk dimakan. Binatang alam biasa. Tapi, sejak melihat iklan salah satu produk minuman teh yang menggunakan maskot dua ulat hijau yang memanjati dahan teh sambil menyerukan “pucuk, pucuk, pucuk!”, aku menjadi sangat menyukai hewan kecil itu. Meski begitu aku tak pernah secara sengaja mencari segala pernak-pernik yang berhubungan dengan ulat daun. Dan, pagi ini aku disuguhkan boneka ulat hijau yang lucu. Hm, gift yang menarik. “Gimana, suka nggak?” tanya Bara sambil sedikit mengulum senyum manisnya. Sepertinya lelakiku tahu kalau hadiahnya ampuh buatku senang di hari kebesaranku.
“Suka! Makasih ya kadonya..  Kenapa kamu senyam senyum nggak jelas gitu, abis dapet lotere?” timpal sekenaku.
“Nggak kenapa-kenapa, aku seneng kalau kamu seneng, Sayang. Huek. Hahaha.” Aku yang mendengar kalimatnya hanya bisa ikut tertawa. Begitulah lelaki. Mulutnya dicipta seringkali hanya untuk mengumbar kata manis belaka. Kosong. Gombal. Bicara gombal, kak Arymbilah yang paling ekstrim jika mendengar lelaki menggombal. Ia tak segan menampar pipi lelaki mana pun yang menggombal padanya. Tiba-tiba, plak, cap lima jari sudah berbekas di pipi si lelaki penggombal berkat jemarinya yang mendarat tanpa diundang. Itulah kak Arymbi, tak pernah pandang bulu. Bahkan terhadap kekasihnya sekalipun. Perempuan keras dan kasar. “Apa rencanamu hari ini?” tanya Bara menyadarkanku padanya yang sedari memperhatikan jemariku yang asyik membelai boneka baru darinya.
“Tidak ada. Mungkin menghabiskan waktu di rumah bersama Mama dan yang lain saja. Kamu sendiri?” tanyaku basa basi. Toh, sudah tak perlu ditanya, ia pasti ingin mengajakku berkeliling kota. Tak sulit aku menebak pikirannya. Bagiku, Bara sosok lelaki pada umumnya yang mudah kuketahui jalan pikirannya tanpa harus jerih memutar otak. Lebih sulit menyelesaikan rubik berantai yang terbuat dari kayu hasil kreatifitas seniman Jogja daripada mengetahui kehendaknya. Bara belum menjawab soalanku. Ada apa dengan lelakiku? “Hei, kenapa? Mau ngajak aku jalan-jalan? Ayo. Aku salin pakaian dulu dan pamitan sama yang di dalem, ya.. Kamu pamit duluan aja, tunggu aku di luar, bentar kok, ok!” kataku sembari meninggalkannya di ruang tamu. Tak mau aku pungkiri aku juga menyayanginya, walau mungkin belum sebesar dan setulus kasih sayangnya padaku. Tak ada salahnya membagi dan memberi kebahagiaan pada orang yang menyayangiku tulus. Hal itu yang acap aku lakoni ketika keegoisanku meradang. Hingga detik ini aku selalu berhasil menguasai diri yang selalu merasa tak wajib memberikan kasihku untuk Bara. Kekasih bodohku. Ketika aku mulai bertingkah bak gadis kecil yang tak tahu diri, aku hanya bergumam, kekasihku sayang—kekasihku malang kau Bara. Dengan setelahnya aku pasti tertawa terbahak-bahak sendiri. Sering ia memergokiku ketika aku menggumamkan kalimat itu. Hanya mengulum senyum yang pasti ia tak mengerti makna di balik senyum simpulku itu. Benar kekasihku kau, Bara.
Dalam waktu setengah jam kami sudah berada di Taman Mini. Mini bukan sekadar nama untuk tempat yang lumayan sering dikunjungi masyarakat Padang Panjang. Luas taman ini memang tak memunafikan namanya. Terlalu mini menurutku lahan sesempit ini untuk dikategorikan sebagai taman. Beruntung, sejatinya kotaku memang kota kecil. Jadi yang sering singgah di Taman Mini ini pun cukup maklum dengan luas yang tak seberapa. Bara mengajakku berkeliling sambil menikmati segar udara pemberian gratis dari Tuhan. Aku paling gemar berjalan-jalan menjejaki mentari yang menggeliat malas tinggalkan pagi. Dan aku paling tak senang jika harus menelusuri ruas-ruas jalan beraspal tebal di bawah terik mentari. Kulit tipisku seperti dijilat-jilat paksa oleh panasnya lampu alam. Bukan sebab aku tak mau atau takut hitam. Sengat cahaya matahari yang tak pernah kalah dengan sinar benda langit manapun itu benar buat aku malas mennjalani aktifitas di luar ruang.
