Salam hangat dari Makati.
Di luar panas sekali, dan dalam waktu dua jam lagi saya harus memasuki jalanan sibuk di area Burgos menuju ke kantor. Sudah berapa lama saya meninggalkan barisan label-label di blog ini?
Padahal di tulisan terakhir saya bertekad untuk sering dan rajin posting tulisan. Minat menulisku semakin turun drastis sejak di Filipina. Entah karena terlalu santai rutinintasnya jadi seperti tak ada bahan untuk kuolah dan disajikan di sini. Entah karena terlalu banyak yang terpikirkan bahkan sampai memekik di batok kepala saya. Ya, benar-benar pengang jika ia bisa mengeluarkan suara.
Manusia penuh masalah. Ya, mungkin memang saya perempuan yang memiliki sekian banyak perihal yang sudah terlewati dan sedang dilalui, bahkan mungkin masih banyak lagi hal-hal lain yang menunggu lalu menyusul seiring hal-hal lain terlewatkan nanti.
Jangan pernah membandingkan perihal hidupmu dengan orang lain. Jejak yang kau buat tentu berbeda dengan orang lain di luar sana. Jangan bandingkan pula rumput di halamanmu dengan rumput tetangga. Ya, beberapa petuah yang menasihati itu selalu kepatuhi. Saya tidak pernah merasa rugi diberikan banyak sekali hal untuk diperjuangkan, ditangisi dan diselesaikan hingga tuntas. Family, pendidikan, pertemanan, asmara, karir, semua. Segalanya ada titik masalah masing-masing yang lantas dilalui. Tapi percayalah dari sekian banyak hal yang memusingkan kepalamu, entah berapa persen kalian akan setuju dengan pemikiranku bahwa asmara tidak akan tergeser kedudukan memusingkannya jika disandingkan dengan hal lainnya.
Keluarga adalah hal utama dan sangat berharga tentu. Tapi saya yakin, setiap di antara kita masih bisa dengan semangat untuk bisa mengarungi apapun yang terjadi di tengah istana rumah kita. 2013 lalu menjadi tahun yang tidak akan terlupakan bagi saya. Segera lulus kuliah di salah satu universitas di Ibukota, saya dengan semua kesanggupan saya berjuang mempersatukan ibu-bapak saya. Apa dikata, seakan semua sia-sia, trip keluar kota dan pembicaraan keluarga yang intens tidak membuahkan hasil. Justru perceraian kedua orangtuaku semakin tersegerakan saat itu. Dan apa yang menjadi background itu semua, karena asmara pada keduanya sudah tidak sama dan semakin tidak terasa bahkan tak biasa untuk dijalankan. Ya, asmara-lah yang melatarbelakangi semua kesepakatan berpisahnya ibu-bapak saya.
Seakan menjadi titik nadir, tahun itu saya benar-benar terpuruk sekali. Tidak menerima kenyataan yang terjadi, bahkan mungkin hingga hari ini saya belum iklas sepenuhnya. Terlebih dengan adanya pernihakan kedua dari ibu saya dengan lelaki yang justru tidak sama sekali saya dan keluarga saya setujui. Tapi sekali lagi, karena bukan urusan asmara secara langsung bagi saya, semuanya berjalan maju meski pelan sekali terasa. Walau rasanya ingin segera banyak waktu terlewati agar bisa melupakan (paling tidak) hal menyebalkan itu, tapi tetap saja waktu berperan tidak cukup menyenangkan. Tapi, saya bersyukur karena saya entah mengapa selalu berpikir, menderita itu mengasyikan. Berada pada situasi dan kondisi yang rendah sekaligus tinggi seperti di ujung pegunungan dengan tebing-tebing dan bukit-bukit yang curam, saya menikmati seluruh sensasi keridakberdayaan yang mendesak untuk terus bertahan. Dan saya selalu berhasil. Bolehlah saya berbangga diri, toh! :)
Mungkin, 2013 bisa saya katakan sebagai tahun kedua dari titik nadir saya. Karena sebelumnya, jika kalian perhatikan 2010 adalah tahun pertama untuk sebuah kejatuhan dalam hidup saya. Gampang-gampang susah saya bangkit. Mungkin lama. Lama sekali. Hm, pada saat itu saya harus menerima kenyataan bahwa saya dan mantan pertama saya harus berpisah dengan banyak alasan yang melatarbelakangi keputusan itu. Tapi yang menjadi hal baiknya adalah saya benar-benar menjadi perempuan yang tumbuh dan memahami setiap apa yang harus dipikirkan, dilakukan, disyukuri dan lain sebagainya. Sayangnya ketika saya mulai percaya kembali pada lelaki, sialnya ditahun yang sama dengan peristiwa perceraian orangtua waktu itu, saya harus lagi-lagi mengiklaskan sebuah hubungan yang saya yakini akan berujung rumah tangga, sekalipun tidak segera diwujudkan.
