Awan-awan biru
Menari nari
Berpayung matahari
Tinggi tinggi sekali
Menumbuhkan nyawa bagi yang mati
Bergerak, menyongsong sore yang pasti
Kita duduk diujung pulau
Oh tidak, kita berdiri dipinggir pantai
Tepatnya diatas batu besar
Pada suatu sore yang damai
Hanya aku, kau dan pantai
#tobecontinue
*Ini sajak pagi hari yang masuk via What's Up di hape 13 Agustus 2013 kemarin..
Dikirim oleh Pujanggaku. Manis yah..hahaha... Cuma bisa bersyukur sm Allah.
Semoga selalu diijinkan bersama ya mas bro. #lovelife
Note: Judulnya itu suka-suka saya. Mas bronya belum kasih judul sebab masih bersambung katanya. :p
August 14, 2013
Sapamu Sapa Pagi Pada Langit*
Pujanggaku, jangan kau kuras kata-kata itu..
Biarkan ia tumbuh bersama asa.
Menggeliat pasti dalam doa.
Menderu jaman pada rasa.
Hati bicara bernas melupa jangan.
Sebab Tuhan masih pantas dipuja.
Karena semesta tetap mendamba kasihmu.
Hidupkan mereka yg sekarat.
Yang terpapas bak tulang yg membusuk.
Anyir.
Tajam.
Menyatu pada tanahmu.
Tanahku.
Tanah Tuhan.
Tanah alam.
Dan, pujanggaku.
Lepaskan pula pandanganmu pada biru langit.
Sebab di sana kau mampu berkaca, tubuh hanyalah titipan yg terpinjam.
Napas hanyalah utang yang tak berbayar.
Jadi, pujanggaku, tersenyum dan berjuanglah atas kakimu.
Sucikan segala yg ada.
Sebab sudah barang tentu, Tuhan tak ragu akan kasihmu.
Lalu, pujanggaku, berlarilah kepadanya.
Dan ajak aku ke mana..
Bertemu Dia.
*13 Agustus 2013, di tulis ketika bangun tidur dan belum benar-benar membuka mata. Membalas racauan pujanggaku. :)
Biarkan ia tumbuh bersama asa.
Menggeliat pasti dalam doa.
Menderu jaman pada rasa.
Hati bicara bernas melupa jangan.
Sebab Tuhan masih pantas dipuja.
Karena semesta tetap mendamba kasihmu.
Hidupkan mereka yg sekarat.
Yang terpapas bak tulang yg membusuk.
Anyir.
Tajam.
Menyatu pada tanahmu.
Tanahku.
Tanah Tuhan.
Tanah alam.
Dan, pujanggaku.
Lepaskan pula pandanganmu pada biru langit.
Sebab di sana kau mampu berkaca, tubuh hanyalah titipan yg terpinjam.
Napas hanyalah utang yang tak berbayar.
Jadi, pujanggaku, tersenyum dan berjuanglah atas kakimu.
Sucikan segala yg ada.
Sebab sudah barang tentu, Tuhan tak ragu akan kasihmu.
Lalu, pujanggaku, berlarilah kepadanya.
Dan ajak aku ke mana..
Bertemu Dia.
*13 Agustus 2013, di tulis ketika bangun tidur dan belum benar-benar membuka mata. Membalas racauan pujanggaku. :)
August 10, 2013
Water Land City
2056, Indonesia
tidak lagi beribukota di Jakarta. Jakarta adalah sebuah daratan luas jika tidak
membandingkan dengan kota lain. Jika tidak dijejali gedung-gedung pencakar
seperdelapan langit. Jika tidak digandrungi manusia-manusia serakah. Kota ini
sedang menuju kehancuran secara perlahan namun pasti. Banjir kiriman atau
saluran got yang mampet, dan segala permasalahan yang meliputinya membuat
Jakarta ditinggalkan penduduknya. Bahkan pemerintah pun terlalu pusing
memikirkan Jakarta, kota sejuta rupa. Dan kini kau tahu apa yang terjadi dengan
Jakarta? Jakarta berada 269 m dpl meter di bawah permukaan laut (mdpl). Tidak
ada yang terlihat dari kota ini. Ujung Monas yang biasanya menjadi bahan
candaan tertutup jutaan galon air laut, mungkin bongkah emasnya terasa asin
jika kau menjilatnya bak menikmati sebuah es krim cone. Seperti
Chernobly, Jakarta dijauhi penduduknya. Cerita film yang berawal dari kartun
fiksi X-Man, tak lagi sebuah fiksi sekarang. Kadar polusi di sana tak membuat
sesak lagi tapi membuat mahkluk hidup bermutasi. Tak ada lagi udara, hanya air.
