August 14, 2013

Biru Bicara (bukan judul sebenarnya)*

Awan-awan biru
Menari nari
Berpayung matahari
Tinggi tinggi sekali
Menumbuhkan nyawa bagi yang mati
Bergerak, menyongsong sore yang pasti
Kita duduk diujung pulau
Oh tidak, kita berdiri dipinggir pantai
Tepatnya diatas batu besar
Pada suatu sore yang damai
Hanya aku, kau dan pantai


#‎tobecontinue‬ 

*Ini sajak pagi hari yang masuk via What's Up di hape 13 Agustus 2013 kemarin..
Dikirim oleh Pujanggaku. Manis yah..hahaha... Cuma bisa bersyukur sm Allah.
Semoga selalu diijinkan bersama ya mas bro. ‪#‎lovelife‬


Note: Judulnya itu suka-suka saya. Mas bronya belum kasih judul sebab masih bersambung katanya. :p 

Sapamu Sapa Pagi Pada Langit*

Pujanggaku, jangan kau kuras kata-kata itu..
Biarkan ia tumbuh bersama asa.
Menggeliat pasti dalam doa.
Menderu jaman pada rasa.
Hati bicara bernas melupa jangan.
Sebab Tuhan masih pantas dipuja.
Karena semesta tetap mendamba kasihmu.
Hidupkan mereka yg sekarat.
Yang terpapas bak tulang yg membusuk.
Anyir.
Tajam.
Menyatu pada tanahmu.
Tanahku.
Tanah Tuhan.
Tanah alam.
Dan, pujanggaku.
Lepaskan pula pandanganmu pada biru langit.
Sebab di sana kau mampu berkaca, tubuh hanyalah titipan yg terpinjam.
Napas hanyalah utang yang tak berbayar.
Jadi, pujanggaku, tersenyum dan berjuanglah atas kakimu.
Sucikan segala yg ada.
Sebab sudah barang tentu, Tuhan tak ragu akan kasihmu.
Lalu, pujanggaku, berlarilah kepadanya.
Dan ajak aku ke mana..
Bertemu Dia.


 *13 Agustus 2013, di tulis ketika bangun tidur dan belum benar-benar membuka mata. Membalas racauan pujanggaku. :)

