Selamat pagi dari RCBC Plaza.
Ini kutulis disela pemikiran yang semakin mendesakku kembali berpikir. Kau perhatikanlah-kalau mau, tulisanku mulai hadir lagi di tahun ini. Setelah sekian lama tidak mengakses blog yang isinya (bukan) sampah.
Kau tahu kenapa? Mari sini kuberi tahu. Tulisan terakhirku untuk dua judul sebelum tulisan ini adalah tertulis dan terpublik pada 2013 lampau. Isinya mengacu pada seorang lelaki yang nyata dan terkisahkan dengan penambahan atau tidak, aku lupa.
Lalu aku mulai menulis di sini lagi karena pengaruh kuat dari kisah Dilan dan Milea di benak dan jiwaku. Lebih dari hati, ya, Sob. Dan sialnya kisahnya terasa ikat sekali dengan lelaki yang terkisah di tulisan terakhir di 2013 itu. Sial. Selama itu rupanya terabaikan. Dan berkat Pidi Baiq, aku menulis di sini lagi. Memalukan rasanya tergugah aktif menulis lagi di sini karena kisah asmara. Beruntung buku si Pidi Baiq itu keren, jadi malu-ku sedikit. πππ
Intinya, mulai hari ini aku berjanji akan terus menulis. Kalau lupa menulis, artinya aku sedsng tidak berjanji. Atau paling tidak sedang luoa janjiku. Atau anggaplah aku sedang alzheimer.ππ
Bye!
Makati. Feb 23 2016.
February 22, 2016
Kontemplasi (?)
Selamat malam menuju pagi.
Di sini, di Makati yang menggunakan hitungan waktu GMT +8, aku sedang menunggu ada yang menyapa dan atau harus kusapa sebagai sambutan hangat pada siapapun yang datang.
Dua layar komputer dengan satu otak dari prosesor aku menyapa mereka yang datang. Beberapa perangkat aplikasi kuoperasikan untuk sebagai pencarian data mereka yang kusapa, di jendela "chat".
Dan percayalah, semua aplikasi itu menjemukan dan terkadang mampu membuatku emosi. Sebenarnya bukan aplikasi-aplikasi itu tapi mereka yang datang ke "chat", menyebalkan! Minta ini, minta itu. Semua harus kuturuti, karena aku dibayar untuk disuruh-suruh. Tak jarang terima makian yang juga menumbuhkan rasa ingin membanting dua layar tak bernyawa itu.
Tapi malam ini, pagi ini, "chat" atau "player" -- begitu biasa kami menyebutnya, sedang sepi. Ah baru saja kubilang sepi, sekarang masuk chat. Hold, aku harus menyapa mereka dan menyelesaikan concern mereka. Wait po!
Hai, aku kembali. Ternyata player yang baru saja kusapa langsung pergi meninggalkan jendela chat. Ya, kembali kukatakan, chat. Chat adalah sebutan untuk obrolan yang fokusnya pada hal-hal akun, bonus, promosi, dan yah semuanya. Di sini, di perusahaan yang karyawannya lebih dari seribu mungkin (maaf, aku bukan karyawan yang terlalu peduli dengan hal profil perusahaannya--hm, mungkin karena ini tidak perusahaan yang kecil), aku bekerja bersama kurang lebih dua puluhan orang Indonesia lainnya. Oh ya, Makati adalah kota kecil yang cukup maju dan potensial walau tidak dipotensialkan pemerintahnya yang terletak di Manila, Filipina. Melayani player untuk kurang lebih delapan jam sehari dalam lima hari per minggu. Player, hm mereka adalah konsumen kami. Perusahaan dimana aku bekerja ini sangat sensiif dengan nominal uang dan semua yang berkaitan dengan kerahasiaan data.
Awalnya aku senang menjadi karyawan di sini. Sangat senang bahkan. Mereka--teman kerjaku semua menyenangkan. Bahkan seminggu aku datang ke floor -sebutan untuk mulai bekerja di stasion, aku sudah terpikat dengan seorang teman kerja. Ah, jangan menilaiku buruk, terkadang dia menyenangkan terkadang dia menyebalkan, itu sisi menariknya. Dan, saat ini aku bukan ingin bercerita tentang lelaki itu.
Awalnya aku senang menjadi karyawan di sini. Betapa tidak, upah kudapat jauh lebih tinggi daripada bekerja di negaraku sendiri. Dengan, padahal ini hanya kerja yang mengandalkan kebiasaan dan keaktifan belajar saja. No big deal, yes? Dan si sini, aku sangat senang. Banyak lebih dari hal luar biasa yang bisa kumakan untuk kucerna sebagai pembelajaran. Dari hal agama dan segala toleransi di dalam dan di luarnya. Lalu soal budaya juga makanan yang terkadang menjemukan perut. Kemudian soal persekawanan yang tentu tidak akan menjemukan. Dan, soal aktifitas menari pula berenang yang nyaris sebelas tahun tak kulakukan lalu kulakoni lagi dengan suka duka di dalamnya, di sini. Dan percayalah, soal asmara tidak luput dari hal yang kutelan habis.