Tinggallah
mereka yang mungkin kecil keyakinannya untuk memulihkan derita kota ini, kota
air. Seorang pemuda bernama Mirai dan sekitar 230 peneliti, ilmuan dan pelaku science.
Mirai, lelaki berusia dua belas tahun justru baru menetap enam tahun lamanya di
Jakarta. Ibunya yang berdarah jawa belum genap setahun
meninggalkannya untuk selama-lamanya. Ayahnya yang
asli penduduk Jepang kerap memaksanya untuk kembali ke negeri samurai.
“Tidak, aku
ingin menyelamatkan negeri ibuku, Yah..” demikian tentangnya. Ayahnya sudah
lebih dulu memprediksi tenggelamnya Jakarta dari segala hasil penelitiannya di
Tokyo. Bahkan sebelum Mirai terlahir sebagai anak cerdas yang mampu mencipta
mainan-mainan berteknologi dan tentu berkwalitas internasional. Sayang, ayahnya
tak pernah merestui dia untuk menjadi seorang penemu.
“Keahlian
Doraemon saja mungkin belum mampu kau tandingi, Rai. Apa yang bisa kau lakukan
di sana, apa kau ingin mati di Negara miskin itu seperti ibumu?” Segera ia
memutus pembicaraan seketika setelah mendengar perkataan ayahnya itu dari waterroad--sebuah
alat komunikasi serupa telepon genggam yang mampu berfungsi dengan sangat
canggih di kedalaman 600 m dpl meter di bawah permukaan laut (mdpl) ciptaan
Taka, ayahnya.
“Apa
kau pernah memperkirakan ini terjadi pada kita, Rai?″ Tanya seorang perempuan
usia enam belas tahun yang sudah bergelar Profesor padanya sambil menyeruput
kopi Aceh yang dibeli dari pertokoan udara. Kala itu, petang Jakarta masih
berbau hujan yang mengudara di sela-sela rasa mual akan luapan air yang menggenang
bebas. Pelangi masih enggan muncul untuk menyapa air Jakarta yang tak
bergelombang. “Kalau saja ada pelangi seindah yang pernah kulihat waktu sekolah
dulu, pasti air yang di bawah sana tak semurung Jakarta ya, Rai..” Mirai yang
diajak bicara hanya diam. Ia hanya berpikir, bagaimana jika balon udara raksasa
yang dijadikan pijakan untuk hidupnya dua ratus manusia dan segala beban yang
ada di dalamnya ini suatu saat akan lelah dan sekarat seperti tanah Jakarta?
“Kau
menyesal datang ke Jakarta? Bukankah ini menarik? Bukankah kebingungan untuk
mencipta dan membuktikan adalah pasangan sejatimu?”
“Menyesal
mungkin tidak, hanya saja aku tak pernah mengira mulai tiga bulan lalu aku tak
mungkin mengunjungi makam ibuku. Apa aku harus mengikuti tren pemindahan makam?
Aku yakin sekali, ibu pasti membenciku”.
“Jangan
terlalu banyak pikir, Su. Lakukan saja apa
yang menurutmu harus, seperti kau memberikan ide balon udara ini. Aku yakin kau
masih menyimpan ide cemerlangmu untuk Jakarta ibumu.”
***
Sepuluh tahun kemudian. Jakarta masih digenangi ruah air. Namun, di
permukaannya tak lagi ditemukan sampah yang mengapung. Detention machine, mesin filter sampah tercanggih yang diciptakan Su pada abad ini.