August 10, 2013

Water Land City



2056, Indonesia tidak lagi beribukota di Jakarta. Jakarta adalah sebuah daratan luas jika tidak membandingkan dengan kota lain. Jika tidak dijejali gedung-gedung pencakar seperdelapan langit. Jika tidak digandrungi manusia-manusia serakah. Kota ini sedang menuju kehancuran secara perlahan namun pasti. Banjir kiriman atau saluran got yang mampet, dan segala permasalahan yang meliputinya membuat Jakarta ditinggalkan penduduknya. Bahkan pemerintah pun terlalu pusing memikirkan Jakarta, kota sejuta rupa. Dan kini kau tahu apa yang terjadi dengan Jakarta? Jakarta berada 269 m dpl meter di bawah permukaan laut (mdpl). Tidak ada yang terlihat dari kota ini. Ujung Monas yang biasanya menjadi bahan candaan tertutup jutaan galon air laut, mungkin bongkah emasnya terasa asin jika kau menjilatnya bak menikmati sebuah es krim cone. Seperti Chernobly, Jakarta dijauhi penduduknya. Cerita film yang berawal dari kartun fiksi X-Man, tak lagi sebuah fiksi sekarang. Kadar polusi di sana tak membuat sesak lagi tapi membuat mahkluk hidup bermutasi. Tak ada lagi udara, hanya air.
Tinggallah mereka yang mungkin kecil keyakinannya untuk memulihkan derita kota ini, kota air. Seorang pemuda bernama Mirai dan sekitar 230 peneliti, ilmuan dan pelaku science. Mirai, lelaki berusia dua belas tahun justru baru menetap enam tahun lamanya di Jakarta. Ibunya yang berdarah jawa belum genap setahun meninggalkannya untuk selama-lamanya. Ayahnya yang asli penduduk Jepang kerap memaksanya untuk kembali ke negeri samurai.
“Tidak, aku ingin menyelamatkan negeri ibuku, Yah..” demikian tentangnya. Ayahnya sudah lebih dulu memprediksi tenggelamnya Jakarta dari segala hasil penelitiannya di Tokyo. Bahkan sebelum Mirai terlahir sebagai anak cerdas yang mampu mencipta mainan-mainan berteknologi dan tentu berkwalitas internasional. Sayang, ayahnya tak pernah merestui dia untuk menjadi seorang penemu.
“Keahlian Doraemon saja mungkin belum mampu kau tandingi, Rai. Apa yang bisa kau lakukan di sana, apa kau ingin mati di Negara miskin itu seperti ibumu?” Segera ia memutus pembicaraan seketika setelah mendengar perkataan ayahnya itu dari waterroad--sebuah alat komunikasi serupa telepon genggam yang mampu berfungsi dengan sangat canggih di kedalaman 600 m dpl meter di bawah permukaan laut (mdpl) ciptaan Taka, ayahnya.
            “Apa kau pernah memperkirakan ini terjadi pada kita, Rai?″ Tanya seorang perempuan usia enam belas tahun yang sudah bergelar Profesor padanya sambil menyeruput kopi Aceh yang dibeli dari pertokoan udara. Kala itu, petang Jakarta masih berbau hujan yang mengudara di sela-sela rasa mual akan luapan air yang menggenang bebas. Pelangi masih enggan muncul untuk menyapa air Jakarta yang tak bergelombang. “Kalau saja ada pelangi seindah yang pernah kulihat waktu sekolah dulu, pasti air yang di bawah sana tak semurung Jakarta ya, Rai..” Mirai yang diajak bicara hanya diam. Ia hanya berpikir, bagaimana jika balon udara raksasa yang dijadikan pijakan untuk hidupnya dua ratus manusia dan segala beban yang ada di dalamnya ini suatu saat akan lelah dan sekarat seperti tanah Jakarta?
            “Kau menyesal datang ke Jakarta? Bukankah ini menarik? Bukankah kebingungan untuk mencipta dan membuktikan adalah pasangan sejatimu?”
            “Menyesal mungkin tidak, hanya saja aku tak pernah mengira mulai tiga bulan lalu aku tak mungkin mengunjungi makam ibuku. Apa aku harus mengikuti tren pemindahan makam? Aku yakin sekali, ibu pasti membenciku”.
            “Jangan terlalu banyak pikir, Su. Lakukan saja apa yang menurutmu harus, seperti kau memberikan ide balon udara ini. Aku yakin kau masih menyimpan ide cemerlangmu untuk Jakarta ibumu.”
***
Sepuluh tahun kemudian. Jakarta masih digenangi ruah air. Namun, di permukaannya tak lagi ditemukan sampah yang mengapung. Detention machine, mesin filter sampah tercanggih yang diciptakan Su pada abad ini. Kebiasaannya menyaring serbuk kopi dengan sendok menjadi awal ide menciptakan mesin itu. Jutaan ton sampah yang mengapung berbulan-bulan sejak tenggelamnya kota Jakarta pun musnah teratur di perut fire machine. Mesin pembakar itu mampu menampung dan membakar sampah hingga satu seratus ton banyaknya. Kekuatan laser menjadi salah satu bahan yang sangat membantu dalam proses pemusnahan sampah-sampah jenuh dan berbentuk besi baja. Tentu saja sampah-sampah kecil baik organik maupun non-organik diperlakukan dengan mesin yang berbeda. Alhasil, Jakarta bebas sampah. Dengan sekian banyaknya otak dan tangan peneliti, ilmuan dan pelaku science yang bekerjasama, mesin-mesin itu kini berkembang dan diperbanyak kemudian ditempatkan di tiap titik pemerintahan. Taka yang membantu Mirai dalam proses Revivre Jakarta ini menjamin mesin-mesin itu mampu memberikan kehidupan kembali pada kota Jakarta.
Hari ini, jika kau datang ke Jakarta, siapkan tanganmu untuk menutup mulutmu yang tak akan berhenti menganga sambil membelalakkan kedua matamu. Air yang dulu menenggelamkan kota dan membuat semua orang menjerit ketakutan dan pergi meninggalkkannya kini menjadi dambaan siapapun yang melihatnya. Di dalamnya, damailah para penghuni surga yang jasadnya tertata rapi dalam body tube. Tabung-tabung penyimpanan mayat manusia ini diciptakan menyesuaikan segala agama yang ada. Kau akan terpana bila melihat mayat-mayat kristiani yang berdandan bak pengatin dalam transparent tube. Bagi para budhis dan hinduis, mayat merekalah yang paling menyenangkan untuk dipandang. Abu mayat yang dibakar disimpan dalam transparent ball, sebuah bola kaca yang berwarna-warni bercahaya. Sedang para muslim Jakarta akan disemayamkan mayat mereka pada miniland tube. Tabung yang tentu berisi tanah dan mayat juga segala kembang dan wewangiannya persis seperti kebiasaan tradisi islami di Indonesia. Warga Jakarta tidak dipaksa untuk harus mengikuti pengelompokan penyimpanan mayat ini. Warga atau kerabat mayat berhak memilih dengan cara apa mereka disemayamkan. Semua tabung mayat ini ditata indah di dalam perairan tengah kota Jakarta. Kini Tempat Pemakaman Umum (TPU) Banyu Kalangan sangat dikenal di dunia tidak hanya sebagai sentral mayat warga Jakarta melainkan museum tabung manusia pertama di dunia. Bila kau ingin mengunjungi tempat itu banyak transportasi dalam air yang mampu mengantarmu ke sana. Tentu saja TPU Banyu Kalangan ini juga sangat indah jika kau pandangi dari permukaan air Jakarta.
Berkat air yang terolah dan terjaga baik, kini Jakarta menjadi kota pembudidaya ikan terbaik di Indonesia. Di sepanjang tepian air yang membentuk kota air ini ikan-ikan dipelihara oleh para petani ikan air payau. Setiap tahun, tiap petani mampu menghasilkan tiga hingga empat ratus juta rupiah dari hasil budidaya ikan.
Sekian banyak keajaiban yang menghidupkan kembali Jakarta. Mirai menyebut kota ini Water City. Pada awalnya closet adalah salah satu benda yang mempresentasikan filosofi pergantian nama Jakarta. Bagai bebek mainan yang tetap tersenyum meski sempit dan terjebak di air dalam lubang tempat membuang kotoran. Welcome to Water Land City, begitu kira-kira kalimat yang terpampang tinggi di Water Airport Soekarno-Hatta di Jakarta bagian barat.
            “Lalu, kapan ayah akan menjumpai ibu? Minggu depan aku berencana akan menjenguknya,” katanya pada sang ayah yang sedari tadi menyimaknya dari tanah bunga sakura. Tak sabar Mirai mengajak ayahnya untuk memperlihatkan betapa Jakarta kini layak disanjung dan dijaga. “Jangan lupa, bawakan aku buku terbarumu, Su ingin sekali membacanya. Pastikan membawa bunga Rosemary, di Jakarta tidak ada yang jual.”
            “Mengapa tidak kau saja yang jual?” kata si ayah singkat.
            “Ah, di sini sulit menanam bunga ayah, tanah kan digunakan hanya untuk kebutuhan prioritas, lagipula aku tak berbakat”.
            “Hei, apa aku pernah mengatakan kau berbakat menggandeng wanita yang lebih tua? Hahaha.” Ledek Taka pada Mirai yang kini resmi bertunangan dengan Su si profesor muda. ″Su, kali ini sepertinya kau harus mengalah untuk duduk diam membiarkannya berpikir bagaimana Rosemary bisa tumbuh di WLC. Biarkan dia jadi petani bunga. Hahaha″. Tut..tut..tut…
           