Awalnya aku senang menjadi karyawan di sini. Betapa tidak, terkadang aku menjelma bagai seorang ibu seorang mama yang sibuk memasakkan anak-anaknya makanan lezat. Aku juga sering menjelma menjadi anak nakal yang sulit sekali dikalahkan egonya. Aku juga sering menjelma menjadi saudara bahkan teman tidur yang selalu dinanti untuk menemani yang sedang terundung sulitnya hidup. Ah, awalnya aku senang!
Hingga pada suatu malam aku tidak dikagetkan tapi cukup menggelitik naluriku yang di dalam sana. Seorang temanku terpaksa pulang karena orang tuanya yang terpaksa dirawat karena sakit keras. Sering aku terbawa diam ketika memikirkan kebahagiaan orang tuaku. Apakah keberadaan jauhku kini yang demi membahagiakan mereka juga membahagiakan bagi mereka. Apakah modal berhubungan dengan aplikasi whats app dan line juga BBM sudah membahagiakan mereka? Apakah aku anak yang begitu sulitnya menahan segala ambisi untuk kebahagiaan orang tuanya? Yang tentu, aku tidak sendiri untuk sikap yang demikian. Tapi dengan tegas kukatakan, itu tidak akan kujadikan pembelaan atas sepeninggalanku di Makati kini. Yang kutahu, aku menjemput masa depanku yaitu kebahagiaan orang tuaku. Iya, aku tahu jika pastinya orang tua lebih akan bahagia jika anaknya dekat secara fisik dengannya. Tapi ini 2016, jangan bicara yang masuk akal tapi tidak realistis. Jika kau bertentangan denganku, bukan urusanku. Yang tentu, yang menguatkan ibu, bapak, abang, juga diriku untuk melewati semua ini adalah tujuan yang harus kuraih. Ah, aku rindu ibu bapakku yang pasti sedang tidur saat ini. Baik-baiklah di sana ibu juga bapak. π
Hingga pada suatu malam aku tidak dikagetkan tapi cukup menggelitik naluriku yang di dalam sana. Seorang temanku terpaksa mengundurkan diri. Inisiatifnya sungguh kuat dan tekadnya bulat. Lalu mengapa kukatakan terpaksa? Hm, si perempuan brisik-begitu wataknya bagiku, memaksa dan terpaksa menyerah di sini. Dan memutuskan untuk melanjutkan karirnya di Malaysia-jika Pencipta mengijinkan.
"..kalau pisah nanti kita nggak ketemu dong, babe?" katanya dengan raut sedih.
"Jangan lebay, Malaysia atau Filipina bukab di planet lain. Rumah lu masih di Kalimantan, passport lu juga masih Indonesia." Jawabku sedikit membentak, maksud menguatkan. Membentak biasa kulakukan untuk teman yang sering memperlihatkan pesimisnya, lemahnya mereka. Aku tidak suka.
"Ah, lu kan janji aja, entar mah kaga ditepatin." Katanya selayak menggugatku.
"Heh, emang gua janji apa?"
"Tetap ketemuan kan!!?" Ucapnya sambil mendelik dan mengerucutkan bibirnya. Lucu! Ganjen! Centil! Gemas! ππ
"Gua gak pernah janji, gw bilang insyaAlloh, percayakan aja sama Pencipta. Udah jangan lebay!" jawabku berujung tawa meledek.
"Ah lu mah gitu, jahat!" Mulutnya semakin manyun ke depan mengalahkan aku yang jelas lebih manyun dari sononya. π
"Yang jahat itu lu, yang pergi siapa, yang ninggali siapa, yang dibilang jahat malah saya! Hih!" Tawaku makin kencang. Disusul dia yang akhirnya juga tertawa. "Lu datang ke sini nggak ada gua, kenapa cabut jadi musti ada gua? Slowlah, semua akan fine-fine aja tanpa gua, kok. Lu kan hebat! Jangan tempe! Lagipula, kalau jauh emang kita langsung nggak temenan gitu? Hih, gampar juga nih lama-lama. Inget niat dan motivasi awal lu apa sampai berani langkah sejauh ini? Ingat kan," kataku panjang mengomelinya bak adik kecil yang bandel dinasehati. Hahaha, lucu sekali ini perempuan gendut berisik.
