Dialog singkat itu mengantar pada sua yg bertalun gersang.
Bak hijaunya batang tebu yg terpapah rencong.
Buku-bukunya semakin menjulang mengecil kerdil.
Besat daun pun seakan liar tertiup udara tengah hari.
Perih menggores.
Melukai.
Yang tertinggal hambar.
Tiada manis.
Tiada sedikit apa pun nikmat terkecap.
Kubiarkan kau kejap.
Bersih debu melekat mesra pada tubuh.
Lalu, kemudian kulekatkan sehelai tautan kapas bersahaja yg sempat kau protes.
Duduk hampiri kau yg bersandar malas.
Mulai ucap rangkai kata.
Seakan budak yg berjanji terpaksa.
Kaku kata terbata terbilang.
Terdengar mengigau meracau.
Perlahan meski jelas tegas menyesakkan.
Mencekik hingga tak sanggup lagi aku terkekeh.
Sesekali tenggorokan tertelan liur nyaring.
Berkali menggigit dan tergigit bibir.
Di beberapa masa, air mengalir enggan ke ujung mata. Sesak.
Napas tertahan dan berlomba dg hati yg mencari oksigen demi tidak takluk pada kematian.
Perlahan terawasi.
Lalu, seperti biasa kulakukan pintamu.
Hangat secangkir kopi bungkus kupersembahkan untukmu tuan hati.
Beberapa kali kunikmati dg keping biskuit yg dibeli di swalayan kota.
Sambil tertawa terbahak kecil kita berbincang di antara asap lembut mengudara dari kopi yg terkurung beling bertangkai.
Puas habiskan kata.
Tapak ragu jelas tak samar.
Muara anganmu terbilang ada.
Dan itu mereka.
Bukan aku.
Tidak aku.
Karena memang sedari dulu aku hanya pendatang haram.
Tiada asa untukku hadir dan tersambut malam yg merajam.
Kupenggal paksa Suasana yg meraja.
Membunuh seluruh teduh kalbu yg menuju rusuh hingga lusuh.
Dan, kumaklumi hendakmu.
Toh, memang tiada ada hak aku menidak-melarang-memaksa.
Cih, bukan keahlianku melakukan segala kebodohan itu.
Seakan putusanku bukan mautmu.
Kita habiskan redup pijar lampu dunia bersama.
Dan, kau masih begitu baik menertawai kepedihanku.
Lakonmu kunikmati dg ijin pasti.
Kulahap setiap gerikmu.
Acap pergulatan kata menyingsing tajam.
Acap kita saling kecap.
Acap lelah mengentak bahu-bahu kita.
Terlalu letih dg soal hati.
Meski begitu, akulah pihak yg pantas mundur.
Undur diri.
Tak sudi aku bersiasat mengatur intrik untuk dapatkan yg bukan untukku memang.
Jadi, biarlah aku pamit.
Lalu katakan, tak ada akan lagi perihal apapun di antara kau pula aku.
Saat ini terhitung waktu.
Tak terhingga ia terprediksi.
Hendakku, bagian adegan ini menutup segala.
Perwakilan dr gundahku akan persinggahan sesaat kita.
Aku terlalu liar untuk mendapatkanmu.
Kau terlalu liar untuk kumiliki.
Hembus asap dr mulutmu.
Mengawang kabut sembunyikan apa.
"Rokok terakhir," katamu.
Kupersilakan segala lakon kau paparkan. Inilah babak terakhir.
Pementasan ditutup dg dialogku, "Terima kasih, Badut".
Mimik terakhir tokohku, senyuman kecil tiada pamrih.
Kemudian kau pergi.
Dan, SELESAI.
No comments:
Post a Comment