***
           
23th Mai 2013
12.06 am- done.
Thanks to you Andry Setiawan for sharing the prestart of this story. Sorry I can’t make it perfect. Thanks to trust me to finish it.

Seratus Dua Puluh Tiga Detik.

Lampu hijau itu lama berhenti.
Di bawah papan reklame, ia duduk menunggu.
Tak nampak kesah merundung.
Mungkin riang menjaga.
Apik.

Lampu hijau itu masih tak berhenti.
Ia masih duduk menunggu.
Di bawah papan reklame tetap.
Terik lampu dunia siang menggoda bibir menguncup.
Hei, jangan resah...
Di sini ada aku.
Di seberang lajur.

Dan, ah...
Lampu hijau tak pun kunjung berhenti.
Lalu, ia masih duduk.
Menunggu.
Aku.

Ah..! Merah berganti gilir kini.
Mari hampiri ia, dara.
Tunggu, hei awan, adakah pelik paras ini?
Tidak asaku.

Seratus dua puluh tiga detik tersisa.
Sebelum hijau itu kembali.
Hampirimu di tengah gersang Ibu kota.
Dan betapa indahnya senyummu pada detik ke-seratus enam belas itu.
Lalu, berjabat pikirku kita akan.
Tidak ternyata.

Senyum yang terkelum itu lemaskan hati yang tak ia tampak.
Berkat jabat tangan kita terganti peluk.
Oh, indah itu nyata kiranya.
Meski sesaat mungkin.
Sebab berlalu ia.
Seketika kala hijau lampu tiba.