Aku tahu betul apa yang ia rasa dan ia maksud, hanya saja siapapun yang berlakon lemah, harus kukuatkan sekuat-kuatnya, dan caraku menguatkan orang lemah yang rada brisik itu ya begitu. π‘π Hm, tidak suka, hakmu.
Hingga pada suatu malam aku tidak dikagetkan tapi cukup menggelitik naluriku yang di dalam sana. Paling tidak apa yang kukatakan, kutindakkan pada manusia lain entah siapapun itu, adalah suatu yang kuanut selama ini. Karena pada dasarnya, mereka--manusia yang lain adalah aku dalam bentuk jiwa dan raga yang berbeda. Itu mengapa kuperlakukan sama dalam sebagian besar hal. Kalian, mereka, dia, kau, aku, sama dalam kondrat yang dinamakan insan bumi. Bagaimana kuperlakukan aku begitu kuperlakukan kau, dia, mereka, juga kalian. Walau beda adalah kita. Jadi kawan, jika kau merindukan saat di mana kita menggila, begitu pula aku. Oh ya, tampak beda perlakuan itu kutampik karena ekspresi beda manusia beda pula ekspresinya. Untuk hal itu aku tak mau disamakan, pasti berkeras berbeda. π Jadi kawan, jika kau merindukan saat kita ada dan tidak ada satu untuk yang lain, begitu pula aku. Jangan pernah kau lupa. Kecuali kau mengidap alzheimer. Selalulah jadi kawanku. Sampai aku tak jadi manusia lagi. Mungkin, bila nanti ada teknologi yang membuat manusia yang sudah tidak dapat disebut sebagai manusia tapi tetap seperti manusia atau apalah yang tampak manusiawi, silakan mengingatku, terus ingat sampai kau lupa. Atau aku yang lupa.
05:43 AM, Makati, February 23th 2016.
Di sini, di Makati yang menggunakan hitungan waktu GMT +8, aku sedang menunggu ada yang menyapa dan atau harus kusapa sebagai sambutan hangat pada siapapun yang datang.
Dua layar komputer dengan satu otak dari prosesor aku menyapa mereka yang datang. Beberapa perangkat aplikasi kuoperasikan untuk sebagai pencarian data mereka yang kusapa, di jendela "chat".
Dan percayalah, semua aplikasi itu menjemukan dan terkadang mampu membuatku emosi. Sebenarnya bukan aplikasi-aplikasi itu tapi mereka yang datang ke "chat", menyebalkan! Minta ini, minta itu. Semua harus kuturuti, karena aku dibayar untuk disuruh-suruh. Tak jarang terima makian yang juga menumbuhkan rasa ingin membanting dua layar tak bernyawa itu.
Tapi malam ini, pagi ini, "chat" atau "player" -- begitu biasa kami menyebutnya, sedang sepi. Ah baru saja kubilang sepi, sekarang masuk chat. Hold, aku harus menyapa mereka dan menyelesaikan concern mereka. Wait po!
Hai, aku kembali. Ternyata player yang baru saja kusapa langsung pergi meninggalkan jendela chat. Ya, kembali kukatakan, chat. Chat adalah sebutan untuk obrolan yang fokusnya pada hal-hal akun, bonus, promosi, dan yah semuanya. Di sini, di perusahaan yang karyawannya lebih dari seribu mungkin (maaf, aku bukan karyawan yang terlalu peduli dengan hal profil perusahaannya--hm, mungkin karena ini tidak perusahaan yang kecil), aku bekerja bersama kurang lebih dua puluhan orang Indonesia lainnya. Oh ya, Makati adalah kota kecil yang cukup maju dan potensial walau tidak dipotensialkan pemerintahnya yang terletak di Manila, Filipina. Melayani player untuk kurang lebih delapan jam sehari dalam lima hari per minggu. Player, hm mereka adalah konsumen kami. Perusahaan dimana aku bekerja ini sangat sensiif dengan nominal uang dan semua yang berkaitan dengan kerahasiaan data.
Awalnya aku senang menjadi karyawan di sini. Sangat senang bahkan. Mereka--teman kerjaku semua menyenangkan. Bahkan seminggu aku datang ke floor -sebutan untuk mulai bekerja di stasion, aku sudah terpikat dengan seorang teman kerja. Ah, jangan menilaiku buruk, terkadang dia menyenangkan terkadang dia menyebalkan, itu sisi menariknya. Dan, saat ini aku bukan ingin bercerita tentang lelaki itu.