“Aku berangkat ke Jakarta minggu depan. Kamu mau ikut?” tanyaku tiba-tiba pada Bara yang bergeming sedari kami sampai. Lukis wajahnya buat aku ingin tertawa. “Minggu depan aku berencana ke Jakarta, Mika kan nikah, masa’ aku nggak datang. Kamu mau ikut atau nggak?” ulangku perlahan lebih jelas.
“Hari apa? Aku harus izin ke kantor dulu. Kamu mau sekalian liburan?”
“Hm, sepertinya begitu. Tak apa ‘kan? Aku mulai bosan liburan di rumah. Teman-temanku juga sudah rindu ingin ngumpul bareng lagi.” Jawabku singkat.
“Iya, asal ada yang menampungmu di sana aku tak khawatir. Mau berapa lama kamu di Jakarta?”
“Entahlah, aku ingin berlama-lama. Kalau aku tak pulang, boleh?” tanyaku nyeleneh. Terlalu serius ia, pikirku. Bagiku, liburan tak perlu berlama-lama. Dalam sehari berlibur dan nikmatnya sudah kudapat, itu sudah cukup. Daripada harus berminggu-minggu tapi tak mampu membawa hawa segar dalam kepalaku, itu lebih menjemukan. Lagi-lagi, lelakiku hanya terdiam mendengar kalimat yang kulontarkan. “Boleh nggak?” tanyaku lebih tegas.
“Kamu yakin?”
Hm, lagi-lagi dia membawa pembicaraan kami kembali menjadi serius. Ah, ke mana perginya selera humormu, Bara?
“Kamu kenapa sih? Dari tadi bawaannya serius terus. Bercanda kok.. Nggak mungkin juga aku nggak pulang. Memangnya aku nggak kerja? Memangnya aku nggak butuh uang? Memangnya aku anak presiden? Ngawur kamu kalau mikir aku nggak bakal pulang dan menetap di Jakarta. Jakarta itu memuakkan. Cukup lima tahun lebih aku jadi gembel kampung di sana. Dan kali ini aku hanya datang dengan tujuan berlibur. Udah ah serius amat sih mukanya.” Celotehku panjang menanggapi soalannya.
“Kalau kamu sanggup, ya silakan. Aku nggak ngelarang,” tungkasnya santai. Apa maksud perkataannya. Singkat memang yang ia ucap. Tapi, mengapa aku gundah? Adakah ia memang mengharap kepergianku? Oh, tak kuijinkan peristiwa seperti ini terulang lagi untuk ke-sekian kali. “Mungkin kamu memang udah lama ingin itu. Lagi pula, kamu bisa minta mutasi ke Jakarta ‘kan?” Jeder! Ada apa ini? Ingin mengerjaiku? Aku sudah tahu ini hariku. Hari ulang tahunku. Tapi, mengapa bibirnya tak berhenti mengucapkan deret kata yang tak ingin aku dengar? Paling tidak hari ini. Hari di mana aku seharusnya merasa senang berada di sampingnya. Hari bahagiaku. Mestinya. “Kalau itu mau kamu, ya sudah, aku nggak akan coba ngelarang atau memohon-mohon untuk kamu tetap tinggal di sini. Tempat di mana kita dipertemukan.” Dan lagi-lagi, kalimatnya bagai palu godam menghantam tajam tetap dalam dadaku.
“Kamu jauh-jauh ngajak aku pergi ke sini cuma mau bilang itu semua?” tanyaku tanpa ingin berpikir hal terburuk terjadi untuk hubunganku. Tak ingin aku menerka jalan pikirannya kali ini. Benar tak terduga semua yang dikatakannya. Pening kepalaku. Huff, tenang, Gyas..tenang. Calm down. Kau tak boleh terpancing emosi. “Jawablah, apa tujuan kamu mengatakan semua itu? Katakan mau kamu semuanya. Jangan ada yang tertinggal, tersisa,” jawabku mulai meracau. Lirih. Dalam. Sedihkah aku? Mungkin tentu.
