Selamat malam menuju pagi.
Di sini, di Makati yang menggunakan hitungan waktu GMT +8, aku sedang menunggu ada yang menyapa dan atau harus kusapa sebagai sambutan hangat pada siapapun yang datang.
Dua layar komputer dengan satu otak dari prosesor aku menyapa mereka yang datang. Beberapa perangkat aplikasi kuoperasikan untuk sebagai pencarian data mereka yang kusapa, di jendela "chat".
Dan percayalah, semua aplikasi itu menjemukan dan terkadang mampu membuatku emosi. Sebenarnya bukan aplikasi-aplikasi itu tapi mereka yang datang ke "chat", menyebalkan! Minta ini, minta itu. Semua harus kuturuti, karena aku dibayar untuk disuruh-suruh. Tak jarang terima makian yang juga menumbuhkan rasa ingin membanting dua layar tak bernyawa itu.
Tapi malam ini, pagi ini, "chat" atau "player" -- begitu biasa kami menyebutnya, sedang sepi. Ah baru saja kubilang sepi, sekarang masuk chat. Hold, aku harus menyapa mereka dan menyelesaikan concern mereka. Wait po!
Hai, aku kembali. Ternyata player yang baru saja kusapa langsung pergi meninggalkan jendela chat. Ya, kembali kukatakan, chat. Chat adalah sebutan untuk obrolan yang fokusnya pada hal-hal akun, bonus, promosi, dan yah semuanya. Di sini, di perusahaan yang karyawannya lebih dari seribu mungkin (maaf, aku bukan karyawan yang terlalu peduli dengan hal profil perusahaannya--hm, mungkin karena ini tidak perusahaan yang kecil), aku bekerja bersama kurang lebih dua puluhan orang Indonesia lainnya. Oh ya, Makati adalah kota kecil yang cukup maju dan potensial walau tidak dipotensialkan pemerintahnya yang terletak di Manila, Filipina. Melayani player untuk kurang lebih delapan jam sehari dalam lima hari per minggu. Player, hm mereka adalah konsumen kami. Perusahaan dimana aku bekerja ini sangat sensiif dengan nominal uang dan semua yang berkaitan dengan kerahasiaan data.
Awalnya aku senang menjadi karyawan di sini. Sangat senang bahkan. Mereka--teman kerjaku semua menyenangkan. Bahkan seminggu aku datang ke floor -sebutan untuk mulai bekerja di stasion, aku sudah terpikat dengan seorang teman kerja. Ah, jangan menilaiku buruk, terkadang dia menyenangkan terkadang dia menyebalkan, itu sisi menariknya. Dan, saat ini aku bukan ingin bercerita tentang lelaki itu.
Awalnya aku senang menjadi karyawan di sini. Betapa tidak, upah kudapat jauh lebih tinggi daripada bekerja di negaraku sendiri. Dengan, padahal ini hanya kerja yang mengandalkan kebiasaan dan keaktifan belajar saja. No big deal, yes? Dan si sini, aku sangat senang. Banyak lebih dari hal luar biasa yang bisa kumakan untuk kucerna sebagai pembelajaran. Dari hal agama dan segala toleransi di dalam dan di luarnya. Lalu soal budaya juga makanan yang terkadang menjemukan perut. Kemudian soal persekawanan yang tentu tidak akan menjemukan. Dan, soal aktifitas menari pula berenang yang nyaris sebelas tahun tak kulakukan lalu kulakoni lagi dengan suka duka di dalamnya, di sini. Dan percayalah, soal asmara tidak luput dari hal yang kutelan habis.
Awalnya aku senang menjadi karyawan di sini. Betapa tidak, terkadang aku menjelma bagai seorang ibu seorang mama yang sibuk memasakkan anak-anaknya makanan lezat. Aku juga sering menjelma menjadi anak nakal yang sulit sekali dikalahkan egonya. Aku juga sering menjelma menjadi saudara bahkan teman tidur yang selalu dinanti untuk menemani yang sedang terundung sulitnya hidup. Ah, awalnya aku senang!