Awalnya aku senang menjadi karyawan di sini. Betapa tidak, upah kudapat jauh lebih tinggi daripada bekerja di negaraku sendiri. Dengan, padahal ini hanya kerja yang mengandalkan kebiasaan dan keaktifan belajar saja. No big deal, yes? Dan si sini, aku sangat senang. Banyak lebih dari hal luar biasa yang bisa kumakan untuk kucerna sebagai pembelajaran. Dari hal agama dan segala toleransi di dalam dan di luarnya. Lalu soal budaya juga makanan yang terkadang menjemukan perut. Kemudian soal persekawanan yang tentu tidak akan menjemukan. Dan, soal aktifitas menari pula berenang yang nyaris sebelas tahun tak kulakukan lalu kulakoni lagi dengan suka duka di dalamnya, di sini. Dan percayalah, soal asmara tidak luput dari hal yang kutelan habis.
Awalnya aku senang menjadi karyawan di sini. Betapa tidak, terkadang aku menjelma bagai seorang ibu seorang mama yang sibuk memasakkan anak-anaknya makanan lezat. Aku juga sering menjelma menjadi anak nakal yang sulit sekali dikalahkan egonya. Aku juga sering menjelma menjadi saudara bahkan teman tidur yang selalu dinanti untuk menemani yang sedang terundung sulitnya hidup. Ah, awalnya aku senang!
Hingga pada suatu malam aku tidak dikagetkan tapi cukup menggelitik naluriku yang di dalam sana. Seorang temanku terpaksa pulang karena orang tuanya yang terpaksa dirawat karena sakit keras. Sering aku terbawa diam ketika memikirkan kebahagiaan orang tuaku. Apakah keberadaan jauhku kini yang demi membahagiakan mereka juga membahagiakan bagi mereka. Apakah modal berhubungan dengan aplikasi whats app dan line juga BBM sudah membahagiakan mereka? Apakah aku anak yang begitu sulitnya menahan segala ambisi untuk kebahagiaan orang tuanya? Yang tentu, aku tidak sendiri untuk sikap yang demikian. Tapi dengan tegas kukatakan, itu tidak akan kujadikan pembelaan atas sepeninggalanku di Makati kini. Yang kutahu, aku menjemput masa depanku yaitu kebahagiaan orang tuaku. Iya, aku tahu jika pastinya orang tua lebih akan bahagia jika anaknya dekat secara fisik dengannya. Tapi ini 2016, jangan bicara yang masuk akal tapi tidak realistis. Jika kau bertentangan denganku, bukan urusanku. Yang tentu, yang menguatkan ibu, bapak, abang, juga diriku untuk melewati semua ini adalah tujuan yang harus kuraih. Ah, aku rindu ibu bapakku yang pasti sedang tidur saat ini. Baik-baiklah di sana ibu juga bapak. π
Hingga pada suatu malam aku tidak dikagetkan tapi cukup menggelitik naluriku yang di dalam sana. Seorang temanku terpaksa mengundurkan diri. Inisiatifnya sungguh kuat dan tekadnya bulat. Lalu mengapa kukatakan terpaksa? Hm, si perempuan brisik-begitu wataknya bagiku, memaksa dan terpaksa menyerah di sini. Dan memutuskan untuk melanjutkan karirnya di Malaysia-jika Pencipta mengijinkan.
"..kalau pisah nanti kita nggak ketemu dong, babe?" katanya dengan raut sedih.
"Jangan lebay, Malaysia atau Filipina bukab di planet lain. Rumah lu masih di Kalimantan, passport lu juga masih Indonesia." Jawabku sedikit membentak, maksud menguatkan. Membentak biasa kulakukan untuk teman yang sering memperlihatkan pesimisnya, lemahnya mereka. Aku tidak suka.
"Ah, lu kan janji aja, entar mah kaga ditepatin." Katanya selayak menggugatku.
"Heh, emang gua janji apa?"
"Tetap ketemuan kan!!?" Ucapnya sambil mendelik dan mengerucutkan bibirnya. Lucu! Ganjen! Centil! Gemas! ππ
"Gua gak pernah janji, gw bilang insyaAlloh, percayakan aja sama Pencipta. Udah jangan lebay!" jawabku berujung tawa meledek.
"Ah lu mah gitu, jahat!" Mulutnya semakin manyun ke depan mengalahkan aku yang jelas lebih manyun dari sononya. π
"Yang jahat itu lu, yang pergi siapa, yang ninggali siapa, yang dibilang jahat malah saya! Hih!" Tawaku makin kencang. Disusul dia yang akhirnya juga tertawa. "Lu datang ke sini nggak ada gua, kenapa cabut jadi musti ada gua? Slowlah, semua akan fine-fine aja tanpa gua, kok. Lu kan hebat! Jangan tempe! Lagipula, kalau jauh emang kita langsung nggak temenan gitu? Hih, gampar juga nih lama-lama. Inget niat dan motivasi awal lu apa sampai berani langkah sejauh ini? Ingat kan," kataku panjang mengomelinya bak adik kecil yang bandel dinasehati. Hahaha, lucu sekali ini perempuan gendut berisik.