Kebiasaannya menyaring serbuk kopi dengan sendok menjadi awal ide menciptakan
mesin itu. Jutaan ton sampah yang mengapung berbulan-bulan sejak tenggelamnya kota
Jakarta pun musnah teratur di perut fire machine. Mesin pembakar itu
mampu menampung dan membakar sampah hingga satu seratus ton banyaknya. Kekuatan
laser menjadi salah satu bahan yang sangat membantu dalam proses pemusnahan
sampah-sampah jenuh dan berbentuk besi baja. Tentu saja sampah-sampah kecil
baik organik maupun non-organik diperlakukan dengan mesin yang berbeda. Alhasil, Jakarta bebas sampah. Dengan sekian banyaknya
otak dan tangan peneliti, ilmuan dan pelaku science
yang bekerjasama, mesin-mesin itu kini berkembang dan
diperbanyak kemudian ditempatkan di tiap titik pemerintahan. Taka yang membantu
Mirai dalam proses Revivre Jakarta ini menjamin mesin-mesin itu mampu
memberikan kehidupan kembali pada kota Jakarta.
Hari ini, jika kau datang ke Jakarta, siapkan tanganmu untuk menutup
mulutmu yang tak akan berhenti menganga sambil membelalakkan kedua matamu. Air
yang dulu menenggelamkan kota dan membuat semua orang menjerit ketakutan dan
pergi meninggalkkannya kini menjadi dambaan siapapun yang melihatnya. Di
dalamnya, damailah para penghuni surga yang jasadnya tertata rapi dalam body
tube. Tabung-tabung penyimpanan
mayat manusia ini diciptakan menyesuaikan segala agama yang ada. Kau akan
terpana bila melihat mayat-mayat kristiani yang berdandan bak pengatin dalam transparent
tube. Bagi para budhis dan hinduis, mayat merekalah yang paling menyenangkan
untuk dipandang. Abu mayat yang dibakar disimpan dalam transparent ball, sebuah
bola kaca yang berwarna-warni bercahaya. Sedang para muslim Jakarta akan
disemayamkan mayat mereka pada miniland tube. Tabung yang tentu berisi
tanah dan mayat juga segala kembang dan wewangiannya persis seperti kebiasaan
tradisi islami di Indonesia. Warga Jakarta tidak dipaksa untuk harus mengikuti
pengelompokan penyimpanan mayat ini. Warga atau kerabat mayat berhak memilih
dengan cara apa mereka disemayamkan. Semua tabung mayat ini ditata indah di dalam perairan tengah kota Jakarta.
Kini Tempat Pemakaman Umum (TPU) Banyu Kalangan sangat dikenal di dunia tidak
hanya sebagai sentral mayat warga Jakarta melainkan museum tabung manusia
pertama di dunia. Bila kau ingin mengunjungi tempat itu banyak transportasi
dalam air yang mampu mengantarmu ke sana. Tentu saja TPU Banyu Kalangan ini
juga sangat indah jika kau pandangi dari permukaan air Jakarta.
Berkat air yang terolah dan terjaga baik, kini Jakarta menjadi kota
pembudidaya ikan terbaik di Indonesia. Di
sepanjang tepian air yang membentuk kota air ini ikan-ikan dipelihara oleh para
petani ikan air payau. Setiap tahun, tiap petani mampu menghasilkan tiga hingga
empat ratus juta rupiah dari hasil budidaya ikan.
Sekian
banyak keajaiban yang menghidupkan kembali Jakarta. Mirai menyebut kota ini Water
City. Pada awalnya closet adalah salah satu benda yang
mempresentasikan filosofi pergantian nama Jakarta. Bagai bebek mainan yang
tetap tersenyum meski sempit dan terjebak di air dalam lubang tempat membuang
kotoran. Welcome to Water Land City, begitu kira-kira kalimat yang
terpampang tinggi di Water Airport Soekarno-Hatta di Jakarta bagian barat.
“Lalu, kapan ayah akan menjumpai ibu? Minggu depan aku
berencana akan menjenguknya,” katanya pada sang ayah yang sedari tadi
menyimaknya dari tanah bunga sakura. Tak sabar Mirai mengajak ayahnya untuk
memperlihatkan betapa Jakarta kini layak disanjung dan dijaga. “Jangan lupa, bawakan aku buku terbarumu, Su ingin sekali
membacanya. Pastikan membawa bunga
Rosemary, di Jakarta tidak ada yang jual.”
“Mengapa tidak kau saja yang jual?” kata si ayah singkat.
“Ah, di sini sulit menanam bunga ayah, tanah kan
digunakan hanya untuk kebutuhan prioritas, lagipula aku tak berbakat”.
“Hei, apa aku pernah mengatakan kau berbakat menggandeng
wanita yang lebih tua? Hahaha.” Ledek
Taka pada Mirai yang kini resmi bertunangan dengan Su si profesor muda. ″Su,
kali ini sepertinya kau harus mengalah untuk duduk diam membiarkannya berpikir
bagaimana Rosemary bisa tumbuh di WLC. Biarkan dia jadi petani bunga. Hahaha″.
Tut..tut..tut…
***
23th Mai 2013
12.06 am- done.
Thanks to you Andry Setiawan for sharing the prestart
of this story. Sorry I can’t make it perfect. Thanks to trust me to finish it.
Seratus Dua Puluh Tiga Detik.
Lampu hijau itu lama berhenti.
Di bawah papan reklame, ia duduk menunggu.
Tak nampak kesah merundung.
Mungkin riang menjaga.
Apik.
Lampu hijau itu masih tak berhenti.
Ia masih duduk menunggu.
Di bawah papan reklame tetap.
Terik lampu dunia siang menggoda bibir menguncup.
Hei, jangan resah...
Di sini ada aku.
Di seberang lajur.
Dan, ah...
Lampu hijau tak pun kunjung berhenti.
Lalu, ia masih duduk.
Menunggu.
Aku.
Ah..! Merah berganti gilir kini.
Mari hampiri ia, dara.
Tunggu, hei awan, adakah pelik paras ini?
Tidak asaku.
Seratus dua puluh tiga detik tersisa.
Sebelum hijau itu kembali.
Hampirimu di tengah gersang Ibu kota.
Dan betapa indahnya senyummu pada detik ke-seratus enam belas itu.
Lalu, berjabat pikirku kita akan.
Tidak ternyata.
Senyum yang terkelum itu lemaskan hati yang tak ia tampak.
Berkat jabat tangan kita terganti peluk.
Oh, indah itu nyata kiranya.
Meski sesaat mungkin.
Sebab berlalu ia.
Seketika kala hijau lampu tiba.
Di bawah papan reklame, ia duduk menunggu.
Tak nampak kesah merundung.
Mungkin riang menjaga.
Apik.
Lampu hijau itu masih tak berhenti.
Ia masih duduk menunggu.
Di bawah papan reklame tetap.
Terik lampu dunia siang menggoda bibir menguncup.
Hei, jangan resah...
Di sini ada aku.
Di seberang lajur.
Dan, ah...
Lampu hijau tak pun kunjung berhenti.
Lalu, ia masih duduk.
Menunggu.
Aku.
Ah..! Merah berganti gilir kini.
Mari hampiri ia, dara.
Tunggu, hei awan, adakah pelik paras ini?
Tidak asaku.
Seratus dua puluh tiga detik tersisa.
Sebelum hijau itu kembali.
Hampirimu di tengah gersang Ibu kota.
Dan betapa indahnya senyummu pada detik ke-seratus enam belas itu.
Lalu, berjabat pikirku kita akan.
Tidak ternyata.
Senyum yang terkelum itu lemaskan hati yang tak ia tampak.
Berkat jabat tangan kita terganti peluk.
Oh, indah itu nyata kiranya.
Meski sesaat mungkin.
Sebab berlalu ia.
Seketika kala hijau lampu tiba.
Subscribe to:
Posts (Atom)