Percaya atau tidak, hingga saat ini saya seperti manusia yang berada di tengah-tengah. Antara percaya penuh akan kebaikan yang disediakan oleh Yang Maha untk kehidupan saya nantinya, entah di dunia entah di akhirat. Sebaliknya, ada banyak prasangka yang selalu hadir di pemikiran-pemikiran saya. Seperti tanpa iman, bahkan saya kerap mempertanyakan kebijaksanaan Pencipta, menggugat janji-janji yang haus akan wujud kabul-Nya. Murka sepanas-panasnya dan lemah pada batin. Selalu berpikir, apakah saya gila hingga berpikir dan bertingkah demikian. Jawab mereka di luar sana, teman-sejawat dan beberapa psikolog hal itu normal. Justru saya cukup bahkan sangat kuat untuk sudah dan selalu mampu menyemangati diri. Keterpurukan diri itu perlu bagiku, untuk melihat dan merasa bahwa kita masih manusia, sesosok mahkluk kecil dan hanya alam juga Pencipta Yang Sempurna.
Dan hari ini, saya kembali tidak bisa mengeluarkan semua yang ada dalam benak dan hati. Hanya dengan mengetik huruf demi huruf untuk sedikit melihat dan mencari kebijaksanaan dalam diri.
Seperti melihat dua waktu ketika sangat terjatuh, kali ini rasa yang muncul ke permukaan terasa persis sekali. Segala perjuangan dan kerendahan hati untuk berharap ada keajaiban yang mampu menyelamatkan hati penuh kekecewaan. Tepat 161 hari lalu saya diperkenalkan dengan waktu pada seorang lelaki. Singkat cerita, kami sepakat Januari silam kami akan menikah. Namun dengan banyak kendala dan hal yang sulit dipenuhi sebelum dan sesudah pernikahan, kami rearrange kembali menjadi April depan. Terhitung tujuh puluh hari lagi menuju hari yang didambakan. Saya akan menjadi seorang istri dari seorang pemuda yang saar ini usianya dua tahun di bawah saya.
Ya, semua persiapan sudah hampir rapi. Cukup menunggu kepulangan saya dari Manila ke Singkawang seminggu sebelum hari H. Dan rencana kami, nanti setelah menikah akan melanjutkan tinggal di Makati beberapa bulan atau paling lama setahun. Karena sejujurnya saya sudah sangat tidak betah berada di kota tak bersahabat lingkungannya ini, tambahan saat ini saya sedang dalam status tinggal dengan sharing room bersama seorang teman. Percayalah, saya haus privasi. :( Namun, demi menabung dan berhemat, saya bertahan menjalani hidup seperti ini.
Ya, semua persiapan benar-benar hampir rapi, tinggal menunggu kedatangan kami ke rumah ibuku di Singkawang untuk menyelesaikan perihal administrasi. Lalu bersiap lelah dipajang di hari pernikahan. Sepertinya tidak ada kendala berarti, bukan?
Secara teknis, ya. Semua lancar. Hanya perlu menebalkan rekening bank saja karena saya berinisiatif ingin mengajak calon suami liburan ke Semarang juga Yogyakarta seperti keinginannya yang pernah sekali ia lontarkan. Entahlah, bagiku, calon suamiku ini raja. Segala kebaikan untuknya selalu saya usahakan yang terbaik tanpa kekurangan. Mengingat background kehidupannya yang kurang beruntung seperti orang kebanyakan, saya selalu iklas untuk memberikan apa yang ia butuhkan. Tidak ada ruginya bagiku. Toh, ia akan jadi imamku nanti. Bukan hal aneh dan salah rasanya membantunya. Kali ini rejeki kami diberikan melaluiku, tidak menutup kemungkinan esok ia yang diberkahi rejeki. Itu yang selalu kutanamkan demi iklas menolongnya dalam segala kondisi. Bersyukur pekerjaanku di Filipina mampu mencukupi kebutuhan kami berdua bahkan untuk pernikahan kami nanti. Dan sekali lagi, aku iklas dan senang bahkan terlalu excited!