Aku tahu betul apa yang ia rasa dan ia maksud, hanya saja siapapun yang berlakon lemah, harus kukuatkan sekuat-kuatnya, dan caraku menguatkan orang lemah yang rada brisik itu ya begitu. π‘π Hm, tidak suka, hakmu.
Hingga pada suatu malam aku tidak dikagetkan tapi cukup menggelitik naluriku yang di dalam sana. Paling tidak apa yang kukatakan, kutindakkan pada manusia lain entah siapapun itu, adalah suatu yang kuanut selama ini. Karena pada dasarnya, mereka--manusia yang lain adalah aku dalam bentuk jiwa dan raga yang berbeda. Itu mengapa kuperlakukan sama dalam sebagian besar hal. Kalian, mereka, dia, kau, aku, sama dalam kondrat yang dinamakan insan bumi. Bagaimana kuperlakukan aku begitu kuperlakukan kau, dia, mereka, juga kalian. Walau beda adalah kita. Jadi kawan, jika kau merindukan saat di mana kita menggila, begitu pula aku. Oh ya, tampak beda perlakuan itu kutampik karena ekspresi beda manusia beda pula ekspresinya. Untuk hal itu aku tak mau disamakan, pasti berkeras berbeda. π Jadi kawan, jika kau merindukan saat kita ada dan tidak ada satu untuk yang lain, begitu pula aku. Jangan pernah kau lupa. Kecuali kau mengidap alzheimer. Selalulah jadi kawanku. Sampai aku tak jadi manusia lagi. Mungkin, bila nanti ada teknologi yang membuat manusia yang sudah tidak dapat disebut sebagai manusia tapi tetap seperti manusia atau apalah yang tampak manusiawi, silakan mengingatku, terus ingat sampai kau lupa. Atau aku yang lupa.
05:43 AM, Makati, February 23th 2016.
February 18, 2016
Dia yang Seperti Dilannya Pidi Baiq.
Hari ini selesai aku baca buku Dilan-nya Pidi Baiq.
Penulis yang jujur. Paling tidak itu yang kupikirkan setelah dua kali membacanya, di Jakarta juga di Manila. Itu kulakukan karena awalnya aku lebih dahulu membaca buku kedua, baru buku pertamanya. Dan kali ini aku memulai dengan sebaliknya.
Milea beruntung sekali pernah merasa sangat menjadi perempuan teristimewa, walau sebentar. Hanya hitungan tak lebih setahun. Yah. Paling tidak ia tahu, pernah ada lelaki yang begitu tinggi cita rasanya pula cinta rasanya untuknya. Ada pernah kudengar, itu kisah nyata. Tapi tak kucari pembenaran itu. Tak penting. Yang kutahu, cerita dan seluruh perwatakan tokohnya nyata. Dan membius. Tidak mematikan. Gelora masa remaja yang tidak akan pernah menjemukan, bagi yang merasakan. Kuyakin kalian setuju jika kalian pernah membacanya. Bagaimana tidak, kisah pemuda berseragam mana yang bisa menyerupai jalan cerita mereka--Dilan juga Milea?
Mungkin ada Ratna dan Galih, itu pun cuma romansa, tidak lebih. Mungkin karena tidak dieksplor detilnya, mungkin. Dan dikenal juga diingat karena abadi lewat lagu yang ditembangkan penyanyi legenda Indonesia, Chrisye.
Atau Cinta dan Rangga, hm, mereka menarik, tapi aku lebih suka Dilan. Ya, Rangga keren dengan segala tingkahnya. Penyair yang karismatik, mata yang tajam, otak yang penuh dengan segala pemahamannya dari buku-buku yang dibacanya, teguh pendirian, dan caranya menjatuhkan hati Cinta hingga dalam entah ke mana pun--tidak biasa dan jitu. Rangga, pemuda SMA yang tak biasa dan menarik. Kau tahu kenapa kugunakan kata menarik? Sebab menarik petanda tak akan menjemukan. Dan ya, sekarang akan ada versi kisah barunya. Tim produksi film-aku lupa nama rumah produksinya- sedang sibuk menyelesaikan film versi lanjutannya, Ada Apa Dengan Cinta. Semoga tak berbeda judul (karena sejauh yang kutahu mereka hanya menambahkan angka 2 pada judul versi pertama). Dan pasti, bukan aku sendiri yang berharap kisah selanjutnya nanti akan lebih berkesan. Ya, paling tidak harus sekeren versi pertama. Kutunggu.