“Aku hanya mau berikan yang terbaik untuk kamu. Kalau kamu pikir itu yang terbaik untukmu, mengapa tidak?” Hoh, jawaban apa itu! Tak bisa kupahami maksud perkataannya. Semua lelaki memang sama sepertinya. Untuk apa mengatakan terbaik untukmu kalau lebih baik terbaik untuk kita? Ah, bodoh kau Gyas. Bukankah kau sudah hapal betul tabiat kaum lawan jenismu? Oh, apa yang aku pikirkan! Kalimat apa lagi yang hendak aku katakan? “Hei, kok diam. Aku tanya serius, jangan pasang tampang bego begitu. Tinggal jawab aja kok susah..” Oh, Tuhan, sejak kapan pula lelakiku jadi seketus ini. Sedang apa dia? Berlakonkah? Apa yang ia pikirkan kini? Beri aku ilham dong, Tuhan. Kumohon, kali ini saja.
“Kok sewot gitu, santai kali, Om.. Sekarang aku yang balik tanya, kamu yakin aku pergi dan menetap di Jakarta?” jawabku seadanya.
“Aku nggak pernah yakin, makanya aku tanya kamu, kamu yakin nggak. Kalau kamu yakin dengan keputusanmu, ya aku terima. Kalau kamu nggak yakin ya bagus..” dalihnya seakan ia tak butuh aku dan tak peduli keberadaanku lagi. Dan kau tahu Bara, aku kesal! Sial! Tanggal berapa sih sekarang, sial sekali aku hari ini harus menghadapi lelaki seperti ini.
“Kamu nggak sedang mengarahkan pembicaraan kita ke titik yang harus menemukan kesepakatan buruk, ‘kan?” tanyaku selidik.
“Maksud kamu? Putus? Ya kalau itu mau kamu, nggak apa. Aku terima. ‘Kan aku sudah bilang, kalau memang itu yang terbaik, aku coba berikan untuk kamu..” Jeder! Lagi-lagi kepalaku bagai dihantam palu godam dengan tenaga super! “Lagi pula, untuk apa tetap menjalani hubungan yang statis berlama-lama. Aku sudah meminta restu orang tua kamu, tapi hingga kini pernikahan nggak sama sekali pernah kita bahas. Setiap kali aku mulai bicara nikah, kamu langsung cut sesuka kamu. Padahal nggak banyak kekurangan yang kita bisa tutupi sama-sama kalau hanya untuk menikah. Sepertinya aku belum benar-benar mampu menggantikan posisi mantanmu yang minang itu. Pergi dari aku itulah keputusan tepat yang pantas kamu ambil. Aku nggak mau kamu buang waktu banyak denganku sia-sia. Mungkin laki-laki lain yang memang sudah dipilihkan Tuhan buat kamu ada di sana. Di Jakarta,” jelasnya panjang tanpa jeda juga tanpa memberiku peluang untuk bersuara di sela suara lelakinya. Oh, aku bisa mendadak lemah jantung jika kubiarkan dia terus berbicara yang aneh-aneh. Aneh? Apa benar semua yang dikatakannya aneh? Atau aku yang terlalu berlebihan dan tak mampu berasionalisasi kala ini? Ya. Tak sedikit pun salah yang dikatakannya panjang lebar tadi. Aku terlalu tinggi dan kerap merendahkan profilnya di mata kecilku. Tapi, apa harus berakhir seperti ini? Entahlah.
“Kamu ini bicara apa? Kenapa jadi bicara hal yang aneh-aneh? Aku hanya liburan sesaat. Setelah melepas rinduku ke semua teman di Jakarta aku pasti pulang. Aku nggak mungkin menetap di sana lagi. Rumahku di sini. Di Padang Panjang ini. Sama orang tuaku. Sama kamu. Aku memang sering menghentikan pembicaraan terkait pernikahan. Aku belum siap untuk bicara hal itu. Tolong maklumi aku, Bara...” jawabku perlahan memelas, pasrah. Ia mendengar seksama. Tampak menyimak kata-kataku yang terlontar pasti.