Sekian tahun, sohib, sejawat juga keluargaku sangat tau persis, saya enggan menikah. Terlalu banyak alasan untuk saya berkeras tidak akan menikah namun berencana mengadopsi anak. Kecewa mereka terhapus dengan keinginan yang sebentar lagi terwujud. Semua sadar betul, pastilah tidak mudah bagi saya untuk memutuskan menikah terlebih dengan lelaki yang hanya ditemui dua kali dan masa kenal yang tidak panjang dan lama.
Tapi detik ini, di pukul 12.42 waktu setempat Makati. Hati yang hangat saya rasakan mulai membeku. Bahkan mungkin panasnya distrik bisnis di luar apartemenku ini tidak akan sanggup menghangatkan segala yang kaku.
Dalam sekian bulan yang singkat sejak kami memutuskan menikah justru debat yang berujung pertengkaran semakin menjadi dan kerap berkahir buruk. Sudah sekian kali saya memutuskan untuk berpisah, perihal prinsip sangat berpengaruh di hubungan ini. Tapi hingga hari ini, untuk pertama kalinya saya tanpa sadar mencari-cari rute perjalanan menuju Eropa untuk melakukan single backpacker trip.
Lantasan terlalu sulit rasanya menerima kenyataan bahwa ternyata berkomunikasi dengan saya justru membuat pasangan saya tambah terbebani dan menimbulkan efek stresful. Dan masih banyak hal lainnya yang membuat saya berpikir, hubungan kami sebaiknya selesai saja, dan pernikahan, ah..cukup jadi angan-angan yang pantas dikubur saja.
Mungkin kalian masih meraba-raba titik problematikanya, tapi biarlah ini hanya menjadi film di benak saya.
Hingga kemarin, saya dengan tegas bicara pada ibu saya, saya ingin mencukupkan saja hubungan dengan pasangan. Tapi, jika ia memang masih mau perjuangkan semua yang sebelumnya sudah saya perjuangkan sejauh ini hingga batas awal bulan depan, saya akan mempertimbangkan untuk bersabar dan bertahan. Dua hal itu yang selalu ia ajarkan pada saya yang terkenal temperamen dan tidak sabaran.
Saya hanya sedang menunggu waktu. Apakah kami memang tidak ditakdirkan untuk bersama dalam sebuah pernikahan dan lantas berpisah lalu sibuk dengan rencana hidup masing-masing? Ataukah saya lantas mempertimbangkannya untuk terkahir kalinya sebagai pasangan yang akan membawa saya ke pernikahan yang saya dambakan dan membangun rumahtangga laiknya pasangan lain yang sukses dalam asmaranya? Terlebih saya sudah terlalu banyak menghayal perihal menjadi ratu sehari di hari bersejarah pada saat pernikahan, lalu menjadi istri yang merindukan kepulangan suami di rumah kami, juga mendamba momongan yang calon suamiku sempat mengiming-imingi saya berkesempatan memperoleh bayi kembar, bahkan berhayal akan bercinta di banyak negara yang sudah ter-list dengan rapi di catatan saya dan melalui hari-hari penuh hangat dan mesra. Ah, indah rasanya, bukan. Namun, sayang sekali saat ini saya bersiap mem-booking penerbangan untuk diri saya sendiri. Ya, lagi-lagi pasti kalian merasa aneh mengapa saya bersikap demikian. Saya hanya bisa menanggapi bahwa saya manusia yang tidak ingin melulu kalah oleh perasaan, dan logika juga justru hal terdalam adalah perasaan saya ingin bahagia, sekalipun tanpa menikah.
Jadi, gambling yang saya alami saat ini sungguh sudah sangat biasa. Ini penting, dan masa depan saya penting. Jadi hasil gundah hingga awal bulan depan semoga terjawab lekas. Karena lagi-lagi, saya bukan manusia yang penuh kesabaran.
Semoga semogaku segera disegerakan.
Tabik.
1 comment:
Enak bacanya!
Post a Comment