Tapi menarik, ya kata menarik untuk itu film. Tapi, ah, Dilannya Pidi Baiq lebih menarik. Dan, ah, Dilannya Pidi Baiq ini bingung juga aku mau berekspresi. Menggemaskan dan menghanyutkan! Mungkin kalian bisa bilang aku berlebihan. Terserah. Kita punya pandangan berbeda karena manusia harus berbeda, dan berbeda itu baik juga keren, toh?! ;-)
Dan ya, Dilannya Pidi Baiq ini menggemaskan dan menghanyutkan! Pidi Baiq, semoga aku tidak akan bertemu lagi dengan lelaki seperti Dilan!
Ya, lagi. Jelas bukan persis di dalam kedua bukunya. Berbeda tentu. Tapi ya aku seakan Milea, yang jatuh sedalam-dalamnya hingga ke dasar. Bukan di sekolah, dan tidak semenarik pertemuan Dilan juga Milea di jalan Milea di Bandung. Tak selama dan tak setragis akhir kisah Milea juga Dilan yang ada di dalam kedua buku itu.
Aku mungkin tidak melewati waktu juga posisi yang sama dengan Milea. Lebih sederhana, namun rumit pada hubungannya. Dan hubungan yang rumit itu biasa. Lumrah. Wajar. Wajar karena sudah berkali-kali kualami. Senang rasanya bisa mengalami semua itu. Remajaku-hidupku hidup. Walau sekarang aku juga tidak yakin penuh aku hidup untuk hidup. Untuk menjadi manusia yang dimanusiakan. Tapi biarlah, belum masanya aku mati, aku hanya belajar untuk hidup untuk mati. Toh semua manusia juga begitu, 'kan ? Jika tidak, biarlah, bukan urusanku.
Mungkin bisa dikata saat itu aku bukan lagi remaja, lebih tepatnya transisi menjadi manusia dewas--walau aku tak pernah setuju bahwa dewasa itu ada, hanya istilah untuk manusia yang di atas usia 17 atau 18 untuk di luar negeri. Sikap, pemikiran, kebiasaan dapat terlakukan dengan sewajarnya. Maka dari itu, aku tak pernah menuntut seseorang untuk bersikap demikian (dewasa). Sebab bagiku, manusia-normal, bersikap dan berpikirlah sesuai usianya saja. Lebih atau aneh, silakan, itu seru dan tidak buruk. Karena, lagi, buruk pula baik hanya istilah dibuat oleh kita, manusia. Iya, tidak? Jika tidak, tak apa. Bukan urusanku.
Ah, Dilannya Pidi Baiq ini benar-benar menggemaskan dan menghanyutkan. Tidak jarang aku terhempas ketika membacanya. Sederhana sekali sehingga kau tidak terhambat menyelam untuk lebih merasakan cerita juga plot-plot di dalamnya. Menyebalkan!
Milea, siapapun kau, berterima-kasihlah dan terima kasih kuucapkan. Pada dia si Dilan yang kasihnya kau teguk dalam. Pada Pidi Baiq yang mewakilimu untuk bersuara tanpa bunyi. Yang sehingga, mungkin saat ini sudah dan semakin banyak wanita akan lebih bijaksana dalam menjadi diri sebagai seorang perempuan.
Dan kau Dilannya Pidi Baiq, terima kasih pernah ada untuk Milea dan selalulah keren. Entah kalian hanya penokohan, entah nyatanya kalian hidup, ini meyakinkanku bahwa adanya kalian itu adalah Pencipta yang keren sekali. Entah Pidi Baiq, entah Pencipta, tak kuambil pusing. Yang tentu, kalian menggemaskan dan menghanyutkan!
Karena itu aku, malam ini di rumah temanku yang sedang kujaga karena sedang sakit, duduk menulis semua ini agar sedikit tersalurkan rasa gemas yang menghanyutkanku pada lelaki yang ah, jiwanya persis seperti Dilan. Kelahiran Bogor dan keberadaannya entah di mana kini jelas aku tak tahu. Dan aku butuh tahu, jujur saja. Sempat kupikir, apakah lelaki sunda selalu menyebalkan seperti Dilan, Pidi Baiq? Kalian selalu menggiurkan berkat segala yang kalian punya. Tolong untuk tidak berpikir negatif dengan diksi yang kugunakan. Tapi kalau demikian, terserah. Tak soal buatku.
Dia yang seperti Dilan, hanya sebentar mampir di hidupku yang kemarin. Tidak lama, tidak membosankan. Jujur, aku mau lagi. Ketagihan. Aku butuh. Juga rindu. Sangat dalam.