“Sebenarnya, kamu itu niat nggak sih jalin hubungan dengan aku? Kamu niat nggak sih nikah sama aku? Dengar, Gy, kita bukan anak SMA yang lagi main cinta-cintaan. Udah bukan masanya, Gy. Usia kita sudah sepantasnya bicara masa depan. Masa depan kamu juga masa depan aku. Masa depan kita berdua. Kalau kamu berniat jalan di tempat, bukankah lebih baik kita selesaikan hubungan kita lebih cepat?” soalannya kembali bertubi-tubi menusuk-tusuk telingaku. Niat? Menikah? Selesai? Soalan gila ini, Bara!!!
“Kamu nggak bosan ya bicara topik ini terus? Aku nggak perlu lagi menjelaskan keseriusan niatku menjalin hubungan dengan kamu. Kamu pasti tahu jawabnya. Aku, kamu, kita berdua memang bukan anak SMA. Tapi, apa harus kita ambil keputusan secepat ini sementara aku benar-benar belum yakin dan belum siap untuk menikah”.
“Karena aku bosan, Gy, aku ingin ini tuntas dibincangkan! Aku nggak tahu Gy kamu serius atau nggak sama aku. Kamu belum yakin dan belum siap untuk menikah atau kamu belum yakin dan belum siap untuk menikah dengan aku? Jawab.” Tinggi suaranya mulai menguasai isi kepalaku yang sedari tadi sudah tak mampu menahan pening yang menggila. Apa kami harus benar selesai? Kau tahu, Bara, tak pernah sedikit pun niat aku permainkan hubungan kita, bahkan hingga detik ini. Detik di mana kau mulai memperlihatkan dominasi maskulinmu di hadapanku. Apa memang begini kau adanya? Apakah selama ini aku terbutakan dengan segala kebaikanmu? Kelembutanmu berperangai? Lihai kau, Bara. Aku tertipu oleh kasihmu selama ini rupanya. Baru aku tahu. Begini kau lelakiku ternyata. Pilu ini hati. “Kenapa nggak jawab soalku? Kamu niat nggak nikah sama aku, jawab saja,” tanyanya kembali.  Kau tahu, Bara, aku paling benci dipaksa. Pernikahan itu sakral. Tiada ada siapa pun yang berhak mengintervensi orang lain terlebih atas nama pernikahan. Oh, harusnya kau sering bercengkerama dengan banyak orang. Karena sesungguhnya, siapa pun yang dipaksa akan suatu hal yang tak ia hendak lakukan sudah melanggar hak asasi manusia. Apa kau lupa, aku ini manusia, Bara! Aku ini perempuanmu. Aku ini kekasihmu! Kekasih yang baru saja kau suguhi kue tart lengkap bersama hadiah yang kau beli dengan niat tulus. Kau lupa, Bara?! Apa artinya kedatanganmu pagi tadi? Apa artinya hadiah yang kau berikan tadi? Apa artinya senyum simpulmu pagi tadi di rumahku? Benar gila aku kau buat!
“Boleh aku menjawabnya sepulangku dari Jakarta?” kujawab semampuku. Karena perihal kepulanganku bukan masalah lagi, kupikir.
“Aku sedang nggak jual barang, Gy. Aku nggak mau ada penawaran dan permintaan. Aku hanya bertanya dan sekarang giliranmu menjawab soalku, tolonglah, Gy. Aku mohon..” Lelaki aneh memang kau, Bara. Puas tadi kau membentakku. Kini kau bagai fakir yang mengemis beras dari rumah ke rumah demi mengisi perutmu yang kosong.
“Aku juga nggak lagi nawar atau minta apapun, Bara.. Aku hanya coba bernegosisasi supaya kita bisa tenang. Paling enggak sementara waktu sampai kepulanganku nanti. Boleh?” tanggapku tenang. Sulit juga menenangkannya di kala emosi memburuk. Tentu saja kulakukan ini demi menyelamatkan hubunganku dengannnya.
“Keras memang kepalamu. Apa boleh buat, aku mengalah lagi kali ini. Tapi ingat, ini yang terakhir. Nggak ada tawar-menawar lagi setelah ini. Maksudku negosiasi, itu yang tadi kamu bilang,” katanya tegas—jelas.
***

No comments: