Lampu hijau itu lama berhenti.
Di bawah papan reklame, ia duduk menunggu.
Tak nampak kesah merundung.
Mungkin riang menjaga.
Apik.
Lampu hijau itu masih tak berhenti.
Ia masih duduk menunggu.
Di bawah papan reklame tetap.
Terik lampu dunia siang menggoda bibir menguncup.
Hei, jangan resah...
Di sini ada aku.
Di seberang lajur.
Dan, ah...
Lampu hijau tak pun kunjung berhenti.
Lalu, ia masih duduk.
Menunggu.
Aku.
Ah..! Merah berganti gilir kini.
Mari hampiri ia, dara.
Tunggu, hei awan, adakah pelik paras ini?
Tidak asaku.
Seratus dua puluh tiga detik tersisa.
Sebelum hijau itu kembali.
Hampirimu di tengah gersang Ibu kota.
Dan betapa indahnya senyummu pada detik ke-seratus enam belas itu.
Lalu, berjabat pikirku kita akan.
Tidak ternyata.
Senyum yang terkelum itu lemaskan hati yang tak ia tampak.
Berkat jabat tangan kita terganti peluk.
Oh, indah itu nyata kiranya.
Meski sesaat mungkin.
Sebab berlalu ia.
Seketika kala hijau lampu tiba.
No comments:
Post a Comment