Beruntung sekali kau Milea, bisa "move on" dan melaju. Aku iri. Dan di sofa tempat aku duduk kini, menghadap ke lautan entah apa namanya- apartemen temanku di lantai dua puluh lima, wajar aku bisa melihat laut- kurasakan sepi yang entah kapan ujungnya aku temui.
Dia yang seperti Dilan, seperti belum terselesaikan saja. Dan ah, biar menjadi kenangan. Biarlah belum bisa "move on", tak apa, belum waktuku. Biarlah aku bebas merindukan dia yang seperti Dilan.
Dan, kau yang seperti Dilan, baik-baiklah di sana. Jangan larang aku merindukanmu. Jangan larang aku mendoakanmu.
Terimalah kasihku.
Terima kasih. :'( :-)
Makati, Friday, 19 February 2016.
Catatan: tulisan ini bukan "review" dari buku Pidi Baiq, percayalah ini hanya racauan saya semata setelah menghabiskan buku beliau tentang Milea dan Dilan benar-benar menggemaskan dan menghanyutkan! Jangan ikit meracau jika kau tak suka tulisanku. π
Penulis yang jujur. Paling tidak itu yang kupikirkan setelah dua kali membacanya, di Jakarta juga di Manila. Itu kulakukan karena awalnya aku lebih dahulu membaca buku kedua, baru buku pertamanya. Dan kali ini aku memulai dengan sebaliknya.
Milea beruntung sekali pernah merasa sangat menjadi perempuan teristimewa, walau sebentar. Hanya hitungan tak lebih setahun. Yah. Paling tidak ia tahu, pernah ada lelaki yang begitu tinggi cita rasanya pula cinta rasanya untuknya. Ada pernah kudengar, itu kisah nyata. Tapi tak kucari pembenaran itu. Tak penting. Yang kutahu, cerita dan seluruh perwatakan tokohnya nyata. Dan membius. Tidak mematikan. Gelora masa remaja yang tidak akan pernah menjemukan, bagi yang merasakan. Kuyakin kalian setuju jika kalian pernah membacanya. Bagaimana tidak, kisah pemuda berseragam mana yang bisa menyerupai jalan cerita mereka--Dilan juga Milea?
Mungkin ada Ratna dan Galih, itu pun cuma romansa, tidak lebih. Mungkin karena tidak dieksplor detilnya, mungkin. Dan dikenal juga diingat karena abadi lewat lagu yang ditembangkan penyanyi legenda Indonesia, Chrisye.
Atau Cinta dan Rangga, hm, mereka menarik, tapi aku lebih suka Dilan. Ya, Rangga keren dengan segala tingkahnya. Penyair yang karismatik, mata yang tajam, otak yang penuh dengan segala pemahamannya dari buku-buku yang dibacanya, teguh pendirian, dan caranya menjatuhkan hati Cinta hingga dalam entah ke mana pun--tidak biasa dan jitu. Rangga, pemuda SMA yang tak biasa dan menarik. Kau tahu kenapa kugunakan kata menarik? Sebab menarik petanda tak akan menjemukan. Dan ya, sekarang akan ada versi kisah barunya. Tim produksi film-aku lupa nama rumah produksinya- sedang sibuk menyelesaikan film versi lanjutannya, Ada Apa Dengan Cinta. Semoga tak berbeda judul (karena sejauh yang kutahu mereka hanya menambahkan angka 2 pada judul versi pertama). Dan pasti, bukan aku sendiri yang berharap kisah selanjutnya nanti akan lebih berkesan. Ya, paling tidak harus sekeren versi pertama. Kutunggu.
Tapi menarik, ya kata menarik untuk itu film. Tapi, ah, Dilannya Pidi Baiq lebih menarik. Dan, ah, Dilannya Pidi Baiq ini bingung juga aku mau berekspresi. Menggemaskan dan menghanyutkan! Mungkin kalian bisa bilang aku berlebihan. Terserah. Kita punya pandangan berbeda karena manusia harus berbeda, dan berbeda itu baik juga keren, toh?! ;-)
Dan ya, Dilannya Pidi Baiq ini menggemaskan dan menghanyutkan! Pidi Baiq, semoga aku tidak akan bertemu lagi dengan lelaki seperti Dilan!
Ya, lagi. Jelas bukan persis di dalam kedua bukunya. Berbeda tentu. Tapi ya aku seakan Milea, yang jatuh sedalam-dalamnya hingga ke dasar. Bukan di sekolah, dan tidak semenarik pertemuan Dilan juga Milea di jalan Milea di Bandung. Tak selama dan tak setragis akhir kisah Milea juga Dilan yang ada di dalam kedua buku itu.