Hingga pada suatu malam aku tidak dikagetkan tapi cukup menggelitik naluriku yang di dalam sana. Seorang temanku terpaksa pulang karena orang tuanya yang terpaksa dirawat karena sakit keras. Sering aku terbawa diam ketika memikirkan kebahagiaan orang tuaku. Apakah keberadaan jauhku kini yang demi membahagiakan mereka juga membahagiakan bagi mereka. Apakah modal berhubungan dengan aplikasi whats app dan line juga BBM sudah membahagiakan mereka? Apakah aku anak yang begitu sulitnya menahan segala ambisi untuk kebahagiaan orang tuanya? Yang tentu, aku tidak sendiri untuk sikap yang demikian. Tapi dengan tegas kukatakan, itu tidak akan kujadikan pembelaan atas sepeninggalanku di Makati kini. Yang kutahu, aku menjemput masa depanku yaitu kebahagiaan orang tuaku. Iya, aku tahu jika pastinya orang tua lebih akan bahagia jika anaknya dekat secara fisik dengannya. Tapi ini 2016, jangan bicara yang masuk akal tapi tidak realistis. Jika kau bertentangan denganku, bukan urusanku. Yang tentu, yang menguatkan ibu, bapak, abang, juga diriku untuk melewati semua ini adalah tujuan yang harus kuraih. Ah, aku rindu ibu bapakku yang pasti sedang tidur saat ini. Baik-baiklah di sana ibu juga bapak. 😘
Hingga pada suatu malam aku tidak dikagetkan tapi cukup menggelitik naluriku yang di dalam sana. Seorang temanku terpaksa mengundurkan diri. Inisiatifnya sungguh kuat dan tekadnya bulat. Lalu mengapa kukatakan terpaksa? Hm, si perempuan brisik-begitu wataknya bagiku, memaksa dan terpaksa menyerah di sini. Dan memutuskan untuk melanjutkan karirnya di Malaysia-jika Pencipta mengijinkan.
"..kalau pisah nanti kita nggak ketemu dong, babe?" katanya dengan raut sedih.
"Jangan lebay, Malaysia atau Filipina bukab di planet lain. Rumah lu masih di Kalimantan, passport lu juga masih Indonesia." Jawabku sedikit membentak, maksud menguatkan. Membentak biasa kulakukan untuk teman yang sering memperlihatkan pesimisnya, lemahnya mereka. Aku tidak suka.
"Ah, lu kan janji aja, entar mah kaga ditepatin." Katanya selayak menggugatku.
"Heh, emang gua janji apa?"
"Tetap ketemuan kan!!?" Ucapnya sambil mendelik dan mengerucutkan bibirnya. Lucu! Ganjen! Centil! Gemas! 😙😘
"Gua gak pernah janji, gw bilang insyaAlloh, percayakan aja sama Pencipta. Udah jangan lebay!" jawabku berujung tawa meledek.
"Ah lu mah gitu, jahat!" Mulutnya semakin manyun ke depan mengalahkan aku yang jelas lebih manyun dari sononya. 😁
"Yang jahat itu lu, yang pergi siapa, yang ninggali siapa, yang dibilang jahat malah saya! Hih!" Tawaku makin kencang. Disusul dia yang akhirnya juga tertawa. "Lu datang ke sini nggak ada gua, kenapa cabut jadi musti ada gua? Slowlah, semua akan fine-fine aja tanpa gua, kok. Lu kan hebat! Jangan tempe! Lagipula, kalau jauh emang kita langsung nggak temenan gitu? Hih, gampar juga nih lama-lama. Inget niat dan motivasi awal lu apa sampai berani langkah sejauh ini? Ingat kan," kataku panjang mengomelinya bak adik kecil yang bandel dinasehati. Hahaha, lucu sekali ini perempuan gendut berisik.
Aku tahu betul apa yang ia rasa dan ia maksud, hanya saja siapapun yang berlakon lemah, harus kukuatkan sekuat-kuatnya, dan caraku menguatkan orang lemah yang rada brisik itu ya begitu. 😡😠 Hm, tidak suka, hakmu.
Hingga pada suatu malam aku tidak dikagetkan tapi cukup menggelitik naluriku yang di dalam sana. Paling tidak apa yang kukatakan, kutindakkan pada manusia lain entah siapapun itu, adalah suatu yang kuanut selama ini. Karena pada dasarnya, mereka--manusia yang lain adalah aku dalam bentuk jiwa dan raga yang berbeda. Itu mengapa kuperlakukan sama dalam sebagian besar hal. Kalian, mereka, dia, kau, aku, sama dalam kondrat yang dinamakan insan bumi. Bagaimana kuperlakukan aku begitu kuperlakukan kau, dia, mereka, juga kalian. Walau beda adalah kita. Jadi kawan, jika kau merindukan saat di mana kita menggila, begitu pula aku. Oh ya, tampak beda perlakuan itu kutampik karena ekspresi beda manusia beda pula ekspresinya. Untuk hal itu aku tak mau disamakan, pasti berkeras berbeda. 😁 Jadi kawan, jika kau merindukan saat kita ada dan tidak ada satu untuk yang lain, begitu pula aku. Jangan pernah kau lupa. Kecuali kau mengidap alzheimer. Selalulah jadi kawanku. Sampai aku tak jadi manusia lagi. Mungkin, bila nanti ada teknologi yang membuat manusia yang sudah tidak dapat disebut sebagai manusia tapi tetap seperti manusia atau apalah yang tampak manusiawi, silakan mengingatku, terus ingat sampai kau lupa. Atau aku yang lupa.
05:43 AM, Makati, February 23th 2016.
No comments:
Post a Comment