Aku mungkin tidak melewati waktu juga posisi yang sama dengan Milea. Lebih sederhana, namun rumit pada hubungannya. Dan hubungan yang rumit itu biasa. Lumrah. Wajar. Wajar karena sudah berkali-kali kualami. Senang rasanya bisa mengalami semua itu. Remajaku-hidupku hidup. Walau sekarang aku juga tidak yakin penuh aku hidup untuk hidup. Untuk menjadi manusia yang dimanusiakan. Tapi biarlah, belum masanya aku mati, aku hanya belajar untuk hidup untuk mati. Toh semua manusia juga begitu, 'kan ? Jika tidak, biarlah, bukan urusanku.
Mungkin bisa dikata saat itu aku bukan lagi remaja, lebih tepatnya transisi menjadi manusia dewas--walau aku tak pernah setuju bahwa dewasa itu ada, hanya istilah untuk manusia yang di atas usia 17 atau 18 untuk di luar negeri. Sikap, pemikiran, kebiasaan dapat terlakukan dengan sewajarnya. Maka dari itu, aku tak pernah menuntut seseorang untuk bersikap demikian (dewasa). Sebab bagiku, manusia-normal, bersikap dan berpikirlah sesuai usianya saja. Lebih atau aneh, silakan, itu seru dan tidak buruk. Karena, lagi, buruk pula baik hanya istilah dibuat oleh kita, manusia. Iya, tidak? Jika tidak, tak apa. Bukan urusanku.
Ah, Dilannya Pidi Baiq ini benar-benar menggemaskan dan menghanyutkan. Tidak jarang aku terhempas ketika membacanya. Sederhana sekali sehingga kau tidak terhambat menyelam untuk lebih merasakan cerita juga plot-plot di dalamnya. Menyebalkan!
Milea, siapapun kau, berterima-kasihlah dan terima kasih kuucapkan. Pada dia si Dilan yang kasihnya kau teguk dalam. Pada Pidi Baiq yang mewakilimu untuk bersuara tanpa bunyi. Yang sehingga, mungkin saat ini sudah dan semakin banyak wanita akan lebih bijaksana dalam menjadi diri sebagai seorang perempuan.
Dan kau Dilannya Pidi Baiq, terima kasih pernah ada untuk Milea dan selalulah keren. Entah kalian hanya penokohan, entah nyatanya kalian hidup, ini meyakinkanku bahwa adanya kalian itu adalah Pencipta yang keren sekali. Entah Pidi Baiq, entah Pencipta, tak kuambil pusing. Yang tentu, kalian menggemaskan dan menghanyutkan!
Karena itu aku, malam ini di rumah temanku yang sedang kujaga karena sedang sakit, duduk menulis semua ini agar sedikit tersalurkan rasa gemas yang menghanyutkanku pada lelaki yang ah, jiwanya persis seperti Dilan. Kelahiran Bogor dan keberadaannya entah di mana kini jelas aku tak tahu. Dan aku butuh tahu, jujur saja. Sempat kupikir, apakah lelaki sunda selalu menyebalkan seperti Dilan, Pidi Baiq? Kalian selalu menggiurkan berkat segala yang kalian punya. Tolong untuk tidak berpikir negatif dengan diksi yang kugunakan. Tapi kalau demikian, terserah. Tak soal buatku.
Dia yang seperti Dilan, hanya sebentar mampir di hidupku yang kemarin. Tidak lama, tidak membosankan. Jujur, aku mau lagi. Ketagihan. Aku butuh. Juga rindu. Sangat dalam.
Beruntung sekali kau Milea, bisa "move on" dan melaju. Aku iri. Dan di sofa tempat aku duduk kini, menghadap ke lautan entah apa namanya- apartemen temanku di lantai dua puluh lima, wajar aku bisa melihat laut- kurasakan sepi yang entah kapan ujungnya aku temui.
Dia yang seperti Dilan, seperti belum terselesaikan saja. Dan ah, biar menjadi kenangan. Biarlah belum bisa "move on", tak apa, belum waktuku. Biarlah aku bebas merindukan dia yang seperti Dilan.
Dan, kau yang seperti Dilan, baik-baiklah di sana. Jangan larang aku merindukanmu. Jangan larang aku mendoakanmu.
Terimalah kasihku.
Terima kasih. :'( :-)
Makati, Friday, 19 February 2016.
Catatan: tulisan ini bukan "review" dari buku Pidi Baiq, percayalah ini hanya racauan saya semata setelah menghabiskan buku beliau tentang Milea dan Dilan benar-benar menggemaskan dan menghanyutkan! Jangan ikit meracau jika kau tak suka tulisanku. π
Subscribe to:
Posts (Atom)